Kamis, 30 September 2010

Utang


“Nelangsa gitu…kenapa, Del?” tanya Ilham. Yah…dia yang selama ini jadi tempat curhat gua. Halah…curhat. Beuh…menjijikkan.

“Vera mutusin gua, Ham!”

“Fadel….Fadel. diputusin cewek aja begitu nelangsanya, kagak ada semangat hidup. Diputusin cewek mah, nyari cewek lain dong!”

“Lo gak ngerti sih, Ham. Gua cinta mati sama Vera!”

“Yah…lo salah lagi. Lo gak pernah cinta mati sama Tuhan, pantesan lo nelangsa mulu!” nah…nah…apa Ilham mulai lagi. Dia sok tau banget. Sok alim, tapi suka banyak benernya. Apa gua yang salah mulu, ya?

“Tuhan gak asik ah….Dia gak ngasi banyak ke gua. Malah banyak ngasi penderitaan.’

“Yaelaaaahh…Del, lo kata Tuhan gak asik? Apa pernah lo kenal Tuhan? Deket aja lo kagak pernah. Eh, Del…lo tau kalau hidup itu cuma ada dua pilihan, menderita dan menikmati, lo mau pilih yang mana itu terserah sama keputusan lo!”

“Jadi kalau gua menderita, gua musti menikmati penderitaan itu? Ogah gua!”

“Mhhh…lo tau Del, kadang kita gak nyadar kalau hidup kita lebih berarti pada saat kita menderita karena bisa lebih dekat sama Tuhan.” laganya…mau jadi pendeta apa ustadz ni anak, heran gua.

“Del, coba lo inget lagi, apa pernah lo inget Tuhan waktu lo ketawa-ketawa cekakan, ngumpul sama temen-temen lo? Boro-boro inget Tuhan, yang ada botol bir lo cekek, alkohol lo tenggak, malah lo sering jual harga diri lo di antara selangkangan yang bukan pasangan syah lo. Pantesan aja Vera ninggalin lo!”

Edan! Kata-kata yang barusan aku dengar menamparku keras. Iya, gua sering jajan di luar, gua khianati cinta Vera, hanya karena Vera gak pernah mau gua ajak tidur bareng. Saat Vera mutusin gua…gua sendiri yang jadi gak punya semangat hidup. Gua yang beruntung punya Ilham atau Tuhan mulai merhatiin gua, ya?

“Del, justru ujian paling berat buat manusia itu adalah ujian kesenangan. Saat lo ada di atas, saat banyak orang yang menyanjung dan mengagumi lo, di saat kejayaan sedang mesra-mesranya sama hidup lo…lo akan semakin jauh sama Tuhan karena semua kesenangan dan kemudahan itu. Harusnya lo bersyukur Vera mutusin lo, jadi lo bisa ngaca, bisa ngeliat lagi apa yang udah lo lakukan. Gua gak niat nyeramahin lo. Ini spontan keluar karena gua gak mau liat lo seperti itu.”

“Thanks pal! Gua utang banyak sama lo. Gua baru nyadar kalo selama ini gua banyak nyia-nyiain waktu hidup gua!”

Rabu, 29 September 2010

SAD is stand for Sorry and Disappointed




Aku kangen teman-temanku. Aku ingin sekali berkumpul dengan mereka. Hanya sayang ruang dan waktu memisahkan rindu itu. Padahal ingin rasanya berkumpul dengan Emy, Erik dan Budi. Pasti mereka sekarang sedang tertawa-tawa senang. Eh, apa mereka akan ngisengin aku lagi kalau aku datang sewaktu-waktu dan ikut berkumpul? Apa Budi akan memasukkan Red Labels lagi ke dalam gelas fantaku?

Kangen banget sama mereka. Kangen sama kejailan mereka. Sekarang mereka lagi apa, ya?

“Eh, lo kenapa?” tanya Budi pada Em yang baru ditemuinya. Sudah lama sekali mereka tak bertemu.

“Gua kanker, lo?” Em balik bertanya.

“Gua ditembak teroris waktu ditugaskan di Aceh. Lo, Rik?”

“Hehehe…over dosis!”

“Gak nyangka ya kalau cara mati kita seru banget. Ditembak sakit, Bud?” tanya Em kembali

“Panas. Susah bernafas. Pelurunya nyarang di dada. Kalo OD gimana, Rik?”

“Enak…gua serasa melayang dan tiba-tiba udah ada di sini, ketemu kalian hehehe…”

“Eh, lihat tu si Fey di dunia. Dia lagi kengan sama kita. Kapan dia nyusul kita?” Budi melihatku mungkin. Aku tiba-tiba sangat rindu padanya. Dia mantan pacar pertamaku.

“Eh, jangan suruh Fey datang cepat-cepat. Biarkan dia menikah dulu. Biarkan dia menikmati hidupnya. Eh, Rik…di dunia dia gak jadi jodoh lo, kalau dia datang ke sini, lo mau jadian sama dia?” tanya Em. Dia tanteku yang meninggal karena kanker payudara. Aku tak bisa banyak menolongnya karena Tuhan berkehendak lain.

