Rabu, 30 Maret 2011

Kopi dan Mimpi




Kopi itu sepertinya identik dengan saya. Tak ada hari yang terlewat tanpa secangkir kopi. Bahkan kopi sering saya libatkan dalam tulisan-tulisan saya, karena setiap saya menulis memang selalu ditemani secangkir kopi, bahkan bercangkir-cangkir kopi.

Mulai dari espresso, cappuccino, kopi tubruk, kopi instan...hanya russian coffee yang tak berani saya coba. Di dalamnya dicampur vodka. Minuman itu haram buat saya yang seorang muslim. Saya suka kopi tubruk. selain Indonesia banget, saya suka harumnya. Lagipula itu selalu mengingatkan saya pada almarhumah nenek, orang pertama yang meracuni saya dengan kopi.

Dulu saya sempat diajak nenek membuat bubuk kopi sebelum menyeduhnya. Biji-biji kopi yang nenek pilih saya tumbuk. Dan hasilnya tidak benar. Masih terlalu kasar. Nenek menumbuknya lagi supaya lebih halus. Aahhh...kenangan itu...menyenangkan. Apa nenek minum kopi di alam sana? Semoga beliau selalu tersenyum untuk tiap seduhan kopi yang saya buat.

Kegemaran saya pada kopi menumbuhkan sebuah mimpi. Saya ingin punya kedai kopi sendiri. Berbagai macam kopi dari berbagai tempat di dunia ini ada di kedai kopi saya. Robusta, Arabica, sampai kopi luwak. Lalu pelanggan-pelanggan saya bisa mengolah kopi itu dari mulai biji sampai kopi siap saji. Hey...kalau anda membuka kedai seperti ini, jangan lupa bayar royaltinya pada saya ya!

Buat saya itu memang mimpi. Tapi buat anda yang punya modal mimpi saya itu barangkali bisa diwujudkan. Undang saya ke kedai kopi anda kalau begitu. Agar saya bisa menulis banyak hal diantara aroma kopi yang menantang kreatifitas saya.

Banyak hal yang saya impikan saat mencium aroma kopi. Banyak harapan yang ingin saya wujudkan ketika menghirup nikmatnya kopi. Keinginan untuk hidup seribu tahun lagi. Keinginan untuk bangun pagi dan melihat secangkir kopi telah tersedia di pinggir tempat tidur saya. Mimpi untuk terus menatap wajah kekasih saya di kedai kopi favorit hingga senja memberi tanda, malam akan segera tiba.

Kopi dan mimpi selalu ada di setiap waktu yang saya lalui. Mimpi tentang kopi dan kopi yang memberi mimpi.


Senin, 28 Maret 2011

Sekuntum Kembang

Aku hanyalah sekuntum kembang
hanya perlu kau siram kasih sayang
tatkala nektarku habis dihisap
kelopakku berguguran
dan habis sudah

Tina Turner - When The Heartache Is Over





ini mungkin ungkapan perasaan dari dalam hatiku
dan perasaan itu benar
ketika hari-hari yang aku lalui terasa berat
kekakuanmu, keakuanmu, tetap menyakitkanku
saat sakit itu berlalu
aku tau, aku tak akan pernah kehilanganmu

untuk Ted atau untuk siapapun itu
perihnya terus mengalir...

Sabtu, 26 Maret 2011

Moloko - The time is now








Perempuan sore masih suka lagu ini?
Saya hadiahkan ini untuk anda.
semoga suka :)

Jalan-jalan
















"Di tempat biasa!"
"kayaknya mau hujan lho, Ted!"
"Kalau hujan?"
"Kamu tahu aku benci hujan!"
"Ya...tulisanmu jelas sekali berbicara kalau kamu benci hujan. Bahkan kata-katamu jelas sekali kalau kamu benci hujan hahaha...!"
"Gak lucu!"
Dan pembicaraan pun terhenti.

Baiklah. Aku tahu tempat biasa itu di mana. Aku dan Ted memang biasa ke sana. Nikmati sore, nikmati secangkir...ups bukan secangkir, bahkan bisa beberapa cangkir kopi. Kebiasaan yang sama yang mungkin saja menguntungkanku. Menikmati kopi dan wajah kekasihku.

