Sabtu, 23 Oktober 2010

Menyengat



Selalu menyengat dan tak pernah ada yang tahu. Tidak juga kau. Hanya antara aku dan Tuhan. Manusia? Biarkan mereka mengira-ngira. Bukan karena aku tak percaya, bukan pula karena aku selalu bermain rahasia. Aku pikir tak ada gunanya juga kalau orang lain atau kau tahu semuanya dan membuat aku tersiksa.

Lalu kau bertanya, bukan aku pura-pura diam, pura-pura tak dengar, pura-pura tak pernah tahu jawabannya. Kau dan aku tahu. Aku kira kita sama-sama tahu, saling tahu. Lalu kita sama-sama saling sembunyikan apa yang kita tahu. Bukan berarti kita sama-sama tak jujur, tapi kita saling menghormati. Aku hargai.

Selalu menyengat. Aku merindukan masa-masa yang tak pernah ada. di sana aku bisa menghirup kekosongan dengan leluasa. Nikmati kehampaan dengan bebas. Di sana aku tahu siapa diriku sebenarnya.

Selalu menyengat, dan perihnya menjalar. racunnya bercampur dengan darah yang mengalir di seluruh tubuhku. Menghentak (mungkin) menumbuhkan semangat.

Selalu menyengat, tak pernah beranjak.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Untukmu



“Vin, dia kirim aku bunga!” dia memberitahuku dengan mata berbinar. Senyumnya begitu bahagia. Aku senang. Ini hari ulang tahunnya. Aku ingat betul dan sekarang pura-pura tak tahu saja.

“Oh, ya?” pertanyaan basa-basi ini aku hias dengan senyum.

“Bunganya bagus. Dia tahu betul bunga kesukaanku. Ayo kamu bisa tebak bunga apa yang dia kirim?”

Tulip merah, teriakku dalam hati, tapi yang aku ucapkan, “Mawar!” aku tahu kekecewaan akan terpancar dari wajahnya.

“Aaaah Alvin! Masa kamu nggak tahu bunga tulip merah itu kesukaanku? Sahabatku sendiri nggak tahu, tapi cowok ini tahu betul kesukaanku. Aneh!”

Tulip merah, Agatha Christie dan cerita detektif lainnya, jazz dengan segala genre, drama komedi, kamu sangat tergila-gila pada semua yang berwarna merah. Aku tahu semua kesukaanmu.

-#####-

Dear Mita, apapun akan aku lakukan demi kebahagiaanmu. Tak perlu meniup lilin untuk menyatakan harapan. Tak perlu menunggu bintang jatuh untuk mulai membuat mimpi, cinta yang tersembunyi akan selalu aku titipkan lewat aliran napasku, hirupan rinduku, cinta yang tak terhitung, dan irama detak jantungku. Walau hanya sebatas teman, semua akan kulakukan untukmu.

-#####-

Mita terdiam setelah membaca tulisan itu. Alvin terbujur kaku di depannya. Pertolongan dokter dua jam lalu tak banyak membantu. Terlalu banyak darah yang keluar dari kepalanya akibat tabrakan motor. Mengapa kau bikin aku menyesal, Vin? Kenapa tak bilang dari dulu, padahal aku juga menyimpan rasa yang sama untukmu, bisik Mita.

Jumat, 15 Oktober 2010

Turn Back Time



Demi cinta apapun akan dilakukan, termasuk melakukan hal-hal yang kita pikir bodoh dan jauh dari jangkauan. Tapi tidak berlaku untuk orang yang sedang jatuh cinta. Seperti cerita yang pernah saya baca yang akan saya tulis ulang menurut versi saya. Mungkin saja anda pun pernah membacanya. Saya lupa saya baca cerita ini dari mana, tapi mohon beri tahu saya bila anda tahu sumbernya. Terima kasih sebelumnya.

Suatu hari di sebuah taman hidup seekor burung yang jatuh cinta pada sekuntum mawar putih. Setiap hari burung itu datang untuk mengungkapkan perasaannya.

“Aku tak bisa mencintaimu!” mawar putih menolak, tapi si burung tak pernah menyerah. Dia kemabli datang dan datang lagi untuk sekedar menengok si mawar. Bercerita sesuatu yang dia anggap menarik, sambil menyelipkan perasaannya pada mawar putih itu.

“Berhentilah menggangguku, aku tak mencintaimu!” kembali mawar putih itu berkata.

“Apa karena aku seekor burung dan kau sekuntum bunga? Aku pikir tak penting pada siapa cinta ditujukan, yang penting tulus dan murni!”

Akhirnya mawar putih berkata, “Aku akan mencintaimu jika kamu dapat mengubahku menjadi mawar merah!”

Karena besar rasa cintanya, tanpa pikir panjang burung memotong sayap dan menebarkan darahnya ke kelopak mawar sehingga mawar itu berubah seluruhnya menjadi merah.

Akhirnya mawar itu sadar, betapa besar cinta si burung dengan pengorbanan yang telah ia berikan. Dia rela membuat tubuhnya terluka demi kebahagiaan yang dicintainya. Si mawar menerima cinta itu, namun sayang semua terlambat karena burung mati kehabisan darah.

Seandainya waktu bisa diputar ulang…


Konyol atau tulus, bergantung pada interpretasi anda. Terkadang ketulusan itu konyol dan kekonyolan itu tulus. Cinta yang tulus rela memberi tanpa mengharap diberi.

Kamis, 14 Oktober 2010

Terakhir




Ini bukan tulisan terakhir, dan jangan katakan ini yang terakhir buat kita. Aku tak sanggup mendengarnya. Walau sebenarnya akhir dari cerita ini adalah awal cerita yang baru.

Tadi pagi bos menyuruhku datang ke ruangannya dan dia menyuruhku menandatangani surat pengunduran diri. Oke, aku tandatangani. Aku tak mau memaksakan diri bekerja pada perusahaan yang tak menginginkanku.

Di depanku kini kau ucapkan kata itu. Kata-kata yang tak pernah ingin aku dengar. “Aku sudah merasa tak cocok lagi denganmu, mungkin aku bukan yang terbaik untukmu. Dan tentunya ada orang yang lebih tepat untuk mendampingimu. Aku rasa ini akhir dari hubungan kita.”

Hari terakhir aku menikmati kursi panas di perusahaan keparat itu, dan hari terakhir aku menatap indah senyumnya, hari terakhir aku memilikinya. Tapi ini bukan akhir dari hidupku, sebab dunia belum berakhir.

Tanpa judul



Hey…ada yang akan kau tanyakan? Bagus kalau memang tak ada. No…no…no…Justru tak bagus! Aku tak suka kalau kau tak bertanya. Aku jadi tak mendengar cerewetmu yang kadang mengganggu.

Di saat kau ada, aku muak dengan segala ocehanmu. Menyebalkan! Karena kini aku malah merasa hampa. Jadi ingat lirik lagu Rihanna sama Ne-Yo; Hate That I Love You.

And I hate how much I love you boy
I cant stand how much I need you
And I hate how much I love you boy
But I just can’t let you go
And I hate that I love you so…

Ah, biarkan yang lewat hanya jadi kenangan, karena dari sana awal cerita baru terjadi. Aku jadi tahu kalau selama inu aku sayang dan peduli padamu. Begitu juga dirimu, walau aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benakmu. Aku jadi tahu yang aku lakukan begitu menyakitimu sampai-sampai kau tak mau datang lagi.

Bahkan untuk sekedar menengokku. Saja. Bayangmu pun tak pernah aku lihat sekejap/ padahal dulu kau begitu telaten merawatku. Barusan aku dengar pembicaraan dokter kalau mereka butuh alat kejut jantung untuk membantu mengembalikan denyut jantungku yang terputus.

Aku meninggal?

Aku tak takut meninggal. Yang aku takutkan hanyalah kehilangan rasa kehilanganmu saat aku meninggal. Yang aku takutkan adalah kau tak pernah merindukan aku.

Apa kau merindukanku?

13 Oktober 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Bintang Jatuh




Kalau bintang berkelebat, mungkin dia jatuh. Entah terpeleset karena matanya tak lepas dari seorang makhluk paling menakjubkan di muka bumi, entah jatuh karena langit licin. Ada banyak kemungkinan yang timbul. Hanya yang pasti ada beberapa orang yang meyakini kalau melihat bintang jatuh akan mendapat keberuntungan, lalu mereka berharap saat melihat bintang jatuh (katanya) harapannya itu akan terwujud.

Malam itu ramai sekali orang yang datang. Mereka ingin menikmati malam, menikmati kemeriahan, menyaksikan gemerlap lampu yang mampu menghipnotis mata untuk terus melek sampai acara selesai. Bintang bersiap menampilkan sesuatu yang mereka tunggu.

Lampu-lampu tampak gemerlap dan mewah sekali malam ini. Suasana meriah mendominsai. Semua senang. Tak terkecuali Bintang. Penampilannya luarbiasa. Melenggok, berputar, split, terkulai, senyum, lalu tepukan tangan puas dan memuji terdengar riuh sampai sepatu Bintang yang tinggi haknya 5 cm patah.