“Mau! Gua mau belajar ngaji sama dia. Kenapa dulu gua biarin si Budi yang nembak dia walo akhirnya hanya pacaran tiga hari hahaha….” Erik tampak berbinar.

“Tapi setidaknya gua pernah nyium dia. Lo kagak hahaha….!”

Aku hanya terdiam…mungkin itu yang sedang mereka obrolkan kalau mereka melihatku sedang rindu sama mereka. Kepergian mereka membuatku sangat menyesal dan kecewa. Kecewa karena aku tak pernah mengerti apa keinginan mereka. Menyessal karena aku tak pernah bikin mereka bahagia. Semoga kalian damai di alam sana teman. Aku selalu akan mengingat kalian, sampai aku yang datang menyusul.

Sketsa




“Anginnya gak enak!”

“Kalau anginnya enak, aku gak usah cape-cape masak buat kamu. Kita makan angin aja!”

Suamiku mendelik, lalu tersenyum. Memaklumi? Hahaha…katanya aku tak pernah serius. Dan itu alasan kenapa dia menikahiku. Hidup ini memang harus dijalani dengan serius, tapi tidak terlalu serius. santai sajalah karena setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, tak ada yang tak terselesaikan. Itu hanya bagaimana aku pandai-pandai mencari jalan keluar untuk bernafas lega.

Sore ini kami berdua. Menikmati senja dengan ditemani kopi seduhan suamiku. Dia pandai sekali meracik kopi, bahkan sudah terlalu hafal mana kopi yang enak dan bagaimana cara penyajiannya. Kelebihan yang akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk mau dinikahinya.

“Senjanya cantik, ya? Tapi tentu saja lebih cantik kamu!”

“Hilmi tampan, kalo senja lebih cantik, aku yakin kamu bakalan menikahi senja, bukan menikahiku!” dia tertawa.

Ah, dia bukan pria yang pandai merayu. Dia payah dalam berkata-kata, tapi hebat kalau di atas ranjang. Dia tersenyum kembali dan menatapku lama, “Aku yang oon atau kau yang terlalu pintar, ya?”

“Kayaknya kita sama-sama oon deh, makanya saling tertarik dan mau menikah…”

“Res, kita belum bulan madu, kan?”

“Ya Allah…Hilmi, bulan madu menurutku adalah malam pertama kita bercinta. Ternyata kamu hiper juga sampai aku kewalahan heheh!”

“Tapi itu dilakukan di sini, di rumah orang tuamu. Aku ingin kita berdua pergi ke suatu tempat. Ke Paris misalnya. Atau kamu tahu kota terbaik untuk kita berbulan madu?”

Aku sangat menghargai keinginan suamiku. Dia ingin bahagia dan ingin pula membahagiakan aku dengan caranya. Aku pun ingin pergi ke Paris, apalagi hanya berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.

“Hilmi sayang, aku punya dua kota terbaik dan terburuk untuk kelangsungan pernikahan kita. Bukan sekedar untuk berbulan madu.”

“Great! Where’s that?”

“Kota terbaik adalah ko ta selingkuh. Dan kota terburuk adalah ko ta setia. Bagaimana?”

Hilmi terdiam, lalu,”Aku menikahi perempuan yang tepat. Luarbiasa dan bisa menjadi pasanganku seumur hidup. Ko ta akan kecewa mendapatkan aku. Ko ta pernah serius, tapi dibalik ketidakseriusanmu itu ada sesuatu yang bermakna. Seperti sebuah sketsa. Hanya goresan yang belum mempunyai bentuk yang jelas, orang sudah menangkap maksudnya…”

“Dan semoga pernikahan kita tak hanya sebuah sketsa…”


28 September 2010

Jalan Setapak ke Hatimu




Lampunya mati, meski bertahun-tahun melewati jalan ini, aku masih selalu meraba-raba untuk melaluinya. Takut terjerembab, takut ada ular, dan ketakutan-ketakutan lain yang menghantui pikiranku.

Yah, malam-malam melewati jalan ini masih sama. Lampu yang terpasang hanya bersinar beberapa saat. Terkadang sinar bulan mampu mengalahkan terangnya. Aku suka melewati jalan ini. Redup bulan selalu tampak romantis, walau aku sering tersandung dan terjatuh. Bintang yang bertebaran jadi teman kesendirian perjalananku.

Ketika perjalanan kulakukan siang hari, hamparan pesawahan, tanah lapang, dan beberapa pohon yang bila malam tampak seperti raksasa hitam terlihat rindang dan memesona pandanganku. Indahnya tak bisa kulukiskan dengan sapuan koas yang selalu aku mainkan di atas kanvas, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Selalu terpukau walau harus terjatuh beberapa kali, dan merasakan sakit beberapa kali pula sampai aku benar-benar tiba di tujuan.