Kekasih? Apa masih pantas Ted kupanggil kekasih?
Aku dan Lilian. Ted dan Debby. Aahh...aku cinta Ted setengah mati. Masa bodoh sama masalah lain.

Barusan Ted menelpon untuk bertemu di tempat biasa. Mencuri kesempatan untuk bertemu. Hindari Lilian dan Debby.

Hujan mulai turun...ini situasi yang paling tak aku suka. Aku tak pernah suka hujan. Walau Ted memaksa, coba menjelaskan, coba merayuku agar suka hujan, terima kasih! Ted jatuh cinta pada hujan, aku...benci hujan. Perbedaan yang menyatukan kami. Menyatukan?

Sejak kapan aku bisa bersatu dengan Ted? Aku hanya mencuri kesempatan untuk bisa bertemu dan menatap matanya. Aaahhh.... hanya untuk bisa bersatu dengan Ted saja susahnya minta ampun. Ted, apa yang kau pikirkan sekarang?

Waktu terus bergulir. Lilian belum juga pulang kerja. Debby? Entah apa yang sedang dilakukan perempuan itu di Yogya...menjaga anak-anaknya mungkin. Hujan lebat aku terobos. Demi Ted.

Lama tak kulihat Ted. Kemana dia? Ah, lebih baik aku telpon dia saja...atau...ya telpon dia saja.
"Ted, aku sudah di tempat biasa itu, lho! Kamu di?"
"Ya...ampun sayang! Aku kira kamu tak jadi pergi karena hujan! Aku masih di hotel nih, seharian ini aku migren. Kamu bilang kalau kamu benci hujan!"
"Aahh Ted...aku bilang kan benci hujan, bukan membatalkan rencana kita!"
"Kamu marah, ya?"
"Nggak! Hanya kecewa sama janji kamu!"
"Ya sudah...nanti kalau mau janjian lagi, telpon aku ya!"

Aku tutup telponnya, berlari keluar membasahi diri dengan air hujan. Aku berusaha bisa mengenal hujan dan mendekatkan diri padanya. Berjalan-jalan di bawah siraman hujan, siapa tahu kecewa ikut mengalir bersama derasnya hujan yang tetap belum aku sukai.



(ada yang mau kasi komentar??? silakan)

Jumat, 25 Maret 2011

puisi puisi pendek tentang ayah 3












#1
mengikatku seumur hidup
meninggalkan aku karena cinta

#2
selalu merendahkan diri
saat aku butuh pujian
dan meninggikan diri
tatkala aku butuh perlindungan

#3
ayah adalah suatu hikayat
legenda nyata
dongeng yang selalu ingin kudengar
walau bertambah usia

#4
tak pernah ragu hadirkan aku
hasil karya terbaiknya dengan ibu

#5
tak perlu mengenalnya lebih dulu
untuk beri dia cinta yang tulus

#6
darahnya mengalir dalam tubuhku
sebagian sifatnya ada pada diriku
tapi aku, tetap aku

#7
pria pertama yang aku hormati
dan penting untuk pernikahanku

#8
kehadirannya tak pernah aku undang
tapi selalu kubutuhkan

#9
tulisan tangannya tak pernah terbaca
terhapus air mata

#10
ayah bukan butiran hujan
dai tidak jatuh dari langit
karena tak pernah ada di bawah
telapak kakiku

#11
ajari aku bentangkan sayap
hanya dengan senyuman

#12
status sosial tak jadi batas
hubungan yang tak pernah bisa dibilas

#13
Rinduku menikam syahdu
pudarkan airmata
untuk waktu yang telah lalu

#14
mendoakan kejenakaan aku dan hidupku
jadi sesuatu berharga

#15
ayah
aku mencintaimu
bukan sekedar kata

Senin, 21 Maret 2011

Sesaat

semilir angin temani aku
nikmati paras indahmu
bau tubuhmu
keberadaanmu
hanya ingatan
sesaat, itu tak berasa

taman ini jadi
tak indah, kepak sayapmu
menjauh
tebaran bunga warna warni
tak bisa menahanmu

lalu semilir angin terbangkan kelopak
warna warni
halau bayangmu
menggayut tutupi awan
keberadaanmu,
hanya sesaat

Sabtu, 19 Maret 2011

Terima kasih










waktu membawaku kabur
menghilang dari dirimu
atau kau yang lari dariku
ada cinta kau
perlihatkan
di antara sesaknya nafas beradu
AKU CINTA KAMU!!!
teriakanku
teriakkan aku sekali
lagi
sebelum senja tenggelamkan
kamu



(di atas itu sketsa Kavana)

LEAVE 'EM SOMETHING TO DESIRE = SPRINKLER = LUCAS RADIO EDIT = ORIGINAL ...