Bintang jatuh di hadapan orang-orang yang memujanya. Semua terpana, tak percaya. Kemeriahan itu benar-benar jadi riuh, lalu cibiran dari bibir yang tak suka terlempar. Wajah Bintang memerah. Rasa malu tak bisa disembunyikan. Malam itu jadi tak lagi mewah, tetapi menjadi musibah.


picture by flickr.com

Senin, 11 Oktober 2010

Brondonxaurus



“SMA?”
“Sudah kuliah.” Jawabku
“Semester?”
“Lagi nyusun.”
“Nyusun? Skripsi?”
“Bukan, nyusun bata!”
“Kuli, dong?” lalu Ita terbahak. Ade juga ikut walau hanya senyum-senyum doang. Tapi mereka tampak sangat senang.
Dua temanku itu memang usil sekali. Nggak boleh aja aku senang. Punya pacar dikomentarin. Nggak punya pacar dicela-cela. Tapi ya…tak apalah. Setidaknya mereka selalu ada dan mau menemaniku saat aku punya pacar atau tidak. Cuma ya..itu, isengnya minta ampun.
“Gua lupa, umur lo sekarang berapa, sih?”
“Ita…!” bentakku, “Plis, deh! Yang pasti lo lebih tua dari gua.”
“Cuma lebih tua sehari doang. Lo sama cowok lo sekarang selisih berapa tahun ayooo? Gila, brondongnya mau lagi!”
“Cowok gua oedipus! Eh, nggak deng. Itu tandanya gua babyface lagi!” Ita mencibir mendengar perkataanku.
“Ade, dino yang makan daging apa?” tanya Ita kemudian, gayanya dimirip-miripin sama iklan di tivi.
“Tyrex!” jawab Ade yang gayanya juga dimirip-miripin.
“Kalau dino yang makan sayur?”
“Brontosaurus!”
“Kalau dino pemakan daun muda?”
“Brondoxaurus!”
lalu keduanya terbahak, senang.

Minggu, 10 Oktober 2010

Indra Keenam



Widi tiba-tiba menelponku pagi-pagi sekali, "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Rai?" tanyanya khawatir.

"Nggak! Aku baik-baik saja. Cuma tadi malam aku mimpi buruk. Mungkin karena pengaruh Gitta nggak ngapel kali hehehe..." Gitta itu cowok yang sudah aku pacari satu semester ini. Mungkin minggu depan UTS hahaha....Dia lagi sibuk dengan skripsinya, dan satu major lagi memaksa dia menyelesaikan TA. Aku tak berhak memaksanya untuk selalu menemaniku, harus selalu datang setiap malam minggu. Kalau dia mau datang, ya datang saja. Kalau pun dia tak ada waktu untuk mengunjungiku, tak apa. Nanti juga ada waktu hehehe...

"Mimpi buruk, Rai? Beneran?"

"Iya. Semalam aku mimpi gak nemu jalan keluar dari gurun pasir yang luas. Muter terus-terusan di situ-situ juga sampai aku hampir mati kelelahan. Untungnya aku keburu kebangun!"

"Rai...semalam aku juga mimpiin kamu. Pas bangun aku capek sendiri. Kamu terlihat kacau sampai mau meninggalkan dunia ini. Mudah-mudahan artinya sebaliknya, Rai."

"Itu tandanya aku harus selalu merapikan perbuatanku biar nggak terlihat kacau hehe...Aku sih baik-baik saja, Wid. Cuma seminggu ini aku ingat terus sama Rara dengan perasaan yang bener-bener nggak enak. Tadinya aku nggak mau tau sama urusan itu anak!"

"Rara pindah, Rai! Katanya ibunya sakit."

"Tante Ruby sakit, Wid?"

"Ya, kenapa? Rara nggak ngasi tahu, ya?"

"Nggak! Tapi kemarin Tante Ruby datang kemari kok. Malah aku sempet ngobrol bentar sama dia dan bilang nitip Rara. Katanya tolong jagain dia dan maapin dia. Ya, demi Tante Ruby aku mau baikan sama Rara. Asal dia datang ke sini dan minta maap sama aku."

"Hah? Gila?! Rara bilang kalau ibunya itu sakit parah sampai nggak bisa bangun!"

Ini aneh sekali, "Wid, feelingku nggak enak. Aku nggak mau berburuk sangka, tapi ada sesuatu yang memberi tahuku kalau Tante Ruby nggak akan bertahan lama."

"Meninggal?"

"Ya...begitulah."

Aku tak pernah bilang aku punya indra keenam. Aku juga tak ingin bisa menebak atau melihat apa yang akan terjadi besok, tapi feeling yang bermain di benak dan hatiku tak pernah meleset. Barusan aku baca status facebook Rara yang baru lewat dua menit, dia menulis kalau ibunya sudah berpulang dengan tenang menghadap Sang Pencipta semesta.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tulus

janji yang terucap tak pernah bisa aku bakar
tak menjadi jelaga
masih tersimpan
aku wujudkan suatu saat
nanti
tak usahlah terlalu memaksa
karena hidup
mengalir dengan sendirinya
tak juga perlu dibendung
karena yakin,
akan meluap tak tertahan
buang khawatir ke dasar palung kebebasan
yang aku beri
tak tersembunyi

Obrolan dengan Tuhan




Tuhan lelah. Dia beristirahat dari pekerjaan yang selalu menyita waktu: mengurus makhlukNya. Tuhan tampaknya geram. MakhlukNya yang dinamai manusia selalu dengan seenaknya merubah aturan, merusak semua yang sudah Dia rencanakan, menghancurkan semua yang sudah Dia ciptakan. Padahal Dia ciptakan itu semua buat manusia.

Dia tengah menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon sambil tetap memerhatikan makhluk bandelNya. Aku tahu, Tuhan tidak pernah menyesal dulu menciptakan makhluk ini. Bahkan ketika Malaikat bertanya padaNya tentang penciptaan makhluk perusak ini yang diturunkan ke bumi, Tuhan bilang ada sebagian yang akan menurut padaNya. Aku salah satunya? Rasanya tidak. Aku selalu merusak rencana Tuhan. Aku selalu ngamuk-ngamuk kalau yang aku rencanakan tidak sejalan dengan kenyataan. Apa Tuhan akan marah padaku?

Aku mendekati Tuhan. Kantung mataNya tampak hitam. Tuhan mengantuk atau Dia sedih? Aku tak berani menyapaNya. Dia menatapku.

“Kau akan merusak rencanaKu pula?” tanyaNya, “Kau akan menjawab tidak, bukan?”

Ya, Tuhan tahu apa yang belum aku katakan. “Jangan berpikir yang tidak baik. Ingat yang kau lakukan akan ada balasannya. Bukan aku yang membalas, tapi amalanmu!”

“Tuhan, sebenarnya aku hidup untuk apa?”

“Tentu saja untuk beribadah kepadaKu!”

“Mengapa aku Kau ciptakan?”

“Itu hanya aku yang tahu. Mengapa. Menyesal?”

“Ya. Kenyataan yang aku hadapi tak pernah sesuai dengan yang aku harapkan. Mengapa kau beri luka?”

“Aku beri luka supaya kau belajar cara menyembuhkannya. Aku beri sedih supaya kau tau tetap sadar dalam keadaan senang. Aku beri kecewa supaya kau tak semena-mena menjalani hidupmu. Aku yang mengatur, bukan kau sendiri! Kalau kau ingin mati, aku bisa saja mematikan kau saat ini, tapi sesudah mati apa yang kau lakukan, apa kematianmu bermanfaat untuk orang-orang yang kau tinggalkan? Apa yang aku perintahkan?”

“Bertakwa!”

“Kau tahu apa balasannya?”

“Surga.”

“Kau akan dapatkan itu semua bila kebaikan selalu ada dalam hatimu!”

Dan sinar menyilaukan membuatku tak bisa melihat dengan jelas. Pandanganku menjadi buram. Rasa gerah menyelimuti tubuhku. Seseorang menarik selimut yang sedari tadi aku rapatkan ke tubuh. Suara yang aku kenal terdengar. Ya, suara ibuku yang membentak.

“Bangun, pemalas! Sudah siang!”

Jumat, 08 Oktober 2010

Bulan




Senja semakin ranum. Gelap tinggal memetik hasil. Menyembunyikan berjuta gerak dan warna berkilauan menggoda, mengusik, menggelitik, dan mengungkit kenangan yang pernah terlampaui sendiri, bersamanya, berkawan duka, menghabiskan suka, menjemput air mata, menghapus jejak keindahan, lalu pura-pura tenang. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Terpisahkan detak jantung yang cemas. Mengira-ngira tanpa pernah punya jawaban yang pasti.

Angin berhembus perlahan. Menyentuh jiwa agar tetap terjaga. Membukakan mata, menunjukkan kau yang sebenarnya. Mereka sadar, atau tidak? Bulan terdiam. Tak hentikan langkah atau putarannya. Sesekali awan hitam sembunyikan raganya di saat dia sedang tersenyum menebar kedamaian, temani redup romantis. Seperti yang tengah kita lakukan.

Kita? Kau menghilang. Tak pernah ku temukan bayangmu. Bahkan di setiap sudut gelap yang selalu sombong kuasai malam. Bulan tersembul, tersenyum, mengajakku bermain petak umpet di sela hembusan angin dingin yang mengganggu nafasku.

Tak tahukah kau aku tengah terengah? Memimpi lega dan kelapangan. Sesak menghimpit duka. Itu yang kuharap. Menanti seseorang mengajakku ke terbang tinggi ke arahnya sekedar beristirahat. Atau tinggal di sana selamanya.

Aku dapat selalu memperhatikanmu di antara redupnya cahaya bulan. Bayangan buram tentangmu bisa aku lihat lewat sinar redup itu. Harusnya aku berterima kasih. Bulan sahabatku mau selalu temani langkahku. Walau kadang dia berubah. Purnama, sabit, paruh, menghilang, lalu datang lagi separuh, sabit lagi, dan purnama lagi. Dia tak menghilang. Dia selalu memberi aku kabar tentangmu dan semakin meyakinkan aku kalau Tuhan punya mata, telinga, yang tak pernah tertidur.

Kau tahu walau tak di sisiku, bulan tetap temani khayalku.

Friend



"Alangkah susah cari kawan", kata dia. Kujawab saja, "Mungkin kau mencari teman yang memberi. Kalau teman untuk diberi, aduh banyak sekali." (SAF)

Status facebook temanku itu menggelitikku. Hm…aku rugi kehilanganmu? Sebenarnya iya. Ketika aku bisa mendapatkan dan menjadikan seseorang sebagai teman, itu adalah anugerah, rizki buatku. Dan kembali kau teringat pertanyaan abangku suatu hari, “Emangnya kalian memperebutkan apa sih sampai nggak bertegur sapa selama itu? Sudah, lah Mi. gak baik ribut terus sama temen. Nyari temen itu susah lho!”