“Apa yang bikin kamu kembali ke jalan ini?” tanya seekor burung yang sering melihatku suatu hari. Waktu itu aku hanya tersenyum. Entah apa yang bikin aku suka sekali kembali ke jalan ini. Hihihi…aku juga tak tahu alasannya, dan baru sadar setelah mendapat pertanyaan itu.

Apa ya? Padahal untuk sampai di tujuan perlu ditempuh dengan pengorbanan, penuh luka dan air mata. Aku hanya tersenyum sesaat. Sisanya kesedihan dan galau.

“Dia akan menyambutmu ketika kau tiba di sana? Atau dia sudah tau kau sedang berjalan ke arahnya?”

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Pertanyan-pertanyaan burung itu tak pernah terpikir olehku. Itu karena aku dibutakan cinta kepadanya. Selama ini aku tak peduli harus melewati jalan setapak yang berliku, terjal dan berbahaya. Walau harus dilewati dengan merasakan perih dan berkubang air mata, yang penting aku sampai tiba di tujuan. Kalau pun dia tak menerima, aku bisa balik lagi melewati jalan kecil ini.


27 September 2010

Minggu, 26 September 2010

Potret


Kembali menatap langit, belum juga menandakan bias-bias jingga akan datang. Masih tetap kelabu. Malah warnanya menjadi ungu. Gambaran kesendirian hatiku. Rintik hujan mulai turun, temani sepiku yang kian menggigit. Hujan memang tak bisa dipinta. Tak juga bisa ditolak. Kalau mau turun ya turun…tak ada yang bisa menghalangi. Sesuka hatinya membasahi kulit bumi yang semakin keriput seiring perjalanannya mengitari matahari. Tanpa lelah. Entah kapan ia akan berhenti. Padahal ia semakin renta. Dalam usia tuanya sudah banyak cerita yang menemani, datang silih berganti. Tersimpan dalam catatan sejarah yang kian menumpuk dan mungkin saja terlupakan.

Mataku berkedip. Berair. Debu milenium tak mengotori mataku, asap yang terus termuntahkan dari rokok yang aku sulut, dari knalpot kendaraan, bahkan dari cerobong asap pun tak mempengaruhinya. Warna menyilaukan dari lampu-lampu yang berkelip lucu pun bukan alasan. Mataku berair karena emosi yang tak tertahan menatapmu. Aku rindu.

“Jay…telpon!”

Teriakan adikku membuyarkan kenikmatanku menatapnya. Menatap senja, menatap potret orang yang kurindukan. Siapa? Ah, hanya kekosongan orang yang aku tatap. Dia terlalu jauh untuk aku gapai. Bahkan membayangkan bisa berada di dekatnya pun itu sudah merupakan harapan terbesar yang aku punya.

“Papa?” tanyaku. Yang ditanya malah mencibir.

“Mabok, lo!” katanya. Aku diam saja, lalu kuangkat gagang telpon.

“Halo!” saat aku dengar suara orang yang menyahut di ujung sana, langsung kuletakkan gagang telpon. Adikku menatapku aneh, “Lho? Kok ditutup, sih?”

“Bukan papa!”

Aku berlalu dan membiarkan adikku menggerutu karena sama sekali aku tak peduli apa yang dia bicarakan, sama sekali tak peduli apa yang dia pertanyakan. Aku terlalu sibuk dengan harapan, impian dan angan-anganku sendiri. Tak peduli orang memanggilku gila, atau apapun. Seterah mereka. Terserah? Seterah apa yang mau aku katakan!

Kembali aku menatap langit yang menjadi rak buku sejarah untuk mengingat kebersamaanku dengannya. Persis seperti loteng dengan rak buku tempat biasanya papa menghabiskan waktu. Bayangan-bayangan yang berkelebat di depan mataku menjadi potret betapa aku sangat merindukannya.

Potret papa pun tersimpan apik di sana. Aku susun sesuai keinginanku. Aku tata bayangan papa dalam hati agar ia selalu dekat denganku. Aku tatap senja yang pamit pulang, diiringi rintik hujan. Mengijinkan gelap berkuasa untuk menghapus gambaran kepedihan yang semakin hari semakin tajam menusuk hati. Membuyarkan potret dirinya yang dulu selalu menghiasi dinding hariku.

Sabtu, 25 September 2010

Aldi


Huh! Pagi-pagi sudah kembali hujan. Tampaknya hujan memang sedang rajin isi absensi bulan ini. Entah takut kena SP atau memang ada alasan lain yang dia miliki sendiri, tak pernah bolos walau sehari. Kalau tak butuh, malas sekali untuk bangun. Udara dingin membuatku lebih suka merapatkan selimut daripada beraktifitas. Ah, Aldi harus sekolah!