Kamis, 17 Maret 2011

Pecundang

berat melangkah
kaki ini terseok
enggan menatap
borok masih penuhi tubuhku
entah malu
aku tersedak
berhentilah beri harap

Dan indahnya pagi...











Secangkir kopi hangat selalu tersedia sebelum aku membuka mata. Wow! Wow! Wow! Tak bosan selalu kata itu yang kuucap setiap kulihat hal yang sama berulang. Setiap pagi.


Aahh...Ted, mengapa kebiasaan itu kini berulang pada sosok lain. Bahkan aku tak pernah menginginkannya. Sudah aku bilang ratusan kali kalau aku hanya ingin kamu. Titik. Tanpa koma, tanpa alasan.

Seutas senyum disertai kecupan hangat dari lelaki tampan yang sudah 2 bulan ini melakukan kebiasaan itu. Menyenangkanku. Lelaki yang setiap malam menemaniku tidur, memelukku, bahkan membuatku melayang hingga...entah ke mana. Walau sebenarnya aku tak senang, tetapi lelaki ini telah layak aku panggil suami.

Ya Ted. Aku menikah dengannya bukan untuk membalas dendam padamu. Aku mencintainya? Hummm...apa itu cinta kalau aku selalu mengingatmu. Bahkan disaat kami melakukan hubungan sakral dalam perkawinan, aku mengingatmu.

Aku terperanjat, sudah jam 7 pagi. Pantas saja kalau aku mulai merasa gerah. Matahari sudah mulai meninggi, panasnya membangunkan mimpi. Wow! Secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menggoda hidungku, "Ted!" panggilku.

Lelaki itu mengecupku lembut, ah...morning coffee..."Ted?"
"Bukan, sayang! Aku suamimu, Lilian!"

Sewaktu












puntung rokok berserakan
aku hindari karena hati ini ingin kau
serpihan pilar keyakinan tersebar
gerogoti jiwa seperti kanker yang menyiksa
aku biarkan karena hati ini pilih kau

kau hadir di sela mimpi
buai rembulan dengan bualan
sewaktu detak jarum jam berputar mundur
mata terpejam
karena aku cinta
kau

Puisi Itu Aku













Puisi itu kata-kata
tapi kata-kata bukan puisi
mungkin hanya umpatan dan caci maki
tiada indah sama sekali

Puisi itu isi hati
tapi isi hati bukan puisi
mungkin hanya ungkapan yang terlewat
saat tak ada tempat untuk berbagi

Puisi itu aku
tapi aku bukan puisi
mungkin hanya oknum yang tak tahu diri
tatkala nafsu lepas kendali

Puisi itu aku
walau kenyataannya aku bukan puisi
hanya orang yang selalu memungut
huruf-huruf, lalu ditukar dengan isi perut

Puisi itu aku
yang setia jejalkan kata-kata
kumpulkan umpatan dan cacian
umbar isi hati

Puisi itu aku,
mungkin

Senin, 14 Maret 2011

About you










You are like stars that twinkle in the sky. No need to always see you to know you were there. Although the sky covered with clouds, can your being I feel. Among the millions of stars that seem small and flirtatious twinkle, I can find you.

Silent presence tired of being something fun. Destroy your smile troubled my heart. The smell of your body can always be felt. You hugs are always warm my cold. You, inspired me in everything.

You're like a small candle flame flicker in the wind-liul. Makes me not to try to keep the flame goes out. Your presence lit every step.

No need to be someone who is perfect because you fill out flaws. No need together to be united because the differences make us together. No need for tears accompanied the story that we passed with happiness that always wanted me to present. No need someone else who can I talk to because I just need you to have.

You are my little star. And I will not let you alone, have I ever looked at your beautiful lights.