Kalau teman yang diberi banyak sekali. Betul. Atau betul? Buktinya temanku tak mau diberi masalah olehku. Yah, sampai-sampai hubunganku harus berakhir hanya karena masalah sepele.

“Mimi, tak ada hal yang sepele. Semua mengandung banyak arti.” Beruntungnya aku punya abang yang pengertian, “Jangan pernah menyepelekan hal yang sepele. Justru masalah besar akan datang dari hal yang sangat kecil.”

Aku mencari teman yang mampu memberiku dukungan. Tapi abangku bilang itu egois namanya. Yah, selama ini mungkin aku memang hanya mencari teman yang selalu bisa memberiku sesuatu, dan aku hanya bisa memberi mereka masalah. Mana ada yang mau diberi masalah.

”Mi, mempunyai satu orang musuh terasa begitu banyak, tapi memiliki seribu sahabat terasa sedikit. Belajar jadi teman yang baik, Mi! tidak tersinggung ketika temanmu mengingatkan kesalahan, dan mengingatkan mereka ketika mereka yang berbuat kesalahan, saling mendukung dalam kebaikan dan jangan terpancing untuk memutuskan hubungan silaturahmi.”

“Abang sayang…abang gak ngerti persoalannya sih. Ngomong emang gampang. Tapi aku yang menjalani gak bisa terima begitu saja apa yang abang bicarakan. Kelakuannya itu sama sekali gak bisa didukung dan ditolerir!”

“Ya itu terserah sama kalian yang menjalani. Yang pasti abang cuma mau bilang, nggak rugi jadi orang yang berjiwa besar karena Allah menilai semua yang kita perbuat!”


7 Oktober 2010
status facebook Efi Fitriyyah エフィ フィトリッヤホ Rabu 6 Oktober 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

Pindah




“Rokok?” Sal menawarkan padaku. Lalu aku ambil satu batang. Aku putar-putar tanpa menyulutnya. Memainkan sebentar di mulutku. Filternya terasa manis. Seperti anak kecil yang mendapat permen lolipop.

Sal tersenyum memperhatikan tingkahku, “Kenapa nggak disulut?”

“Jauh!” jawabku enteng.

“Lho?” tampang bodoh Sal kembali diperlihatkan.

“Hahahahahaha…di Sulut, kan?” tanyaku dan dia mengangguk, “Di Sulut itu Sulawesi Utara, ibukotanya Manado.”

“Ngomong sama lo gak pernah bisa serius, Fit!” aku tersenyum mendengar pujian Sal, “Kenapa rokoknya nggak lo nyalain?”

“Sedang hijrah. Belajar berhenti merokok!”

“Eis…laga lo tu ye! Udahlah, gak usah muna. Isep aja. Kemaren ganja masih lo sedot-sedot!”

“Nggak boleh gue tobat, Sal? Fitra Suntara siap jadi orang baik-baik.”

Sal tersenyum sangsi. Yah tak apalah. Itu resiko yang harus aku ambil. Berubah menjadi lebih baik susah ternyata. Pembuktiannya berat. Tapi tak apalah. Demi cinta. Hahaha…aku sedang mendekati seorang cewek yang baru saja pindah dari Yogya. Katanya bapaknya ulama. Bwuah! Siapa tau, lah.

Sal mendapat telpon. “Dari siapa, Sal?” tanyaku. Tak segera menjawab, dia malah nyengir.

“Mas Don. Barang baru. Bongnya pakai punya gue aja! Yuk!”

“Sal? Boleh aku hijrah?” yang ditanya kembali memamerkan wajah bodohnya, “Jangan rayu gue dengan barang favorit gue. Gue mau hijrah!”

Selasa, 05 Oktober 2010

It might be...




…looking back as lover go walking past
all of my life
wondering how they met and what makes it last
if I found the place would I recognize the face
something’s telling me it might be you
yeah it’s telling me it might be you…


Aku tersenyum mendengar potongan lirik lagu itu. Perih. Yang menyanyikannya di depanku juga berurai air mata meski dia juga tersenyum. Perih.

Aku pandangi Langit. Lama. Dia terdiam. Sama seperti 2 jam lalu. Hanya bergumam menyenandungkan lagu kesukaan kami yang entah kebetulan atau memang betulan, sama. It Might Be You. Stephen Bishop.

“Deal?” tanyanya, aku mengangguk. Ini keputusan. Aku tahu walaupun keputusan ini tidak mutlak, masih bisa berubah tapi keputusan ini adalah kesepakatan.

“Sayang, ya?” tambahnya, dan kembali aku mengangguk.

Kali ini aku lebih banyak diam. Dua jam yang membosankan. Biasanya. Tidak. Berapa pun lamanya kami bersama, aku tidak pernah merasa bosan. Begitu juga dengan saat ini. Aku dan Langit akan diam seperti ini lebih lama lagi. Aku tak rela kalau harus berpisah dengannya. Tapi ada yang menghalangi kami.

“Masih ingat pertama kita bertemu?” kembali dia yang bertanya dan aku kembali mengangguk.

“Bahkan pertama kali berkenalan.” Jawabku singkat.

Waktu itu dia menambahkan aku sebagai teman di Facebook-nya hasil suggest dari sahabatku. Aku suka menulis dan dia selalu mengomentari tulisan di notes facebookku. Cerita berlanjut dengan alasan dia ingin diajari menulis. Dan cerita akan berakhir karena aku tak mau mempengaruhinya, dia tak mau mempengaruhiku.

“Seandainya tak pernah ada syarat untuk melangsungkan pernikahan di antara kita, mungkin rencana kita akan terwujud bulan depan, ya?” matanya menerawang, “Laut, aku akan tetap mencintaimu!” aku tersenyum mendengar ucapannya.

Aku kecup bibirnya lama, tak ingin terpisah. Ibu membolehkan aku menikah dengan Langit dengan syarat dia berpindah pada keyakinan yang kami anut. Kalau tidak, tak pernah ada pernikahan. Aku, tetap pada pendirianku. Langit, dia tak pernah mau keluar dari relnya. Seandainya tak pernah ada mesjid atau gereja…

…something's telling me it might be you
I'm feeling it'll just be you
all of my life it's you,
it's you I've been waiting for all of my life
maybe it's you Maybe it's you I've been waiting for all of my life…

Kata Hati

aku akan terbentur saat balik
mundur
bergerak dalam diammu
meski tak menjauh
kita tak pernah akan
bertemu
peluh mengalir deras
banjiri peti waktu terhenti
tak sanggup hidupkan ingatan, walau
sejenak
dan hatiku berkata: aku diam
dalam gerakku


Senin, 04 Oktober 2010

C I N T A


Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.

Cinta adalah satu perkataan yang mengandungi makna perasaan yang rumit. Bisa di alami semua makhluk. Penggunaan perkataan cinta juga dipengaruhi perkembangan semasa. Perkataan senantiasa berubah arti menurut tanggapan, pemahaman dan penggunaan di dalam keadaan, kedudukan dan generasi masyarakat yang berbeda. Sifat cinta dalam pengertian abad ke 21 mungkin berbeda daripada abad-abad yang lalu.


Pusing gue baca pengertian cinta menurut wikipedia itu. Cinta buat gue adalah gue bisa sama-sama dengan orang yang gue suka kapan dan di mana pun itu. Dan orang itu harus suka gue juga. Kalau gue doang yang suka, mana gue bisa seneng, gue kagak bisa nyaman ada deket orang itu. Yang ada marahan mulu.

Sialannya, orang yang gue suka seminggu ini hilang entah kemana. Mungkin terkubur bumi. Mungkin pula hilang, terbang ke awang-awang. Gak apa-apa juga sih kalau dia mau pergi-pergi jauh seperti itu, tapi ngomong gue dulu kek. Apa nek. Jadinya gue kagak kangen kayak begini. Gue telpon kagak diangkat. Malah operatornya bilang: “maap, nomor yang anda hubungi sedang selingkuh, atau sedang malas berbicara dengan anda. Mohon tunggu beberapa minggu lagi, atau baiknya anda mencari pengganti saja!”

Busyet dah. Ada ya notification kayak begitu. Gue sendiri heran. Masa sih cowok gue selingkuh? Makanya gue grasak-grusuk nyari arti cinta. Eh, ketemunya gitu doang. Pengorbanan diri? Pengertian? Kasih sayang? Masa dari gue doang? Gak asik ah, la cowok gue? Aduuuh, Pehul…lo mo ngubungin gue kagak, sih?

Beneran, gue kagak mau kayak begini. Kalau mau pergi ya beri gue kabar. Gak bikin khawatir seperti ini. Beberapa kali gue sms gak pernah nyampe. Pending melulu. Apa dia ganti kartu? Hadoh! Bahaiya kalau dia pergi kayak begini. Ato gue minta bantuan Termehek-mehek aja buat cari dia kali?
Tiba-tiba temanku Joy ngasi pesan sms. Isinya mengejutkan: “Tina, gw liat Efraim lagi jln sm Zarra, spupu lo!”

Ini yang namanya pengorbanan dan empati? saat tak lama Joy mengirim pesan MMS yang berisi gambar Efraim dan Zarra. Duh cinta...apa gue bisa bertahan?

Minggu, 03 Oktober 2010

Melak Cabe




Darmaji hulang-huleng teu paruguh. Saprak dicaram nganggur ku mitoha manehna katingali siga jalma bingung. Heueuh da pagawean Darmaji mah ngan ukur dagang anggur. Saha nu teu kesel ningali jelema pangangguran. Kudu maraban saban wayah, tapi teu kaarah gawena. Sugan mah ngabantu-bantu seutik wae mah, da hanteu atuh. Mitoha na kamari talatah sangkan Darmaji melak cabe.