"Ci, tlng bereskan baju Al. 2 jam lagi saya jemput" isi sms yang baru masuk pagi ini bikin aku merasa tak enak sendiri. Aldi mau dibawa pergi? 2 jam lagi? Enak sekali. Apa bapaknya itu gak mikir kalau Aldi harus sekolah? Puasa kemarin sekolahnya sama sekali tak betul, banyak bolosnya. Bahkan kemarin Al sendiri yang curhat nggak mau pindah sekolah. Nggak mau berpisah denganku. Sama Al, hidupku pun akan meredup karena kau yang selama ini meneranginya. Aku tak peduli dengan isi sms itu.
"Mau pake batik!" pinta Aldi setelah selesai mandi. Pake batik ke sekolah? Hey, ini Sabtu, Bung! waktunya seragam pramuka. Aku tak bilang kalau 2 jam lagi dia akan dijemput bapaknya. Aku tak akan membiarkan ini terjadi.

"Al. Kalau bapak datang kamu jangan mau ikut, ya!" perintahku. Al menatapku penuh tanda tanya.

"Bapak mau datang?" matanya tidak berbinar. dia malah merenung. Besok kita akan bersenang-senang. Makan-makan di restoran cepat saji, beli skateboard dan sepatu baru, hanya berdua. Tak ada bapak, tak ada ibu, hanya aku dan Aldi.

Ci, saya di luar. Kembali bapak Al mengirimku sms. Hatiku kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia bapaknya, tentu lebih berhak mengatur Aldi. Dia sudah datang.

Al meronta, dia berteriak "Aku nggak mau ikut bapak! Aku juga nggak akan ikut ibu! Al mau di sini aja." Al menangis keras, dia berlari ke arahku. Ke dalam pelukku, minta perlindunganku.

Tapi yang minta dan hendak membawa Aldi adalah bapak dan ibunya. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa Aldi, hanya orang yang teramat sayang pada anak itu. Bahkan aku mencintainya lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Dua bulan ini dia lebih nyaman bersamaku, karena ayah dan ibunya dalam kondisi rumah tangga yang sama sekali tak harmonis. Suatu keadaan yang harusnya tak banyak diketahui anak usia 7.

Aku biarkan air mata mengalir tak henti, seperti aku biarkan Aldi menangis karena tak mau dibawa bapaknya. Ibunya, entah kemana. Aku tak peduli. Napasku seolah terhenti. Pantas saja September ini hujan tak pernah bolos untuk isi absensi karena matahariku pergi dari duniaku.

"Mama!"

Aku mendengar suara Al. Dia kembali! Dia memanggilku mama. Dia lebih nyaman dan aman dalam pelukku karena aku sayang dia.




Ah...hanya lamunanku saja...

Jumat, 24 September 2010

Kopi Terakhir




Matanya berair. Sesekali tersenyum sendiri, lalu berbicara pada seseorang padahal di sana tak ada siapa-siapa. Batang berikutnya mulai disulut. Di sekitarnya sudah berpuluh puntung rokok menemani obrolan sendirinya. Asap putih kembali mengepul. Tak ada kopi atau teh. Apalagi coklat panas.

Riak-riak awan mendung kembali menggayut. Tak peduli. Hujan atau hanya awan yang lewat, apapun. Angin dingin yang selalu menusuk hingga tulang kembali datang. Tak pernah ramah. Satu hembusan asap rokok, entah kapan bertemu batang terakhir. Dia tertawa.

“Jangan janji sama aku, ya!”
“Aku tak janji. Tapi aku mau besok kau datang lagi!” lalu satu ciuman mendarat di kening Siwi, “…karena aku selalu butuh kamu.”

“Ted, besok aku pergi. Jangan tunggu aku kembali!”

Siwi selalu menepati kata-katanya. Dia tak pernah bohong. Sekali dia bilang biru, tak akan pernah berubah putih. Seperti matahari yang tak pernah letih selalu datang menjemput pagi dan pulang mengantar senja setelah lelah beraktifitas. Beristirahat.

Ted memandang cangkir di depannya, itu cangkir kopi terakhir yang Siwi seduh untuknya, kemarin. Ampas kopi itu mengendap dan mengering. Tak pernah akan kucuci…pikir Ted. Kembali dia memandang koran di depannya, membaca halaman muka tentang pesawat jatuh yang merenggut nyawa Siwi. Dia pergi, tak pernah kembali. Mata Ted berair, dia menangis.

Kamis, 23 September 2010

23 September





Mendung masih menggayut, seolah tak mau lepas dari pelukan September. Perjalanan waktu yang bergeser sedikit demi sedikit di antara lelahnya rintik hujan selalu membuat perubahan. Ada yang pulang, ada yang pergi. Balans, di setiap pergeseran jarum sekon.

“Kau membuatnya menangis lagi.” kata malaikat itu.