Just want to love you, no matter what.

Sisa sore











Sore masih menyisakan tetes-tetes air hujan yang sebelumnya turun lebat sekali. Matahari kembali menyeruak di sisa-sisa jam kerjanya hari ini. Setengah cangkir machiatto caramelo masih menggoda selera. Aku meneguknya. Nikmat!

"Nikah sirih, ya?" tanyaku mengulang. Dia hanya mengangguk. "Kenapa kamu egois sekali?"

"Ayolah, ini satu-satunya jalan agar kita tetap bersama. Aku akan bersikap adil!"

Sumpah mati Ted, aku cinta sama kamu. Perasaan ini tak bisa ditutupi. Setelah 11 tahun tak bertemu, perasaan itu masih sama.

"Kamu cinta istrimu? Sayang anak-anakmu?" aku kembali bertanya.

"Sayang anak-anak, ya. Mereka darah dagingku! Ayolah...aku menikahi istriku tanpa cinta, Mey!"

"Ted, perempuan mana sih yang mau dimadu? Nggak ada! Termasuk aku! Kalau kamu bilang dulu menikah tanpa cinta, lalu kenapa bisa hadir Safitri dan Nala?"

"Mey...kamu tahu bukan kalau laki-laki tak perlu cinta untuk melakukan hubungan sex?"

"Berarti kamu tak menghormati istrimu!"

Ted tersenyum mendengar perkataanku. Ya Tuhan... 11 tahun lalu senyum itu pernah memikatku. Cerita yang teramat rumit dan kini senyum itu masih sama. Satu tahun ini kami dipertemukan kembali. Lewat mantan suamiku.

"Aku kan sudah cerita kenapa aku menikahi Debby." bela Ted, "Kalau kamu akan bercerai dengan Bob, dari awal aku pacarin kamu!"

"Hey, Bandung-Yogya bukan jarak yang dekat. Lagipula saat itu hanya kepincut senyummu saja kok, Bob masih lebih keren dari kamu!" aku mencibir.

"Iya, waktu itu. Sekarang?" kembali Ted memamerkan senyumnya, "Mau ya, Mey!" kwmbali Ted memohon.

"Ted sayang, aku cinta sama kamu beneran. Tapi aku juga butuh pengakuan. Nikah sirih bukan jalan keluar yang baik buatku. Jadi kamu harus putuskan, aku atau Debby?" Ted terdiam. Mungkin aku terlalu memaksa.

Benar aku mencintainya, dan tak ingin berpisah lagi dengannya. Tapi untuk nikah sirih? AAAhhh.... Ted, mengertilah. Aku tak mau jadi perempuan simpanan. Aku juga tak mau jadi perusak rumah tangga kalian walau sebenarnya dalam hatiku berteriak agar kau segera bercerai dengan istrimu.

Sisa-sisa hujan sudah tak tercium. Machiatto carameloku juga sudah habis. Cappuccino Ted masih bersisa, seperti peluknya yang makin erat. Peluk Ted masih bersisa untukku walau sebentar lagi dia harus kembali ke Yogya, kembali ke pelukkan Debby, istrinya.

About missing









Missing was something that originally there be nothing without realizing it and accidentally. If his name was not accidentally lost, but given or thrown away or sold.

We just realized 'something' precious to us after losing 'something'. While trying desperately to keep it there is just 'something' was missing from us. Despite the maximum care of, uh ... still loose and could not have anymore.
Well ... maybe not our fortune.

There are times when we never keep or maintain the 'something', then suddenly disappeared ... it's called reckless. It is humane, because usually people do not appreciate something that God gave. Though God gives 'something' is not without purpose. It must be 'something' would mean, if not now maybe later. But it certainly means a lot to us.

Well now trying to say 'something is' missing where, who knows I can help you search and find them.

Sabtu, 12 Maret 2011

Kekasih












Asap rokok penuhi ruang. Sudah kubilang aku tak suka kau merokok. Tapi mengapa kamu begitu bangga dengan kebiasaaan barumu ini. Aaaahhh....menyebalkan. Lalu kaleng-kaleng bir ini untuk apa? Ooww...maap, Bung. Haram! Coba kau mau mengerti kalau aku akan bertahan dengan keyakinanku.