Nu nyieun Darmaji ngahuleng teh nyaeta mitohana teu mere nyaho kumaha carana, komo modal mah. Padahal jang dahar sapopoe oge harese, komo pake modal melak cabe. Pan kudu kaluar duit gede tah. Maenya wae melak cabe ngan ukur satangkal, moal piuntungeun. Lamun keur kabutuhan sapopoe mah bisa wae melak cabe satangkal, ge moal buahan unggal usik.

Mitoha teh bageur ku kitu na mah, nitah uing nagrah tong nganggur. Ceuk pikir Darmaji. Tapi uing bingung ngamimitianna. Gawe jaman kiwari hesena kacida. Heug ayeuna rek usaha sorangan, mentok dina modal. Cik atuh aya weh atuh nu daek nulungan nginjeuman uing modal.

Heug jeur ngahuleng kitu, torojol Mang Kosim datang tur nanya Darmaji nu keur ngahuleng, “Keur naon maneh teh, jang?”

“Nuju ngahuleng, Mang. Mitoha nitah melak cabe, tapi abdi bingung ngawitanna kumaha. Da carana teu dipasihan, kantenan modal mah. Matak abdi ngahuleng!”

Mang Kosim apal najan Darmaji teu gawe, tapi manehna tara poho nulung batur. Nulung na teh teu menta buruh deuih. Kalakuanna hade, codekana ngan teu gawe hungkul.

“Jang, ku mamang diinjeuman modal. Mayarna mah keun weh lamun Ujang geus bisa panen. Mamang mah percaya saratus persen ka Ujang, lantaran kalakuan Ujang mah tibaheula ge hade. Ku mamang didoakeun usaha Ujang sing lancar, mayeng, sangkan Ujang teu hariwang nganggur deui. Ceuk paribasa, melak cabe mah moal jadi bonteng, Jang!”

“Maksad mamang?”

“Melak hade mah moal jadi goreng! Salila iyeu mamang apal Jang Darmaji siga kumaha. Mamang percaya saratus persen, Jang!”

“Hatur nuhun, Mang! Insya Allah, abdi moal nguciwakeun mamang!!”

Masih




Malam minggu. Sepi, kayak malam minggu-malam minggu yang sudah terlewati sebelumnya. Masih juga belum bosan, sendiri. Bukan belum bosan, sebenarnya aku sudah terlalu bosan menikmati kesendirian ini. Mau bagaimana lagi, aku masih terlalu sibuk memilih gadis mana yang akan kukencani. Hahaha...memangnya ada gadis yang mau sama aku? Tapi masa iya tak ada satu pun cewek yang tertarik padaku. Cakep, udah. Terkenal, belum. Kaya, belum. Hahaha...tampaknya itu yang jadi alasan.

“Cewek gak akan liat lo terkenal ato tajir, Fi!” begitu yang Anwar bilang suatu hari, “Lo punya tampang yang bisa lo jadiin modal. Asal lo bilang suka, cewek mana pun bakalan nyangkut!”

“Lo kata cewek itu layangan putus, pake nyangkut segala? Ato ikan yang biasa dipancing-pancing?”

“Persis seperti itu. Layangan putus iya, ikan yang biasa dipancing bener!”

“Maksud lo?”

“Cewek kalau putus dari cowok lain tu biasanya melayang-layang tanpa arah, nyari tempat nyangkut yang nyaman. Ditiup angin dia bisa terbang kemana aja. Bisa nyangkut di mana aja. Bener, kan?” Anwar berusaha mencari pembenaran alasannya. Aku hanya bisa manggut-manggut gak ngerti.
“Terus cewek juga musti dipancing kayak ikan. Kalau umpannya tepat, lo bakalan dapet ikan yang lo inginkan. Itu juga liat-liat tempat mancingnya dulu. Lo mo mancing di mana?”

Perkataan-perkataan Anwar itu ada benarnya. Lo bisa dapet cewek yang lo mau dengan umpan dan tempat mancing yang tepat. Lo juga bisa berburu cewek di mana lo akan dapet secara tak terduga seperti mengejar layangan putus. Ah, tapi aku masih bingung mau mancing di mana. Biarin ajalah aku sendiri. Masih seperti ini. Mumpung belum sibuk datang ke rumah cewek untuk mengencaninya, aku bisa menikmati kesendirianku. Hey, malam, jangan takut. Aku masih ingin menemanimu.


2 Oktober 2010

Jumat, 01 Oktober 2010

Mendadak Rindu



Jam ngantukku sudah lewat. 20.00. Susah sekali mata ini terpejam. Bukan karena gajiku dipending, bukan pula karena kerja lemburku yang belum dibayar. Memang ini tanggal 1. Awal bulan. Waktu untuk kebanyakan pekerja menerima hak mereka; bayaran sepadan. Aha…aku bukan pekerja. Aku juga bukan pemilik perusahaan. Mana ada yang akan membayarku. Tapi bukan itu alasan kantuk sukar sekali mendekat padahal besok aku sudah janji pada diri sendiri untuk menyelesaikan satu tulisan yang selama ini aku tunda terus. Pemalas. Ih, itu kan satu kata yang sering kau tujukan padaku.

Sialan! Kau itu ada atau tidak? Apa aku teringat kau? Seekor cecak di langit-langit kamarku terkekeh. Tampaknya dia tahu betul apa yang sedang aku pikirkan. Sialan! Kini bayangmu berkelebat, meninggalkan satu kenangan pada suatu waktu , saat kita masih bersama. Dulu. Dulu sekali. Sekitar seribu tahun yang lalu. Kau sudah jadi fosil sekarang?

Seandainya kau adalah fosil, aku ingin jadi penemu fosilmu. Aku akan terkenal dengan menemukan fosil manusia gila. Mendadak semua kembali mengusik otak, memporak-porandakan ketenangan yang aku susun dengan sangat berat. Kau kembali menghancurkan harapan yang samar-samar mulai menampakkan keindahan. Aku bilang kan tak mau lagi kembali. Jangan mengganggu sepiku, plis!! Aku mohon.

Angin malam dingin menggigit, menusuk pori-pori dan tembus ke tulang. Kau suka itu. Aku benci setengah mati. Angin itu kini merayuku untuk beranjak ke luar sedang di sana tak ada apa-apa. Malam malah makin pekat, sudah lebih dari jam 21.00. Aku tak suka. Itu bukan kebiasaanku. Dan aku tak mau membiasakan diri untuk memulai tidur terlalu larut.

Sialan! Kenapa aku mendadak rindu padamu? Ayolah, pergi! Aku tak mau kau ganggu lagi. Sudah cukup masa lalu memberi keindahan dan kepedihan buatku, buatmu juga. Tapi rindu itu sama dengan cinta. Datangnya tak bisa dipaksakan, tak juga bisa ditolak. Sama seperti waktu aku mencintaimu…aku nikmati tiap momen yang kita lewati. Senyum. Tawa. Canda. Celaan-celaan. Pujian. Pengorbanan. Ketulusan. Jatuh. Luka. Tak tersembuhkan. Tapi aku masih menyimpan satu perasaan tak terhilangkan di sini. Untukmu.

Lalu mungkin cecak ini tak akan pernah mati, sampai rinduku yang mati sendiri untukmu. Atau untukku? Entah,lah. Malam ini di langit hanya tampak satu bintang yang entah siapa namanya. Aku tak memberi nama pada bintang-bintang yang berserakan. Biasanya aku selalu memberi nama pada apapun yang aku suka. Seperti kau yang memanggilku pemalas. Aku bukan pemalas! Aku hanya seseorang yang mendadak rindu pada manusia gila macam kau saat ini. Dan aku kini berharap kantuk mendadak menyerangku supaya aku tertidur dan tak lagi memimpikanmu menjadi fosil yang aku temukan suatu saat nanti.

Kamis, 30 September 2010

Utang


“Nelangsa gitu…kenapa, Del?” tanya Ilham. Yah…dia yang selama ini jadi tempat curhat gua. Halah…curhat. Beuh…menjijikkan.

“Vera mutusin gua, Ham!”

“Fadel….Fadel. diputusin cewek aja begitu nelangsanya, kagak ada semangat hidup. Diputusin cewek mah, nyari cewek lain dong!”

“Lo gak ngerti sih, Ham. Gua cinta mati sama Vera!”

“Yah…lo salah lagi. Lo gak pernah cinta mati sama Tuhan, pantesan lo nelangsa mulu!” nah…nah…apa Ilham mulai lagi. Dia sok tau banget. Sok alim, tapi suka banyak benernya. Apa gua yang salah mulu, ya?

“Tuhan gak asik ah….Dia gak ngasi banyak ke gua. Malah banyak ngasi penderitaan.’

“Yaelaaaahh…Del, lo kata Tuhan gak asik? Apa pernah lo kenal Tuhan? Deket aja lo kagak pernah. Eh, Del…lo tau kalau hidup itu cuma ada dua pilihan, menderita dan menikmati, lo mau pilih yang mana itu terserah sama keputusan lo!”

“Jadi kalau gua menderita, gua musti menikmati penderitaan itu? Ogah gua!”

“Mhhh…lo tau Del, kadang kita gak nyadar kalau hidup kita lebih berarti pada saat kita menderita karena bisa lebih dekat sama Tuhan.” laganya…mau jadi pendeta apa ustadz ni anak, heran gua.

“Del, coba lo inget lagi, apa pernah lo inget Tuhan waktu lo ketawa-ketawa cekakan, ngumpul sama temen-temen lo? Boro-boro inget Tuhan, yang ada botol bir lo cekek, alkohol lo tenggak, malah lo sering jual harga diri lo di antara selangkangan yang bukan pasangan syah lo. Pantesan aja Vera ninggalin lo!”