Ya, aku selalu membuatnya menangis. Dalam harapku berjejal keinginan untuk membuatnya tertawa senang. Bangga memilikiku. Apa daya, hanya air mata yang mampu aku kuras dari dirinya. Ada banyak kerutan di wajahnya. Aku terus menatapnya.

“Aku selalu bisa menatapnya seperti ini, bukan?” tanyaku pada malaikat itu, dia hanya mengangakat bahu lalu beralih pandang mengawasi sekeliling. Aku tahu, tak akan ada yang menjemputku.

“Sudah berapa lama?” tanyaku.

“Kenapa? Sudah tidak betah? Baru satu menit!”

Apa? Satu menit? Aku rasakan keberadaanku dengannya sudah lebih dari 5 jam. Berdiri menyaksikan perihnya hati ikut mengendap. Derasnya hujan tak mampu mengalirkan perih itu. Aku tak kuasa memandang sorot matanya yang sudah semakin lelah. Tapi aku juga tak mau meninggalkan dirinya. sendirian.

Di belahan yang lain aku melihat keriaan. Seorang bayi temanku lahir. Lucu sekali. Aku ingin menggendongnya. Lalu tatapku berusaha merayu malaikat di sebelahku untuk mengijinkan menengok dan membelai bayi itu. Sang malaikat menggelengkan kepala, dia bilang kalau aku adalah masa lalunya. Gerak kepalanya menunjuk kembali pada ibu yang sedang menangis di depan pusaraku. entah sampai kapan air mata itu akan mengering...

Lupakan keriaan itu, aku ingin memeluk ibu, menciumnya, dan membisikkan selamat ulang tahun padanya. Selama ini aku belum pernah memberikan kebanggaan padanya, bahkan aku menanamkan kesedihan tak berujung padanya.

23 September akan selalu ibu ingat, bukan sebagai hari ulang tahunnya, tapi kepergianku ke alam keabadian.



Selamat ulang tahun mamaku sayang…semoga aku bisa membuatmu bangga. Amiin.

Rabu, 22 September 2010

Paralayang



“Berani?” tantangnya.
“Ah, ini sih kecil!” jawabku sambil menelan ludah.
“Bener, nih? Sudah pernah mencoba?” tanyanya lagi sambil tersenyum manis. Aku menggeleng.
Man! senyumnya manis banget. Kopi pahitpun akan kemanisan kalau aku meminumnya sambil melihat dia. Jullie Estelle…lewat. Paris Hilton… punya kaya doang. Tapi perempuan ini… tak ada yang bisa menggambarkan, maklum tak terlihat hahaha... Hantu dong.

Ya… perempuan ini selalu menghantuiku apa pun yang aku lakukan, di mana pun aku berada, dengan siapa pun aku bersama, bayangannya selalu berkelebat di depan mata. Senyumnya selalu berjalan-jalan di kepalaku.

“Sekali nyoba, ketagihan, lho!” katanya lagi.
Rugi melepaskan pandangan darinya. Ia bangkit, menarik tanganku agar aku membuntutinya.

“Mas Nino sudah menyiapkan semuanya buat kita.” Katanya lagi, “Karena kamu pemula, kita berdua melakukannya.” Man! Lagi-lagi senyum manisnya itu ia umbar kepadaku. Sudah tahu aku sangat tergila-gila dengan senyum itu.

Dan saat akan dimulai, adrenalinku terpacu, nafas memburu, darah di kepala seolah membeku, tak tahan dengan apa yang aku lihat. Pemandangan yang indah. Walau sudah berusaha memejamkan mata. Walau ditemani perempuan paling menarik di muka bumi, aku tak kuasa berteriak. Sedang di bawah sana pemandangan di sekitar Lido sangat menawan. Wajahku pucat.

“Kenapa?” tanyanya khawatir.

“Aku...fobia ketinggian!”

Selasa, 21 September 2010

jodoh


“Minggu depan?”

Ibu tampak marah, kaget, bingung, dan entah apa lagi yang ibu rasakan saat aku mendesaknya untuk mengijinkan aku menikah minggu depan. Angga dan aku sudah sepakat walau ibu dan Angga belum pernah bertemu.

“Kamu hamil?”

Aku diam, tapi aku yakin ibu sudah tahu. Beliau menghembuskan nafas keras. Sepanjang umurku baru kali ini melihat ibu begitu marah.

“Ibu mau ketemu calonmu. Sekarang juga kalau bisa.”

Aku segera menghubungi Angga. Nama kami mirip. Angga dan Anggi, sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk bersatu. Bahkan wajah kami pun mirip. Kata orang kalau mirip biasanya panjang jodoh. Semoga memang begitu.

Ibu takjub melihat Angga. Ibu tak mengijinkan aku ikut terlibat. Mereka berbicara lama, dari kejauhan aku melihat Angga merangkul ibu, mereka menangis. Lalu Angga bersujud mencium kaki ibu. Aku tersenyum, mereka akan cocok.