"Hey!" bentakku. Orang yang aku bentak tak mau mendengar, "Coba singkirkan semua ini dari hadapanku! Please!"

"Terganggu?" dengan santainya dia balik bertanya.

"Ya iyalah jelas! Ini kamarku. Aku berhak dan berkuasa di sini. Kalau itu yang akan kau lakukan, coba tolong pergi dari sini dan jangan pernah kembali sebelum kau menjauhi semua itu!"

"Memerintahku, ya? Apa hakmu?"

"Hakku adalah karena kau orang yang istimewa untuk hatiku dan aku peduli padamu!"

"Kalau begitu ayo kita bersenang-senang!"

"Maap, aku tidak merokok dan tidak meminum bir! Silakan pergi!"

Aku tak tahu apa orang yang aku usir ini pergi atau tidak, karena setelah berkata begitu aku tak ingat apa-apa. Semua gelap, sama sekali hitam. Lalu samar-samar aku melihat tubuhku yang terbujur kaku dengan darah berlumuran. Kekasihku? Apa dia yang melakukan itu?

Jangan menyusulku, tapi lakukan sesuatu yang baik, sayang!

Proses kembali



Mungkin memang lebih baik kamu tak kembali. Dan tak ada yang perlu dikembalikan, Ted. Sama halnya seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Mereka tak akan pernah kembali ke hulu, tapi terus mengikuti aliran sungai hingga tiba di laut lepas. Bebas merdeka.

Sama halnya seperti hujan. Mereka turun dari langit, dan ketika menginjak tanah tak kembali lagi ke langit. Ada yang memilih merembes masuk ke dalam tanah. Ada pula yang ikut-ikutan mengalir membanjiri jalanan, lalu masuk ke parit, mengalir lewat selokan untuk kembali bermuara di laut.

Sama halnya seperti bumi yang berputar mengitari matahari, selalu ke depan tidak berputar berbalik arah. Membuat hari-hari yang baru, yang tak sama seperti kemarin. Sama halnya seperti waktu yang tak pernah kembali ke masa lalu.

Ted, kita sudah berjalan dengan arah yang kita pilih. Kita sudah nikmati apa yang kita inginkan masing-masing. Tak lagi saling mempengaruhi. Mungkin memang ada baiknya seperti itu. Kamu ingat, Ted...sebelum kita bertemu, kita adalah dua pribadi yang tak saling kenal. Lalu di antara waktu perkenalan kita yang hanya sesaat, adakah manfaat yang kita dapat? Tidak ada, bukan?!

Aku tahu Ted, kamu hanya mengenalku saja tanpa pernah menganggap aku seseorang yang istimewa, bahkan hanya sekedar teman pun tidak. Padahal kamu tahu kalau aku mengharapkan lebih dari itu. Ternyata untuk urusan ini kamu punya pilihan lain. Ya...aku tak memaksa sebab hidup itu hanya pilihan, bukan?

Ted, ada satu hal yang aku sayangkan. Mengapa kamu pergi tiba-tiba disaat kau tanamkan harapan besar. Aku menolak untuk berpisah denganmu. Segala cara aku lakukan untuk mempertahankamu. Tapi semuanya sia-sia. Apa memang aku sama sekali tak berarti apa-apa untukmu? Lalu kamu bilang semua butuh proses. Termasuk untuk dekat denganku lagi? Aku bekerja keras agar kau tak pergi, Ted.

Dan kini, di saat aku nyaman dengan keadaanku yang jauh darimu, kamu mengusik hari-hariku. Sandiwara macam apa lagi yang akan kamu perankan sekarang? Hatiku baru saja pulih, jangan torehkan lagi luka baru di sana. Aku perempuan yang mudah terluka. Hatiku bagai kaca, mudah pecah. Aku tak mau kembali jadi kepingan-kepingan kecil yang mudah untuk ditiup lalu...menghilang. Aku tak mau merasakan sakit yang sama.

Awalnya kita tak saling mengenal, mungkin akan lebih baik kita tak pernah saling kenal. Seperti yang kamu ucapkan tempo hari, "Butuh proses untuk kembali."

Butuh proses yang lama untuk pulih kembali, dan aku tak mau mengulanginya lagi.