Edan! Kata-kata yang barusan aku dengar menamparku keras. Iya, gua sering jajan di luar, gua khianati cinta Vera, hanya karena Vera gak pernah mau gua ajak tidur bareng. Saat Vera mutusin gua…gua sendiri yang jadi gak punya semangat hidup. Gua yang beruntung punya Ilham atau Tuhan mulai merhatiin gua, ya?

“Del, justru ujian paling berat buat manusia itu adalah ujian kesenangan. Saat lo ada di atas, saat banyak orang yang menyanjung dan mengagumi lo, di saat kejayaan sedang mesra-mesranya sama hidup lo…lo akan semakin jauh sama Tuhan karena semua kesenangan dan kemudahan itu. Harusnya lo bersyukur Vera mutusin lo, jadi lo bisa ngaca, bisa ngeliat lagi apa yang udah lo lakukan. Gua gak niat nyeramahin lo. Ini spontan keluar karena gua gak mau liat lo seperti itu.”

“Thanks pal! Gua utang banyak sama lo. Gua baru nyadar kalo selama ini gua banyak nyia-nyiain waktu hidup gua!”

Rabu, 29 September 2010

SAD is stand for Sorry and Disappointed




Aku kangen teman-temanku. Aku ingin sekali berkumpul dengan mereka. Hanya sayang ruang dan waktu memisahkan rindu itu. Padahal ingin rasanya berkumpul dengan Emy, Erik dan Budi. Pasti mereka sekarang sedang tertawa-tawa senang. Eh, apa mereka akan ngisengin aku lagi kalau aku datang sewaktu-waktu dan ikut berkumpul? Apa Budi akan memasukkan Red Labels lagi ke dalam gelas fantaku?

Kangen banget sama mereka. Kangen sama kejailan mereka. Sekarang mereka lagi apa, ya?

“Eh, lo kenapa?” tanya Budi pada Em yang baru ditemuinya. Sudah lama sekali mereka tak bertemu.

“Gua kanker, lo?” Em balik bertanya.

“Gua ditembak teroris waktu ditugaskan di Aceh. Lo, Rik?”

“Hehehe…over dosis!”

“Gak nyangka ya kalau cara mati kita seru banget. Ditembak sakit, Bud?” tanya Em kembali

“Panas. Susah bernafas. Pelurunya nyarang di dada. Kalo OD gimana, Rik?”

“Enak…gua serasa melayang dan tiba-tiba udah ada di sini, ketemu kalian hehehe…”

“Eh, lihat tu si Fey di dunia. Dia lagi kengan sama kita. Kapan dia nyusul kita?” Budi melihatku mungkin. Aku tiba-tiba sangat rindu padanya. Dia mantan pacar pertamaku.

“Eh, jangan suruh Fey datang cepat-cepat. Biarkan dia menikah dulu. Biarkan dia menikmati hidupnya. Eh, Rik…di dunia dia gak jadi jodoh lo, kalau dia datang ke sini, lo mau jadian sama dia?” tanya Em. Dia tanteku yang meninggal karena kanker payudara. Aku tak bisa banyak menolongnya karena Tuhan berkehendak lain.

“Mau! Gua mau belajar ngaji sama dia. Kenapa dulu gua biarin si Budi yang nembak dia walo akhirnya hanya pacaran tiga hari hahaha….” Erik tampak berbinar.

“Tapi setidaknya gua pernah nyium dia. Lo kagak hahaha….!”

Aku hanya terdiam…mungkin itu yang sedang mereka obrolkan kalau mereka melihatku sedang rindu sama mereka. Kepergian mereka membuatku sangat menyesal dan kecewa. Kecewa karena aku tak pernah mengerti apa keinginan mereka. Menyessal karena aku tak pernah bikin mereka bahagia. Semoga kalian damai di alam sana teman. Aku selalu akan mengingat kalian, sampai aku yang datang menyusul.

Sketsa




“Anginnya gak enak!”

“Kalau anginnya enak, aku gak usah cape-cape masak buat kamu. Kita makan angin aja!”

Suamiku mendelik, lalu tersenyum. Memaklumi? Hahaha…katanya aku tak pernah serius. Dan itu alasan kenapa dia menikahiku. Hidup ini memang harus dijalani dengan serius, tapi tidak terlalu serius. santai sajalah karena setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, tak ada yang tak terselesaikan. Itu hanya bagaimana aku pandai-pandai mencari jalan keluar untuk bernafas lega.

Sore ini kami berdua. Menikmati senja dengan ditemani kopi seduhan suamiku. Dia pandai sekali meracik kopi, bahkan sudah terlalu hafal mana kopi yang enak dan bagaimana cara penyajiannya. Kelebihan yang akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk mau dinikahinya.

“Senjanya cantik, ya? Tapi tentu saja lebih cantik kamu!”

“Hilmi tampan, kalo senja lebih cantik, aku yakin kamu bakalan menikahi senja, bukan menikahiku!” dia tertawa.

Ah, dia bukan pria yang pandai merayu. Dia payah dalam berkata-kata, tapi hebat kalau di atas ranjang. Dia tersenyum kembali dan menatapku lama, “Aku yang oon atau kau yang terlalu pintar, ya?”

“Kayaknya kita sama-sama oon deh, makanya saling tertarik dan mau menikah…”

“Res, kita belum bulan madu, kan?”

“Ya Allah…Hilmi, bulan madu menurutku adalah malam pertama kita bercinta. Ternyata kamu hiper juga sampai aku kewalahan heheh!”

“Tapi itu dilakukan di sini, di rumah orang tuamu. Aku ingin kita berdua pergi ke suatu tempat. Ke Paris misalnya. Atau kamu tahu kota terbaik untuk kita berbulan madu?”

Aku sangat menghargai keinginan suamiku. Dia ingin bahagia dan ingin pula membahagiakan aku dengan caranya. Aku pun ingin pergi ke Paris, apalagi hanya berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.

“Hilmi sayang, aku punya dua kota terbaik dan terburuk untuk kelangsungan pernikahan kita. Bukan sekedar untuk berbulan madu.”

“Great! Where’s that?”

“Kota terbaik adalah ko ta selingkuh. Dan kota terburuk adalah ko ta setia. Bagaimana?”

Hilmi terdiam, lalu,”Aku menikahi perempuan yang tepat. Luarbiasa dan bisa menjadi pasanganku seumur hidup. Ko ta akan kecewa mendapatkan aku. Ko ta pernah serius, tapi dibalik ketidakseriusanmu itu ada sesuatu yang bermakna. Seperti sebuah sketsa. Hanya goresan yang belum mempunyai bentuk yang jelas, orang sudah menangkap maksudnya…”

“Dan semoga pernikahan kita tak hanya sebuah sketsa…”


28 September 2010

Jalan Setapak ke Hatimu




Lampunya mati, meski bertahun-tahun melewati jalan ini, aku masih selalu meraba-raba untuk melaluinya. Takut terjerembab, takut ada ular, dan ketakutan-ketakutan lain yang menghantui pikiranku.

Yah, malam-malam melewati jalan ini masih sama. Lampu yang terpasang hanya bersinar beberapa saat. Terkadang sinar bulan mampu mengalahkan terangnya. Aku suka melewati jalan ini. Redup bulan selalu tampak romantis, walau aku sering tersandung dan terjatuh. Bintang yang bertebaran jadi teman kesendirian perjalananku.

Ketika perjalanan kulakukan siang hari, hamparan pesawahan, tanah lapang, dan beberapa pohon yang bila malam tampak seperti raksasa hitam terlihat rindang dan memesona pandanganku. Indahnya tak bisa kulukiskan dengan sapuan koas yang selalu aku mainkan di atas kanvas, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Selalu terpukau walau harus terjatuh beberapa kali, dan merasakan sakit beberapa kali pula sampai aku benar-benar tiba di tujuan.

“Apa yang bikin kamu kembali ke jalan ini?” tanya seekor burung yang sering melihatku suatu hari. Waktu itu aku hanya tersenyum. Entah apa yang bikin aku suka sekali kembali ke jalan ini. Hihihi…aku juga tak tahu alasannya, dan baru sadar setelah mendapat pertanyaan itu.

Apa ya? Padahal untuk sampai di tujuan perlu ditempuh dengan pengorbanan, penuh luka dan air mata. Aku hanya tersenyum sesaat. Sisanya kesedihan dan galau.

“Dia akan menyambutmu ketika kau tiba di sana? Atau dia sudah tau kau sedang berjalan ke arahnya?”

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Pertanyan-pertanyaan burung itu tak pernah terpikir olehku. Itu karena aku dibutakan cinta kepadanya. Selama ini aku tak peduli harus melewati jalan setapak yang berliku, terjal dan berbahaya. Walau harus dilewati dengan merasakan perih dan berkubang air mata, yang penting aku sampai tiba di tujuan. Kalau pun dia tak menerima, aku bisa balik lagi melewati jalan kecil ini.


27 September 2010

Minggu, 26 September 2010

Potret


Kembali menatap langit, belum juga menandakan bias-bias jingga akan datang. Masih tetap kelabu. Malah warnanya menjadi ungu. Gambaran kesendirian hatiku. Rintik hujan mulai turun, temani sepiku yang kian menggigit. Hujan memang tak bisa dipinta. Tak juga bisa ditolak. Kalau mau turun ya turun…tak ada yang bisa menghalangi. Sesuka hatinya membasahi kulit bumi yang semakin keriput seiring perjalanannya mengitari matahari. Tanpa lelah. Entah kapan ia akan berhenti. Padahal ia semakin renta. Dalam usia tuanya sudah banyak cerita yang menemani, datang silih berganti. Tersimpan dalam catatan sejarah yang kian menumpuk dan mungkin saja terlupakan.

Mataku berkedip. Berair. Debu milenium tak mengotori mataku, asap yang terus termuntahkan dari rokok yang aku sulut, dari knalpot kendaraan, bahkan dari cerobong asap pun tak mempengaruhinya. Warna menyilaukan dari lampu-lampu yang berkelip lucu pun bukan alasan. Mataku berair karena emosi yang tak tertahan menatapmu. Aku rindu.