Tak kuasa menerima kabar yang baru aku dengar. Entah harus sedih atau senang, tak pernah akan ada pernikahan antara kami. Padahal aku sedang mengandung anak Angga, kakak kembarku yang terpisah karena perceraian ayah dan ibu.

Senin, 20 September 2010

Will you marry me


“Kenapa menolaknya, Mbak?”
“Siapa yang menolaknya? Dia selalu datang, ngabisin nasi dibakulku itu. Minta rokok. Ndak ada rokok, minta duitnya. Itu namanya menolak?”
“Mbak, nggak mau diajak kawin.”
“Ndak mau diajak kawin? Siapa yang ngajak aku kawin, Ma?”
“Mbak pernah pacaran sama Mas Marwan, kan?”
“Aku ndak tau. Waktu itu dia datang bawa roti mari. Katanya dia beli di Malioboro khusus buat aku. Padahal, dia tau aku ndak suka. Akhirnya dia habiskan sendiri. Lama dia ngobrol sama aku. Aku sendiri ndak tau apa yang dia bicarakan. Tapi selama ngobrol itu dia pandangi aku terus sampai aku salah tingkah. Sama sekali ndak ada pembicaraan yang mengarah untuk bilang aku suka sama kamu, Tis. Apalagi ngajak kawin. Ndak ada, Ma! Hanya…ketika dia hendak pulang, dia mencuri satu ciuman di pipiku. Lalu tergesa dia sambar sepedanya sampai terjatuh. Sama sekali ndak berusaha untuk menciumku dengan lembut.”
“Tapi Mas Marwan sepertinya ingin mencium mbak dengan lembut. Mbak Tisti suka?”
“Dia tidak punya keberanian!”
“Mungkin karena takut. Mbak punya pacar?”
“Dalam proses menanti. Lagian apa yang mesti ditakutkan?”
“Ya, tak ada yang perlu ditakutkan. Cuma dari cara Mas Marwan membicarakan Mbak, selalu antusias. Selalu ada sinar bahagia dari matanya kalau menyebut nama Mbak. Sepertinya Mas Marwan benar-benar menginginkan Mbak. Dia mau kawin sama Mbak.”
“Bilang dia, kalau memang mau ajak aku kawin, cari kerja aja dulu. Dia mau kasi aku makan apa?”
“Kalau Mas Marwan memang sudah bekerja, mbak benar ya mau nerima Mas Marwan!”
(Tisti tidak menjawab, pipinya memerah)
“Mas, ayo mau bilang apa sama Mbak Tisti!”

(Rupanya Marwan sudah lama berada di sana, dia mendengar semua yang Salma dan Tisti bicarakan. Menyeringai dia menemui kedua gadis itu)
“Tis, aku ndak nganggur lagi. Aku mau kamu kawin sama aku. Sabtu lalu aku diterima Pak Ngatiman kerja. Jadi penggali kubur!”
*$!@#'*~¢¥¿§£*

Minggu, 19 September 2010

Suami Setia


Hari sudah gelap. Batang terakhir mulai dibakar. Rokok yang disulut hampir 5 bungkus.. Karena tak ada satu pun yang bisa diajak ngobrol sekedar menemani sepi, dia pikir merokok lebih baik daripada bengong dan menyisakan puluhan puntung yang berserakan. Pekerjaan buat petugas kebersihan stasion.

Kereta yang lewat sudah 42 kali. Menurut petugas stasion yang dia tanya setiap hari kereta yang melintasi stasion kecil itu 45 kali. Berarti masih ada 3 kereta lagi yang akan transit sampai tengah malam nanti. Padahal dia ingat betul pesan tertulis dalam surat yang dia terima, kalau istrinya akan pulang dua hari sebelum lebaran dengan kereta sore yang tiba pukul 5.

5 tahun menunggu sepi, ditinggal istri jadi TKW ke Arab Saudi guna memperbaiki ekonomi. 5 tahun pula dia bolak-balik ke kota mencari pekerjaan, walau hanya alasan supaya tak dianggap benalu oleh mertua karena hanya memakan uang kiriman istrinya. Untuk ukuran suami yang ditinggal istri selama itu dia setia. Urusan libido yang mendesak, ada tempat semestinya yang bisa menyalurkan hasrat seksual tak sampai 50 ribu. Dan sedikit menyisihkan untuk biaya sekolah anak tunggal mereka yang baru kelas 2 SD. Enteng!

Satu kereta lagi mendekat. Kereta ke 43, jam digital yang dibeli 20 ribu di pinggir jalan menunjukkan pukul 21.15. Rokoknya sudah hampir habis. Kalau rokok terakhir ini habis dan istrinya masih belum tampak, pulang.

Diperhatikannya penumpang yang turun satu persatu, istrinya masih belum terlihat. Yah, apa boleh buat. Sampai kereta itu hendak melanjutkan perjalanan, istrinya tak juga tampak. Gontai dia menuju peron ke luar. Tapi tak sampai pintu, suara familiar seorang perempuan memanggilnya,
“Mas Jo!” dengan sumringah dia membalikkan tubuh, istrinya pulang membawa banyak barang bawaan dan uang.