Jumat, 11 Maret 2011

untuk...mu


menggulung langit
meredupkan matahari
menjatuhkan bintang-bintang
menenggelamkan laut
meratakan gunung
menunggu waktu berhenti berdetak
meluluhkan hatimu
menanti...ku

tajam


setajam apa pisau yang sudah kau siapkan
untuk menusukku?
bahkan hanya dengan apa yang kau katakan
sudah sangat membuatku perih

mungkin aku terkulai
tak bernyawa

Rabu, 09 Maret 2011

tempat kita













ini tempat kita bermain
ini tempat kita sembunyi
ini tempat kita bercinta
dan
jangan bilang-bilang

pelangi galau



seperti warna-warna yang tak beraturan
seperti tarikan nafas saat aku terlelap
tak peduli orang lain tahu
karena aku tak pernah tahu
isi hatimu sebenarnya

Senin, 07 Maret 2011

Karena aku cinta dia

angin bisiki luka
hasut dia terus perih
gerogoti kalbu, porak poranda
aku tertegun
gontai berdiri
di antara bongkahan hati
menanti cinta
mungkin
kau beri

Aku kaget mendengar tepukan tangan serta suara di belakangnya, "Puisi kamu bagus!"

"Makasih, Al!"

Hmm...Aldi. Pria ini tampak seperti bayang-bayangku. Tadi di kelas dia duduk tepat di belakangku. Lalu aku berusaha menghindar, mencari bayang-bayang lain, bayang-bayang Tedi yang lebih penting untukku daripada Aldi. EH...sekarang dengan manisnya dia menyimak, tidak hanya mendengar puisi yang aku bacakan.

"Kamu jago bikin puisi ya, Mey?"

"Nggak juga. Kalau lagi melo aja. Hehehe...itu ngawur Aldi. Aku nggak bisa bikin puisi." elakku. Memang kenyataan aku tak bisa hehehe... Senyumku benar-benar terpaksa. Nggak tulus dan jauh dari manis. Senyum kecut yang aku rasa Aldi pun akan mengerti. Tapi dia tak juga beranjak.

"Berhubungan sama Tedi yang 3 bulan ini menghilang? Mencoba berdiri kokoh walau badai menumbangkan tubuh kekarmu? Mencoba tetap tegar sementara hatimu seperti puing-puing beton. Keras tapi bisa hancur berkeping-keping. Kenapa, Mey?"

Aldi? Dia begitu perhatian? Kenapa?

"Kenapa, Mey?" tanya Aldi lagi.

"Karena aku cinta dia, Al!" teriakku

"Cinta? Dia sudah menyakitimu, Mey! Dia pergi meninggalkanmu tanpa sepatah kata pun. Dia cintamu? Dia peduli padamu, Mey!"

"Al, aku yang tak peduli apa kata orang tentang dia. Aku tak peduli bagaimana Tedi bersikap padaku. Aku cinta dia, Al!"

Aldi tak berkata. Dia diam. Mungkinkah dia peduli padaku karena memang ada maksud lain? Oh Tuhan, kalau itu yang terjadi...beri kekuatan padaku untuk menolaknya.

"Kenapa kamu mencintainya, Mey? Dia tak baik untukmu!"

Siapa kamu, Al? Seenaknya kamu menilai hatiku. Seenaknya kamu menjelek-jelekkan Tedi di depanku. AKu tahu Tedi bukan pria paling tampan di muka bumi ini. Dia juga bukan lelaki paling kaya yang aku kenal. Otaknya tidak secerdas Einstein. Tapi haruskah itu masuk ke dalam kriteria orang yang dipilih hatiku?

"Aldi, aku nggak tahu kenapa aku bisa jatuh cinta sama Tedi. Tapi yang pasti aku selalu nyaman berada dekatnya. Aku bisa bercerita apa saja padanya. Memandang senyumnya yang teramat manis. Aku tak usah malu menceritakan hal terburuk sekalipun yang aku alami. Jadi kamu tidak berhak menilai aku, Tedi ataupun hatiku. Paham?"

Aldi masih tetap diam. Dia menatapku dalam, dan tetap tenang.
"Al, cinta itu berani menerima hal buruk sekalipun dari hati yang dipilihnya!" tiba-tiba kalimat itu menluncur mulus dari bibirku. Ya Tuhan...aku berkata seperti itu? Dan itu membuat Aldi tambah kaget.