“Jay…telpon!”

Teriakan adikku membuyarkan kenikmatanku menatapnya. Menatap senja, menatap potret orang yang kurindukan. Siapa? Ah, hanya kekosongan orang yang aku tatap. Dia terlalu jauh untuk aku gapai. Bahkan membayangkan bisa berada di dekatnya pun itu sudah merupakan harapan terbesar yang aku punya.

“Papa?” tanyaku. Yang ditanya malah mencibir.

“Mabok, lo!” katanya. Aku diam saja, lalu kuangkat gagang telpon.

“Halo!” saat aku dengar suara orang yang menyahut di ujung sana, langsung kuletakkan gagang telpon. Adikku menatapku aneh, “Lho? Kok ditutup, sih?”

“Bukan papa!”

Aku berlalu dan membiarkan adikku menggerutu karena sama sekali aku tak peduli apa yang dia bicarakan, sama sekali tak peduli apa yang dia pertanyakan. Aku terlalu sibuk dengan harapan, impian dan angan-anganku sendiri. Tak peduli orang memanggilku gila, atau apapun. Seterah mereka. Terserah? Seterah apa yang mau aku katakan!

Kembali aku menatap langit yang menjadi rak buku sejarah untuk mengingat kebersamaanku dengannya. Persis seperti loteng dengan rak buku tempat biasanya papa menghabiskan waktu. Bayangan-bayangan yang berkelebat di depan mataku menjadi potret betapa aku sangat merindukannya.

Potret papa pun tersimpan apik di sana. Aku susun sesuai keinginanku. Aku tata bayangan papa dalam hati agar ia selalu dekat denganku. Aku tatap senja yang pamit pulang, diiringi rintik hujan. Mengijinkan gelap berkuasa untuk menghapus gambaran kepedihan yang semakin hari semakin tajam menusuk hati. Membuyarkan potret dirinya yang dulu selalu menghiasi dinding hariku.

Sabtu, 25 September 2010

Aldi


Huh! Pagi-pagi sudah kembali hujan. Tampaknya hujan memang sedang rajin isi absensi bulan ini. Entah takut kena SP atau memang ada alasan lain yang dia miliki sendiri, tak pernah bolos walau sehari. Kalau tak butuh, malas sekali untuk bangun. Udara dingin membuatku lebih suka merapatkan selimut daripada beraktifitas. Ah, Aldi harus sekolah!

"Ci, tlng bereskan baju Al. 2 jam lagi saya jemput" isi sms yang baru masuk pagi ini bikin aku merasa tak enak sendiri. Aldi mau dibawa pergi? 2 jam lagi? Enak sekali. Apa bapaknya itu gak mikir kalau Aldi harus sekolah? Puasa kemarin sekolahnya sama sekali tak betul, banyak bolosnya. Bahkan kemarin Al sendiri yang curhat nggak mau pindah sekolah. Nggak mau berpisah denganku. Sama Al, hidupku pun akan meredup karena kau yang selama ini meneranginya. Aku tak peduli dengan isi sms itu.
"Mau pake batik!" pinta Aldi setelah selesai mandi. Pake batik ke sekolah? Hey, ini Sabtu, Bung! waktunya seragam pramuka. Aku tak bilang kalau 2 jam lagi dia akan dijemput bapaknya. Aku tak akan membiarkan ini terjadi.

"Al. Kalau bapak datang kamu jangan mau ikut, ya!" perintahku. Al menatapku penuh tanda tanya.

"Bapak mau datang?" matanya tidak berbinar. dia malah merenung. Besok kita akan bersenang-senang. Makan-makan di restoran cepat saji, beli skateboard dan sepatu baru, hanya berdua. Tak ada bapak, tak ada ibu, hanya aku dan Aldi.

Ci, saya di luar. Kembali bapak Al mengirimku sms. Hatiku kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia bapaknya, tentu lebih berhak mengatur Aldi. Dia sudah datang.

Al meronta, dia berteriak "Aku nggak mau ikut bapak! Aku juga nggak akan ikut ibu! Al mau di sini aja." Al menangis keras, dia berlari ke arahku. Ke dalam pelukku, minta perlindunganku.

Tapi yang minta dan hendak membawa Aldi adalah bapak dan ibunya. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa Aldi, hanya orang yang teramat sayang pada anak itu. Bahkan aku mencintainya lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Dua bulan ini dia lebih nyaman bersamaku, karena ayah dan ibunya dalam kondisi rumah tangga yang sama sekali tak harmonis. Suatu keadaan yang harusnya tak banyak diketahui anak usia 7.

Aku biarkan air mata mengalir tak henti, seperti aku biarkan Aldi menangis karena tak mau dibawa bapaknya. Ibunya, entah kemana. Aku tak peduli. Napasku seolah terhenti. Pantas saja September ini hujan tak pernah bolos untuk isi absensi karena matahariku pergi dari duniaku.

"Mama!"

Aku mendengar suara Al. Dia kembali! Dia memanggilku mama. Dia lebih nyaman dan aman dalam pelukku karena aku sayang dia.




Ah...hanya lamunanku saja...

Jumat, 24 September 2010

Kopi Terakhir




Matanya berair. Sesekali tersenyum sendiri, lalu berbicara pada seseorang padahal di sana tak ada siapa-siapa. Batang berikutnya mulai disulut. Di sekitarnya sudah berpuluh puntung rokok menemani obrolan sendirinya. Asap putih kembali mengepul. Tak ada kopi atau teh. Apalagi coklat panas.

Riak-riak awan mendung kembali menggayut. Tak peduli. Hujan atau hanya awan yang lewat, apapun. Angin dingin yang selalu menusuk hingga tulang kembali datang. Tak pernah ramah. Satu hembusan asap rokok, entah kapan bertemu batang terakhir. Dia tertawa.

“Jangan janji sama aku, ya!”
“Aku tak janji. Tapi aku mau besok kau datang lagi!” lalu satu ciuman mendarat di kening Siwi, “…karena aku selalu butuh kamu.”

“Ted, besok aku pergi. Jangan tunggu aku kembali!”

Siwi selalu menepati kata-katanya. Dia tak pernah bohong. Sekali dia bilang biru, tak akan pernah berubah putih. Seperti matahari yang tak pernah letih selalu datang menjemput pagi dan pulang mengantar senja setelah lelah beraktifitas. Beristirahat.

Ted memandang cangkir di depannya, itu cangkir kopi terakhir yang Siwi seduh untuknya, kemarin. Ampas kopi itu mengendap dan mengering. Tak pernah akan kucuci…pikir Ted. Kembali dia memandang koran di depannya, membaca halaman muka tentang pesawat jatuh yang merenggut nyawa Siwi. Dia pergi, tak pernah kembali. Mata Ted berair, dia menangis.

Kamis, 23 September 2010

23 September





Mendung masih menggayut, seolah tak mau lepas dari pelukan September. Perjalanan waktu yang bergeser sedikit demi sedikit di antara lelahnya rintik hujan selalu membuat perubahan. Ada yang pulang, ada yang pergi. Balans, di setiap pergeseran jarum sekon.

“Kau membuatnya menangis lagi.” kata malaikat itu.

Ya, aku selalu membuatnya menangis. Dalam harapku berjejal keinginan untuk membuatnya tertawa senang. Bangga memilikiku. Apa daya, hanya air mata yang mampu aku kuras dari dirinya. Ada banyak kerutan di wajahnya. Aku terus menatapnya.

“Aku selalu bisa menatapnya seperti ini, bukan?” tanyaku pada malaikat itu, dia hanya mengangakat bahu lalu beralih pandang mengawasi sekeliling. Aku tahu, tak akan ada yang menjemputku.

“Sudah berapa lama?” tanyaku.

“Kenapa? Sudah tidak betah? Baru satu menit!”

Apa? Satu menit? Aku rasakan keberadaanku dengannya sudah lebih dari 5 jam. Berdiri menyaksikan perihnya hati ikut mengendap. Derasnya hujan tak mampu mengalirkan perih itu. Aku tak kuasa memandang sorot matanya yang sudah semakin lelah. Tapi aku juga tak mau meninggalkan dirinya. sendirian.

Di belahan yang lain aku melihat keriaan. Seorang bayi temanku lahir. Lucu sekali. Aku ingin menggendongnya. Lalu tatapku berusaha merayu malaikat di sebelahku untuk mengijinkan menengok dan membelai bayi itu. Sang malaikat menggelengkan kepala, dia bilang kalau aku adalah masa lalunya. Gerak kepalanya menunjuk kembali pada ibu yang sedang menangis di depan pusaraku. entah sampai kapan air mata itu akan mengering...

Lupakan keriaan itu, aku ingin memeluk ibu, menciumnya, dan membisikkan selamat ulang tahun padanya. Selama ini aku belum pernah memberikan kebanggaan padanya, bahkan aku menanamkan kesedihan tak berujung padanya.

23 September akan selalu ibu ingat, bukan sebagai hari ulang tahunnya, tapi kepergianku ke alam keabadian.



Selamat ulang tahun mamaku sayang…semoga aku bisa membuatmu bangga. Amiin.

Rabu, 22 September 2010

Paralayang



“Berani?” tantangnya.
“Ah, ini sih kecil!” jawabku sambil menelan ludah.
“Bener, nih? Sudah pernah mencoba?” tanyanya lagi sambil tersenyum manis. Aku menggeleng.
Man! senyumnya manis banget. Kopi pahitpun akan kemanisan kalau aku meminumnya sambil melihat dia. Jullie Estelle…lewat. Paris Hilton… punya kaya doang. Tapi perempuan ini… tak ada yang bisa menggambarkan, maklum tak terlihat hahaha... Hantu dong.

Ya… perempuan ini selalu menghantuiku apa pun yang aku lakukan, di mana pun aku berada, dengan siapa pun aku bersama, bayangannya selalu berkelebat di depan mata. Senyumnya selalu berjalan-jalan di kepalaku.