Wajah sumringahnya berubah, yang dilihat bukan seorang perempuan dengan banyak barang bawaan, tapi seorang ibu yang menggendong bayinya. Paras bayi itu mirip orang-orang berkebangsaan Arab. Dengan santai Jo melangkah, meninggalkan perempuan itu seorang diri. Dia tak peduli walau perempuan itu berteriak memanggilnya.

Sabtu, 18 September 2010

Rachel

Ada banyak cerita yang harusnya terjalin. Dia suka menjalinnya. Menguntai harapan satu demi satu. Seperti menguntai manik-manik beraneka warna yang biasa dia jadikan kalung. Cantik sekali.

Terlalu banyak kesamaan yang esensial. Persamaan-persamaan kecil yang mungkin sepele. Tapi aku yakin akan sangat berarti bagi kami suatu saat nanti. Membantunya mengatakan apa yang ingin dia bicarakan. Selama ini dia hanya tersenyum kalau aku mengajaknya berbincang. Lalu goresan tangan cantik tertulis di atas kertas putih. Ya, aku baru mengerti keinginannya setelah dia tulis. Tulisan tangannya bagus dan rapi, tidak seperti tulisan tanganku yang seperti cakar ayam.

“Dapat salam dari Andre!” selorohku menggodanya.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, lalu pipinya terlihat memerah. Entah malu, senang, atau marah? Biarkan dia yang merasakannya. Tapi tiba-tiba dia menggeleng. Maksudnya?
Dia bilang Andre tak mungkin menyukainya.

“Andre hanya kirim salam. Belum tentu dia menyukai kamu!” godaku lagi.
Dia menoyor lenganku pelan, dan kembali tersipu.
Mungkin Andre suka kamu, tulisnya. Aku terkejut. Ada raut sedih pada wajahnya ketika menuliskan itu. aku tahu kalau dia cemburu.
“Nggak, kok! Aku bercanda! Andre suka sama kamu makanya dia kirim salam buat kamu.”

Kali ini dia menulis dengan tanpa senyum sama sekali, mana mungkin Andre suka sama gadis bisu seperti aku, Feb!

















Tentu akan ada cerita yang terjalin kalau Rachel tak meninggalkan aku. Meski dia juga tak menolak Andre. SMS yang baru aku terima membuatku terdiam, Rachel tewas karena kecelakaan yang mengakhiri untaian cerita ini. Untaian manik-manik beraneka warna tak pernah selesai menjadi kalung cantik.

Jumat, 17 September 2010

Father and Friend

“Aku dapat yang baru!” teriak Liz di ujung telpon.
Aku tahu, Liz yang supel dan penuh semangat akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia mau. “Sedikit tua tak apa, yang penting dia bisa membayar aku lebih!” katanya sambil tertawa gembira, “Kamu tahu, dia itu sangat kaya!” sambungnya lagi.
Aku ikut tertawa, walau terpaksa. Sahabatku ini nekat sekali. Setelah tahun lalu dia mulai melacurkan diri karena terdesak ekonomi, malah ketagihan. Huh! Terdesak apa…dia itu sangat suka foya-foya. Hampir setiap malam waktunya dia habiskan di bar. Ya…aku ikut juga sih. Aku juga suka bersenang-senang di bar, tapi tidak tidur dengan sembarang pria, walau pria itu kaya.

“Nanti malam ayah tidak pulang! Kamu baik-baik di rumah ya. Mwuah!” ayah mencium lembut keningku.
Shit! Lagi-lagi ayah meninggalkanku sendiri di rumah besar ini. Sejak orang tuaku bercerai dua tahun lalu, aku memilih ikut ayah. Selain karena ayah lebih perhatian, juga lebih...ehm, berada.

“Liz, ayahku tak pulang nanti malam. Mau temani aku?” aku akan kesepian nanti malam makanya mengundang Liz.
“Sorry dear, I can’t! Aku akan bertemu pria kaya itu nanti malam!”
Huh! Semua meninggalkanku. Aha… “Boleh aku ikut?”
“Hahaha….are you sure? Boleh, tapi jangan mengganggu kesenanganku!”
“Oke, deal!”


Aku tahu tempat di mana Liz biasa bertemu kliennya. Tak perlu tergesa untuk menemui Liz. Hanya saja aku terhenyak karena di sana ada mobil ayahku. Dan aku melihat ayah berjalan sambil memeluk seorang gadis. Mereka berciuman lama dan sangat mesra. Niat untuk bertemu Liz aku urungkan. Aku memutar mobil dan mengirimnya sebuah pesan sms.


















“Liz…aku tak mengganggu kesenanganmu, tapi pria kaya yang sudah tidur denganmu itu ayahku!”