"Maksudmu kamu siap menerima dia apa adanya?" tanya Aldi hati-hati, "Mey, Tedi pergi kemana kamu tahu. Dengan siapa, kamu pun tahu. Masih menerima dia apa adanya?"

"Sampai saat ini belum ada yang sanggup menyingkirkan dia dari hatiku, Al! Biarkan hati ini terluka, demi dia luka ini akan sembuh. Biarkan hati ini pilih dia, karena selama apapun aku akan menunggunya. Karena aku cinta dia!"

Dan diam kembali Aldi pamerkan. Lalu, "Aku pun akan pergi,Mey. Hatimu tak bisa aku luluhkan. Maap karena aku cinta kamu!"
Aldi beranjak dan melangkah pergi. Sekarang aku yang terdiam. Sentuhan angin membuat rambutku berantakan. Aku tetap bertahan pada apa yang ingin aku pertahankan. Biarkan waktu yang bicara sampai hati ini pulih dan bisa memilih dengan tepat.

angin bisiki luka
hasut dia terus perih
bongkahan hati porak poranda
menanti cinta
di antara detak bisu

Minggu, 06 Maret 2011

About the death of a peek



When asked about a question, what is the closest to humans? The answer is DEATH may indeed be appropriate.

Death can come anytime, anywhere, to anyone. Casually, as he pleases. Death really close friend of man. Ready or not, like it or not humans should be faced with the reality that someday he would die. Problem first or the latter has been adjusted to a contract that God made.

Talking about death is close to humans, I am experiencing the event itself. In good health, happy, and happy death never choose "prey". I do not have to sort a chronology of what happened because it feels very fast and ... it was still reluctant to tell.

Do I feel the trauma? No. Because I will never stop to pet my motorhome. When all of a sudden my engine died and can not be turned on again, when I asked for help actually my friend asked for help closer to death appeared before me. If only I knew that it was a catastrophe for me, I will never ask anyone for help.

Conscience is interfering, that I had to handle everything alone. Tired of what is important is not safe. But then my conscience ignore. I do not want to hear it until my body finally crashed into a bus. It happened so fast, that I remember my body is right under the bus. Motor severely damaged, and my left shoulder hurt quite badly.

If destiny I got there, now I'll never write again. But apparently I still have a way of life continues. God allowed me to fix all the mistakes I've ever done, repent and not repeat them. Remembering all the sins and mistakes I have done, I am grateful.

So now I appeal to all to forgive all my mistakes that feels good and that I never realized.
Sorry.

Kupu-kupu Di Atas Bantal

Cahaya mentari menyeruak tanpa permisi dari balik jendela. Pagi mulai menyapa dunia. Membangunkan seluruh jagat untuk segera beraktifitas, termasuk aku. Seekor kupu-kupu tiba-tiba mengepakkan sayapnya, di telingaku.


Aneh, masuk dari mana kupu-kupu ini. Kecil, berwarna coklat dengan motif batik yang anggun. Sungguh luarbiasa. Sepertinya kupu-kupu ini tidak terganggu oleh bau ilerku, oleh kibasan tanganku. Aku tersenyum.

Katanya kalau ada kupu-kupu masuk berarti akan ada tamu. Hmm.... siapa yang akan bertamu mengunjungiku? Kamu? Hey...sudah lama kita tidak saling mengunjungi, bukan? Aaah...aku kangen sekali sama kamu. Kabarnya kamu pindah, kemana?

Kupu-kupu itu seolah tak mau beranjak, seperti enggan untuk jauh dariku. Dia terdiam di atas bantal. Sayap mungilnya mengepak sebentar saat kusentuh, lalu sayap itu terbentang lagi dan diam. Dia tetap cuek waktu aku merapikan tempat tidur. Mbok ya bantuin beres-beres kek, atau setidaknya ajak aku ngobrol, lah.