“Sekali nyoba, ketagihan, lho!” katanya lagi.
Rugi melepaskan pandangan darinya. Ia bangkit, menarik tanganku agar aku membuntutinya.

“Mas Nino sudah menyiapkan semuanya buat kita.” Katanya lagi, “Karena kamu pemula, kita berdua melakukannya.” Man! Lagi-lagi senyum manisnya itu ia umbar kepadaku. Sudah tahu aku sangat tergila-gila dengan senyum itu.

Dan saat akan dimulai, adrenalinku terpacu, nafas memburu, darah di kepala seolah membeku, tak tahan dengan apa yang aku lihat. Pemandangan yang indah. Walau sudah berusaha memejamkan mata. Walau ditemani perempuan paling menarik di muka bumi, aku tak kuasa berteriak. Sedang di bawah sana pemandangan di sekitar Lido sangat menawan. Wajahku pucat.

“Kenapa?” tanyanya khawatir.

“Aku...fobia ketinggian!”

Selasa, 21 September 2010

jodoh


“Minggu depan?”

Ibu tampak marah, kaget, bingung, dan entah apa lagi yang ibu rasakan saat aku mendesaknya untuk mengijinkan aku menikah minggu depan. Angga dan aku sudah sepakat walau ibu dan Angga belum pernah bertemu.

“Kamu hamil?”

Aku diam, tapi aku yakin ibu sudah tahu. Beliau menghembuskan nafas keras. Sepanjang umurku baru kali ini melihat ibu begitu marah.

“Ibu mau ketemu calonmu. Sekarang juga kalau bisa.”

Aku segera menghubungi Angga. Nama kami mirip. Angga dan Anggi, sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk bersatu. Bahkan wajah kami pun mirip. Kata orang kalau mirip biasanya panjang jodoh. Semoga memang begitu.

Ibu takjub melihat Angga. Ibu tak mengijinkan aku ikut terlibat. Mereka berbicara lama, dari kejauhan aku melihat Angga merangkul ibu, mereka menangis. Lalu Angga bersujud mencium kaki ibu. Aku tersenyum, mereka akan cocok.

Tak kuasa menerima kabar yang baru aku dengar. Entah harus sedih atau senang, tak pernah akan ada pernikahan antara kami. Padahal aku sedang mengandung anak Angga, kakak kembarku yang terpisah karena perceraian ayah dan ibu.

Senin, 20 September 2010

Will you marry me


“Kenapa menolaknya, Mbak?”
“Siapa yang menolaknya? Dia selalu datang, ngabisin nasi dibakulku itu. Minta rokok. Ndak ada rokok, minta duitnya. Itu namanya menolak?”
“Mbak, nggak mau diajak kawin.”
“Ndak mau diajak kawin? Siapa yang ngajak aku kawin, Ma?”
“Mbak pernah pacaran sama Mas Marwan, kan?”
“Aku ndak tau. Waktu itu dia datang bawa roti mari. Katanya dia beli di Malioboro khusus buat aku. Padahal, dia tau aku ndak suka. Akhirnya dia habiskan sendiri. Lama dia ngobrol sama aku. Aku sendiri ndak tau apa yang dia bicarakan. Tapi selama ngobrol itu dia pandangi aku terus sampai aku salah tingkah. Sama sekali ndak ada pembicaraan yang mengarah untuk bilang aku suka sama kamu, Tis. Apalagi ngajak kawin. Ndak ada, Ma! Hanya…ketika dia hendak pulang, dia mencuri satu ciuman di pipiku. Lalu tergesa dia sambar sepedanya sampai terjatuh. Sama sekali ndak berusaha untuk menciumku dengan lembut.”
“Tapi Mas Marwan sepertinya ingin mencium mbak dengan lembut. Mbak Tisti suka?”
“Dia tidak punya keberanian!”
“Mungkin karena takut. Mbak punya pacar?”
“Dalam proses menanti. Lagian apa yang mesti ditakutkan?”
“Ya, tak ada yang perlu ditakutkan. Cuma dari cara Mas Marwan membicarakan Mbak, selalu antusias. Selalu ada sinar bahagia dari matanya kalau menyebut nama Mbak. Sepertinya Mas Marwan benar-benar menginginkan Mbak. Dia mau kawin sama Mbak.”
“Bilang dia, kalau memang mau ajak aku kawin, cari kerja aja dulu. Dia mau kasi aku makan apa?”
“Kalau Mas Marwan memang sudah bekerja, mbak benar ya mau nerima Mas Marwan!”
(Tisti tidak menjawab, pipinya memerah)
“Mas, ayo mau bilang apa sama Mbak Tisti!”

(Rupanya Marwan sudah lama berada di sana, dia mendengar semua yang Salma dan Tisti bicarakan. Menyeringai dia menemui kedua gadis itu)
“Tis, aku ndak nganggur lagi. Aku mau kamu kawin sama aku. Sabtu lalu aku diterima Pak Ngatiman kerja. Jadi penggali kubur!”
*$!@#'*~¢¥¿§£*

Minggu, 19 September 2010

Suami Setia


Hari sudah gelap. Batang terakhir mulai dibakar. Rokok yang disulut hampir 5 bungkus.. Karena tak ada satu pun yang bisa diajak ngobrol sekedar menemani sepi, dia pikir merokok lebih baik daripada bengong dan menyisakan puluhan puntung yang berserakan. Pekerjaan buat petugas kebersihan stasion.

Kereta yang lewat sudah 42 kali. Menurut petugas stasion yang dia tanya setiap hari kereta yang melintasi stasion kecil itu 45 kali. Berarti masih ada 3 kereta lagi yang akan transit sampai tengah malam nanti. Padahal dia ingat betul pesan tertulis dalam surat yang dia terima, kalau istrinya akan pulang dua hari sebelum lebaran dengan kereta sore yang tiba pukul 5.

5 tahun menunggu sepi, ditinggal istri jadi TKW ke Arab Saudi guna memperbaiki ekonomi. 5 tahun pula dia bolak-balik ke kota mencari pekerjaan, walau hanya alasan supaya tak dianggap benalu oleh mertua karena hanya memakan uang kiriman istrinya. Untuk ukuran suami yang ditinggal istri selama itu dia setia. Urusan libido yang mendesak, ada tempat semestinya yang bisa menyalurkan hasrat seksual tak sampai 50 ribu. Dan sedikit menyisihkan untuk biaya sekolah anak tunggal mereka yang baru kelas 2 SD. Enteng!

Satu kereta lagi mendekat. Kereta ke 43, jam digital yang dibeli 20 ribu di pinggir jalan menunjukkan pukul 21.15. Rokoknya sudah hampir habis. Kalau rokok terakhir ini habis dan istrinya masih belum tampak, pulang.

Diperhatikannya penumpang yang turun satu persatu, istrinya masih belum terlihat. Yah, apa boleh buat. Sampai kereta itu hendak melanjutkan perjalanan, istrinya tak juga tampak. Gontai dia menuju peron ke luar. Tapi tak sampai pintu, suara familiar seorang perempuan memanggilnya,
“Mas Jo!” dengan sumringah dia membalikkan tubuh, istrinya pulang membawa banyak barang bawaan dan uang.

Wajah sumringahnya berubah, yang dilihat bukan seorang perempuan dengan banyak barang bawaan, tapi seorang ibu yang menggendong bayinya. Paras bayi itu mirip orang-orang berkebangsaan Arab. Dengan santai Jo melangkah, meninggalkan perempuan itu seorang diri. Dia tak peduli walau perempuan itu berteriak memanggilnya.

Sabtu, 18 September 2010

Rachel

Ada banyak cerita yang harusnya terjalin. Dia suka menjalinnya. Menguntai harapan satu demi satu. Seperti menguntai manik-manik beraneka warna yang biasa dia jadikan kalung. Cantik sekali.

Terlalu banyak kesamaan yang esensial. Persamaan-persamaan kecil yang mungkin sepele. Tapi aku yakin akan sangat berarti bagi kami suatu saat nanti. Membantunya mengatakan apa yang ingin dia bicarakan. Selama ini dia hanya tersenyum kalau aku mengajaknya berbincang. Lalu goresan tangan cantik tertulis di atas kertas putih. Ya, aku baru mengerti keinginannya setelah dia tulis. Tulisan tangannya bagus dan rapi, tidak seperti tulisan tanganku yang seperti cakar ayam.

“Dapat salam dari Andre!” selorohku menggodanya.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, lalu pipinya terlihat memerah. Entah malu, senang, atau marah? Biarkan dia yang merasakannya. Tapi tiba-tiba dia menggeleng. Maksudnya?
Dia bilang Andre tak mungkin menyukainya.

“Andre hanya kirim salam. Belum tentu dia menyukai kamu!” godaku lagi.
Dia menoyor lenganku pelan, dan kembali tersipu.
Mungkin Andre suka kamu, tulisnya. Aku terkejut. Ada raut sedih pada wajahnya ketika menuliskan itu. aku tahu kalau dia cemburu.
“Nggak, kok! Aku bercanda! Andre suka sama kamu makanya dia kirim salam buat kamu.”

Kali ini dia menulis dengan tanpa senyum sama sekali, mana mungkin Andre suka sama gadis bisu seperti aku, Feb!

















Tentu akan ada cerita yang terjalin kalau Rachel tak meninggalkan aku. Meski dia juga tak menolak Andre. SMS yang baru aku terima membuatku terdiam, Rachel tewas karena kecelakaan yang mengakhiri untaian cerita ini. Untaian manik-manik beraneka warna tak pernah selesai menjadi kalung cantik.