Rabu, 15 September 2010

jauh











kau jauh
bahkan mimpi tak sanggup menjangkaunya
terlalu jauh
tak tersentuh


5 September 2010
[05.21]

menagih janji






malam sunyi
sepi bernyanyi
bayangmu menari
di atas serpihan janji
belum juga kau tepati

5 September 2010
[05.19]

Matahariku







terlihat,
tak bisa ditatap
kau
matahari
bukan pacarku, aku tak kuat dengan panasnya,
tak bisa imbangi kegagahannya
aku tak bisa tutupi benderangnya,
aku…
tak bisa lepas darinya
itu kau
bukan pacarku
tapi
harapan,
mimpi,
nafas,
nyawaku

walau tak pernah sadar mendengar
suaraku terlindas merdumu,
kau
selalu menerangi


3 September 2010
[09.00]

tersesat










merogoh kekecewaan dari kocek kehidupan
tersesat dalam rutinitas monoton
terpasung mencari jalan kembali
coba berhenti
istirahatkan lelah
kau masih
di sini?


3 September 2010
[08.30]

Terima kasih Giandry “@Giandrot” Arena Ekayudha Mariandatu atas kalimat ajaibnya 

kosong

Kosong bukan berarti tak ada isi. Itu pula yang aku rasakan tentangmu. Kau tak lagi menghuni ruang hatiku tapi ruang itu tak pernah kosong, meskipun memang belum ada penghuni baru di dalamnya. Aku pun belum yakin apa hati ini akan disewakan, dikontrakkan, atau bahkan dijual. Aku bisa saja menjadikannya tempat kost biar selalu terisi. Tempat kost berbeda dengan tempat pelacuran. Aku tak pernah mau melacurkan hatiku.

Seperti lagu Pure Saturday, hanya saja aku tak akan pernah berusaha untuk ulangi apa yang terjadi. Aku hanya akan berusaha mengejar mimpi bersama anganku yang saat ini belum terisi penuh. Charger yang aku gunakan masih charger lama. Padahal walau dalam keadaan kosong aku masih bisa menggunakannya.

Kosong bukan berarti tak ada sinar mentari, atau tak ada cahaya redup rembulan yang menemaniku beristirahat. Kosong adalah ketenangan yang harus aku nikmati sebelum semuanya menjadi penuh sesak, sebelum semuanya menjadi ramai bahkan ribut. Kosong kadang aku butuhkan untuk mencari dan menemukan sesuatu yang berharga, yang mempunyai nilai. Tapi aku tak berusaha untuk mencari dan menemukanmu kembali.

Seperti bias-bias pelangi, kosong punya aneka warna. Mungkin merupakan salah satu elemen aura seseorang atau sesuatu yang mengimbangi energi positif dan negatif kehidupan. Kosong hanya karena kau tak lagi hadir dikala aku butuh sebuah jawaban darimu.
Lalu pada siapa aku harus bertanya kalau mentari sudah tak mau menampakkan diri.
hanya kau yang tahu alasannya kalau suatu saat nanti angin tak lagi mau berhembus, cuma kau yang mampu menjelaskan mengapa gerimis tak pernah memberi kesempatan kemarau berkuasa barang sejenak. Walau demikian akan selalu ada yang mengganti hadirmu hingga hatiku tak akan pernah kosong.

Kamis, 02 September 2010

rindu


rindu itu angin, ia tak nampak tapi selalu bisa aku rasa. tak pernah bisa aku sentuh walau aku memaksa. ia membelai hasrat berjumpa yang tak bisa aku ikat. tak bisa aku pasung agar tak membabi buta. berselingkuh dengan setia. menggoda mimpi dan kesadaranku


rindu itu air mata, sekali menetes, tak bisa kembali lagi ke dalam mata. mengalir berderai membersihkan semua ingatan tentangmu yang tak pernah bisa aku pendam. dia tak bisa menghadirkan de ja vu yang selalu aku harap terus datang berulang-ulang, tak kenal lelah, tak pandang wajah, memeram tanpa bosan.

rindu itu sebilah belati yang menusuk hati. mengirisnya tipis-tipis sampai hati ini hancur. menghadirkan kenangan manis yang selalu aku larutkan dalam secangkir kebisuan. kedatangannya selalu tiba-tiba, tanpa permisi mengusik ketenangan. lalu pergi begitu saja. seperti petir yang datang di kala hujan, mengagetkan walau hanya sesaat.

rindu itu pertanyaan karena hanya bayanganmu yang bermain di pelupuk mata, meracuni otak untuk membentuk silhuet dirimu di sana. entah jawabannya ada di mana, karena jawabannya adalah dirimu.

rindu itu angin yang menghablur air mata, membuyarkan silhuet dirimu perlahan, meniupnya sampai hilang tak berbekas. besaran yang tak pernah bisa kuhitung dengan angka.

rindu itu gerbang sepi tanpa pintu yang tak pernah tersentuh kembali…