Aku ingat kalau kamu sangat suka kupu-kupu. Kamu bilang kalau kupu-kupu iti adalah suatu proses perubahan yang sempurna. Tidak hanya metamorfosis paling sempurna yang dialami serangga tapi lebih pada kamuflase kehidupan yang berubah positif. Bahkan sangat positif. Telurnya yang menempel banyak di bawah daun sungguh menggelikan. Larvanya yang disebut ulat lebih dari menjijikkan, mengganggu, dan merusak. Candamu waktu itu menyadari keberadaannya tidak disukai, kupu-kupu bertapa merenungkan diri di dalam balutan kepompong. Berusaha introspeksi diri agar bisa memberi yang terbaik. Tak lama dia berubah menjadi sosok indah dan mengagumkan. Kamu bilang waktu itu intinya dari kesalahan kita bisa berbuat sesuatu yang indah dan mengagumkan.

Ingatanku itu membawaku pada satuhal, kamu pernah menulis sebuah puisi tentang kupu-kupu. waktu itu aku tak mengerti apa yang kamu tulis. puisimu tertulis seperti ini:
kupu-kupu kecil terbang
menembus langit
lalu menghilang
di tempat aku bersemayam
kepak sayapnya lembut
selembut pesonanya tatkala ia kembali
jangan pernah kau biarkan pergi
itu jiwa lembutku yang datang
menjagamu

Berulang aku membacanya, rasa tak percaya menyelinap dalam hatiku. Apa benar kupu-kupu itu kamu yang selalu ingin menjagaku? Kamu yang...Ya Tuhan...Apa benar kamu telah pergi meninggalkanku, selamanya?

Mataku terasa hangat. Bukan karena mentari yang semakin tinggi dan tetap memaksa masuk melalui celah-celah kecil jendela kamarku. Pandanganpun buram, air mata menetes. Aku menangis.

Mentari memang beranjak semakin tinggi, panasnya membakar kulit bumi yang kian keriput. Aku biarkan kupu-kupu coklat kecil itu tertidur di atas bantal. Walau itu mungkin hanya seekor kupu-kupu dan bukan arwahmu, tapi aku tahu kalau kamu akan selalu ada dalam hatiku.

Kamis, 03 Maret 2011

menunggu lagi



tangan ini masih menunggu

tubuhmu untuk aku

peluk

tolong dengar











kuncir rambut
belum juga rapi.

menyisir belum seluruhnya tersentuh
tanganmu hendak menggapai
apa,
mendengarku pun
tidak biasa
kau lakukan.

Rabu, 02 Maret 2011

About crying


Sunday night, 27 February 2011, the last day I was listening to SKY 90.50 FM Bandung. The atmosphere of emotion came from the broadcast room, and from my heart. Almost all former broadcaster Sky to come. They certainly gave testimony for the Sky. That this is not just a radio station. That this radio is a collection of beautiful women with a beautiful voice. That the radio is not just a place to work. That this radio is home to residents who ever stop, there. They gave testimony almost "without" crying, until finally there was one broadcaster Sky was not "ashamed" to express feelings of emotion with tears.

Something made me salute the same broadcaster on this one with tears. (Should I call her name? Well, you get to know her as perempuansore). Feelings of emotion need not be hidden. Tears do not have the bear-resistant. This announcer once said that if she had time to cry in public transportation. But she was ignored, no matter how other people see it.

Crying is not a disgrace. Crying is a natural process. When we are faced by various problems that make us dizzy head is natural for us need someone to share. Besides could feel more relieved, just maybe it could help us deliver solutions. But often we have difficulty expressing and instead of appearing there are tears or crying.

I was ever good at tagging writing about crying by Efi Fitriyyah. There are several theories of scientific research results about to cry.
According to Dr. William Frey of Minnesota, crying can make someone feel better because the tears that came out to remove the tension of nerve function in the body, which one causes is stress, because the burden problem. Tears itself is actually divided into two, namely:

1. Water eye irritation.
Tears were coming out because there were foreign objects into the eye.
2. Emotional tears
Tears were coming out because of the encouragement emotion or feeling.

If stress is analogous such as toxic, if not removed from the body will lower your immune system and other biological processes. Expenditure process toxins from the body usually is when we sweat and tears. In addition to relief, crying was healthy.

Compassion is not toxic. Compassion is an emotional expression of our souls can not be separated with a state, place, or person. Compassion is something that is honest, then why should we be ashamed to reveal the honesty?

Crying is not a sign of weakness, but too many tears will weaken the soul.