Jumat, 17 September 2010

Father and Friend

“Aku dapat yang baru!” teriak Liz di ujung telpon.
Aku tahu, Liz yang supel dan penuh semangat akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia mau. “Sedikit tua tak apa, yang penting dia bisa membayar aku lebih!” katanya sambil tertawa gembira, “Kamu tahu, dia itu sangat kaya!” sambungnya lagi.
Aku ikut tertawa, walau terpaksa. Sahabatku ini nekat sekali. Setelah tahun lalu dia mulai melacurkan diri karena terdesak ekonomi, malah ketagihan. Huh! Terdesak apa…dia itu sangat suka foya-foya. Hampir setiap malam waktunya dia habiskan di bar. Ya…aku ikut juga sih. Aku juga suka bersenang-senang di bar, tapi tidak tidur dengan sembarang pria, walau pria itu kaya.

“Nanti malam ayah tidak pulang! Kamu baik-baik di rumah ya. Mwuah!” ayah mencium lembut keningku.
Shit! Lagi-lagi ayah meninggalkanku sendiri di rumah besar ini. Sejak orang tuaku bercerai dua tahun lalu, aku memilih ikut ayah. Selain karena ayah lebih perhatian, juga lebih...ehm, berada.

“Liz, ayahku tak pulang nanti malam. Mau temani aku?” aku akan kesepian nanti malam makanya mengundang Liz.
“Sorry dear, I can’t! Aku akan bertemu pria kaya itu nanti malam!”
Huh! Semua meninggalkanku. Aha… “Boleh aku ikut?”
“Hahaha….are you sure? Boleh, tapi jangan mengganggu kesenanganku!”
“Oke, deal!”


Aku tahu tempat di mana Liz biasa bertemu kliennya. Tak perlu tergesa untuk menemui Liz. Hanya saja aku terhenyak karena di sana ada mobil ayahku. Dan aku melihat ayah berjalan sambil memeluk seorang gadis. Mereka berciuman lama dan sangat mesra. Niat untuk bertemu Liz aku urungkan. Aku memutar mobil dan mengirimnya sebuah pesan sms.


















“Liz…aku tak mengganggu kesenanganmu, tapi pria kaya yang sudah tidur denganmu itu ayahku!”

Rabu, 15 September 2010

jauh











kau jauh
bahkan mimpi tak sanggup menjangkaunya
terlalu jauh
tak tersentuh


5 September 2010
[05.21]

menagih janji






malam sunyi
sepi bernyanyi
bayangmu menari
di atas serpihan janji
belum juga kau tepati

5 September 2010
[05.19]

Matahariku







terlihat,
tak bisa ditatap
kau
matahari
bukan pacarku, aku tak kuat dengan panasnya,
tak bisa imbangi kegagahannya
aku tak bisa tutupi benderangnya,
aku…
tak bisa lepas darinya
itu kau
bukan pacarku
tapi
harapan,
mimpi,
nafas,
nyawaku

walau tak pernah sadar mendengar
suaraku terlindas merdumu,
kau
selalu menerangi


3 September 2010
[09.00]

tersesat










merogoh kekecewaan dari kocek kehidupan
tersesat dalam rutinitas monoton
terpasung mencari jalan kembali
coba berhenti
istirahatkan lelah
kau masih
di sini?


3 September 2010
[08.30]

Terima kasih Giandry “@Giandrot” Arena Ekayudha Mariandatu atas kalimat ajaibnya 

kosong

Kosong bukan berarti tak ada isi. Itu pula yang aku rasakan tentangmu. Kau tak lagi menghuni ruang hatiku tapi ruang itu tak pernah kosong, meskipun memang belum ada penghuni baru di dalamnya. Aku pun belum yakin apa hati ini akan disewakan, dikontrakkan, atau bahkan dijual. Aku bisa saja menjadikannya tempat kost biar selalu terisi. Tempat kost berbeda dengan tempat pelacuran. Aku tak pernah mau melacurkan hatiku.

Seperti lagu Pure Saturday, hanya saja aku tak akan pernah berusaha untuk ulangi apa yang terjadi. Aku hanya akan berusaha mengejar mimpi bersama anganku yang saat ini belum terisi penuh. Charger yang aku gunakan masih charger lama. Padahal walau dalam keadaan kosong aku masih bisa menggunakannya.

Kosong bukan berarti tak ada sinar mentari, atau tak ada cahaya redup rembulan yang menemaniku beristirahat. Kosong adalah ketenangan yang harus aku nikmati sebelum semuanya menjadi penuh sesak, sebelum semuanya menjadi ramai bahkan ribut. Kosong kadang aku butuhkan untuk mencari dan menemukan sesuatu yang berharga, yang mempunyai nilai. Tapi aku tak berusaha untuk mencari dan menemukanmu kembali.

Seperti bias-bias pelangi, kosong punya aneka warna. Mungkin merupakan salah satu elemen aura seseorang atau sesuatu yang mengimbangi energi positif dan negatif kehidupan. Kosong hanya karena kau tak lagi hadir dikala aku butuh sebuah jawaban darimu.
Lalu pada siapa aku harus bertanya kalau mentari sudah tak mau menampakkan diri.
hanya kau yang tahu alasannya kalau suatu saat nanti angin tak lagi mau berhembus, cuma kau yang mampu menjelaskan mengapa gerimis tak pernah memberi kesempatan kemarau berkuasa barang sejenak. Walau demikian akan selalu ada yang mengganti hadirmu hingga hatiku tak akan pernah kosong.

Kamis, 02 September 2010

rindu


rindu itu angin, ia tak nampak tapi selalu bisa aku rasa. tak pernah bisa aku sentuh walau aku memaksa. ia membelai hasrat berjumpa yang tak bisa aku ikat. tak bisa aku pasung agar tak membabi buta. berselingkuh dengan setia. menggoda mimpi dan kesadaranku


rindu itu air mata, sekali menetes, tak bisa kembali lagi ke dalam mata. mengalir berderai membersihkan semua ingatan tentangmu yang tak pernah bisa aku pendam. dia tak bisa menghadirkan de ja vu yang selalu aku harap terus datang berulang-ulang, tak kenal lelah, tak pandang wajah, memeram tanpa bosan.

rindu itu sebilah belati yang menusuk hati. mengirisnya tipis-tipis sampai hati ini hancur. menghadirkan kenangan manis yang selalu aku larutkan dalam secangkir kebisuan. kedatangannya selalu tiba-tiba, tanpa permisi mengusik ketenangan. lalu pergi begitu saja. seperti petir yang datang di kala hujan, mengagetkan walau hanya sesaat.

rindu itu pertanyaan karena hanya bayanganmu yang bermain di pelupuk mata, meracuni otak untuk membentuk silhuet dirimu di sana. entah jawabannya ada di mana, karena jawabannya adalah dirimu.

rindu itu angin yang menghablur air mata, membuyarkan silhuet dirimu perlahan, meniupnya sampai hilang tak berbekas. besaran yang tak pernah bisa kuhitung dengan angka.

rindu itu gerbang sepi tanpa pintu yang tak pernah tersentuh kembali…

Sabtu, 28 Agustus 2010

hari ini aku tak sedang berulang tahun

hari ini aku tak sedang berulang tahun
karena aku tak pernah bisa mengulang tahun yang telah aku lalui
tak pula bisa mengembalikan ramadhan saat pertama kali aku lahir
karena aku tak pernah bisa memutar waktu
aku tak mampu kembali pada saat pertama nafsuku terumbar
karena aku hanya bisa mengingat betapa berat perjuangan ibu
tatkala aku memaksa ingin mencemari udara dunia

hari ini aku tak layak mendapat ucapan selamat
karena jatah hidupku berkurang sedangkan dosaku bertambah
yang layak diberi ucapan selamat harusnya ibu
karena dia yang berjuang melawan maut
membuka kesempatan aku mewarnai dunia ini
doa terbaik dan terima kasihku hanya untuknya


hari ini aku tak perlu diberi hadiah
sebab aku adalah hadiah terbaik untuk ibu yang Allah berikan
tak perlu pula meniup lilin untuk mengharap sesuatu
karena aku hanya berharap pada Allah yang menghidupkanku
tempat aku bergantung, bukan pada asap lilin




langit hari ini persis seperti langit saat pertama aku tatap
dengan kelip bintang yang memandang takjub
serta senyum bulan yang mengiringi kehadiranku
menjadi penerang di antara gelap yang perlahan merayap,
agar aku selalu bisa bermanfaat

27 August 2010

Rabu, 25 Agustus 2010

Doa

Ya Allah,
Engkau perintahkan kami bersujud agar kami tahu
kami tak pernah punya apa-apa
tak Kau ijinkan kesombongan berhak kami pelihara
karena kami memang makhluk tak berdaya
Engkau biarkan kami merasa lapar agar kami menjadi manusia yang bersabar
karena semua Engkau yang tentukan

Engkau ijinkan kami banyak meminta
untuk memohon rido dan ampunanMu
Engkau buat kaki kami berlari berlomba menyambut berkahMu
Engkau bolehkan kami mencuri
mencuri waktu di tengah malam saat orang lain terlelap, mengambil air wudlu dan shalat
berharap Engkau menaikkan derajat kami menjadi makhluk yang mulia

Engkau beri kami tangan yang dapat kami kepal dan buka
terkepal disaat membela agamaMu
terbuka disaat kami harus memberi tanpa mengingat apa yang telah kami lakukan
serta menerima dengan tidak melupakan bantuan orang lain
jadikan kami orang yang pandai bersyukur

setiap detik yang bergerak menjadi pengingat dosa yang kami buat
berilah kami kekuatan untuk bertempur,
berperang melawan nafsu yang tak henti meracuni hati kami
agar kami memperlakukan hati ini dengan mengucapkannya dua kali, menjaganya agar tak patah, mempertahankannya supaya tetap murah, membuatnya selalu rendah
tidak tinggi pernah tinggi

Ya Allah,
Engkau tak pernah tidur, tak pernah lepas mengawasi kami
Jagalah kami selalu agar tetap berada di jalanMu
karena walau kami tak pantas berada di surgaMu,
tapi kami takut nerakaMu