“Kena kau!”
Ayam betina yang berkotek keras, tambah keras setelah kerikil kecil yang dilempar Yan mengenainya.
Seperti tak ada kerjaan melempar ayam dengan kerikil pagi-pagi. Tapi Yan masa bodoh dengan semua itu. Ia pikir ayam betina itu yang sudah mengganggu tidurnya. Mengganggu mimpinya yang indah, mendapatkan uang yang banyak dari hasil penjualan ganja semalam.
Pengedar. Sudah 3 tahun Yan menjalani profesi haram itu. statusnya sebagai mahasiswa menjadi riskan. Berburu pelanggan, berburu penghasilan, berburu waktu, dan nyawa taruhannya.
Yan tidak mau menoleh ke belakang mengapa ia bisa terjebak di dunia ini. Kebutuhannya untuk mengonsumsi ganja menjadi awal baginya menjadi penyuplai. Apalagi iming-iming bonus yang dulu ia dapat dari penyuplainya menjadi titik awal. Menjadi pengedar, ekonominya menjadi lancar.
Kenyataannya memang demikian. Tiga tahun adalah waktu yang lama untuk bertahan. Sudah banyak yang ia dapatkan. Honda Tiger pemberian orang tuanya sudah berubah menjadi BMW seri 5. Sebuah kendaraan yang tidak bisa dibeli dengan uang yang sedikit.
Sesaat sebelum kembali terlelap. Ringtone henfonnya bernyanyi. Dengan malas ia angkat telpon itu, berharap seorang pelanggan sakau yang tergesa membutuhkan barang hingga berani mengganggu waktu istirahatnya.
“Yan, bangun! Siapkan uang hasil transaksi Rabu kemarin!”
Belum sempat Yan berbasa-basi, kekesalannya malah mulai tumbuh. Bukan pelanggan yang menghubunginya. Ia sangat tahu siapa orang yang berbicara di ujung telpon sana.
“Kapan Bang?” suara serak Yan kembali terdengar.
“Jam 8 malam ini di tempat biasa! Jangan telat, Yan! Bos besar pun datang malam ini!”
Mendengar semua itu wajah Yan malah jadi pucat pasi. Nafasnya terasa sesak. Dengan suara bergetar Yan menjawab pelan, “Ya…”
Setelah menutup telpon, rasa kantuk Yan segera menghilang. Kepalanya berat memikirkan cara mendapatkan uang 50 juta dalam waktu 13 jam. Kalau saja persediaan barangnya agak banyak, tidak susah baginya mendapatkan 50 juta dalam 5 jam. Tetapi dengan keadaan seperti ini, satu juta pun sulit ia dapatkan.
Yan tidak pernah ambil pusing menghabiskan uang yang ada dalam kantongnya. Masa depan adalah urusan masa depan, yang harus ia lakukan hari ini hanyalah menjalaninya saja. Tidak perlu dipikirkan, tidak perlu ditakutkan. Dan hasilnya…matilah ia sekarang!
Memang dengan tidak ambil urusan masa depan menjadi kiat ia tidak tertangkap polisi walau pun berada di urutan teratas DPO. Yan berpikir dengan jadi urutan teratas DPO ia benar-benar ada di atas, dan tak ada seorang pun yang bisa menyentuhnya. Ia tidak pernah berpikir orang bisa berlari tapi tak bisa sembunyi. Selama ini ia tidak lari dari polisi. Tidak juga sembunyi. Santai sekali menjalani hidup. Soal tertangkap dan dipenjara itu sudah resiko yang sudah ia pikirkan. Segala sesuatu selalu ada imbalannya.
Menghubungi Deris. Untuk apa? semalam Deris memutuskan hubungan dengannya. Alasannya pun sudah cukup jelas: tidak mau melihat dirinya tenggelam makin dalam di dunia hitam.
Ya semalam Deris mengajukan syarat: terus dengannya dan keluar dari dunia hitam yang selama ini Yan geluti atau terus dengan dunia hitam dan Deris yang keluar dari kehidupan Yan. Pilihan yang sulit bagi Yan. Deris wanita yang tegas. Itu yang Yan suka darinya. Semua yang dikatakannya tidak main-main.
Saat ini Yan tak bisa meminta bantuan Deris. Wanita itu akan tahu kalau dia meminjam uang dengan alasan apapun. Deris sudah tahu benar siapa Yan sesungguhnya.
Ayam betina milik tetangga sebelah kembali berkotek. Suaranya yang nyaring bahkan bertambah nyaring membuat kepala Yan pusing. Kemudian ia bangkit, membuka laci meja yang ada di sampingnya. Benda mengkilap yang ada di dalam laci itu diambilnya.
Sesaat ia menimang benda itu. Empat bulan setelah menjadi pengedar ia membelinya. Sebuah revolver caliber 9 mm ia beli dari seorang teman polisinya. Dan lagi-lagi Yan tak ambil pusing bagaimana temannya bisa menjual senjata api itu kepadanya. Harga bukanlah masalah yang penting ia punya sesuatu untuk melindungi diri. Dan kini benda itu ia arahkan pada ayam betina yang tak mau diam padahal mungkin saja ayam itu sedang mencari perhatian Yan karena dia tahu sekarang Yan jomblo. Ayam yang genit kalau begitu.
Dorr!
Ayam betina itu terkapar berlumuran darah. Tentu sudah bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Suara letusan senjata api yang nyaring mengagetkan orang-orang di sekitar Yan. Tak perlu memakan waktu lama, mereka sudah berkerumun di depan rumah Yan.
Saskia panik. Dia khawatir adiknya melakukan aksi bunuh diri dengan menembak dirinya di kamar. Tapi kekhawatirannya diurungkan begitu melihat Yan yang kumal dan masih dalam keadaan mengantuk menyeringai ke arahnya. Saskia mendelik.
“Lihat perbuatanmu!” solotnya pada Yan.
“Ngapain mereka berkerumun di sana?”
“Lo mabok, Yan? Sadar dong, lo yang bikin mereka berkerumun seperti itu!” bentak Saskia.
“Oh?” Yan tampak tak mau pusing, “Ini?” tanyanya sambil memperlihatkan revolvernya pada Saskia.
“Gila, lo?” Saskia terbelalak tak percaya melihat Yan memgang senjata api, “Lo dapat darimana?”
“Agus!”
“Ilegal?”
Dengan santai Yan mengangguk, “Kenapa harus ada ijin segala? Bawa kendaraan harus ada ijin, harus ada ijin, bahkan masuk kampung orang harus ada ijin pula. Terlalu ribet dan menyusahkan!”
“Yan, darimana dan untuk apa pistol itu?”
Yan menatap kakaknya tajam, “Nggak penting.” Jawabnya santai.
“Nggak penting bagaimana?”
Belum sempat Yan menjawab, Bu Darti tetangga yang ayamnya mati ditembak Yan menyeruak masuk dengan wajah marah.
“Heh, anak badung, lo apain ayam gua?”
“Gua tembak mati Bu. Abis berisik banget. Ganggu orang tidur aja!”
“Heh seenaknya sekali kelakuan lo itu. Bapak lo nggak bisa mendidik lo dengan bener. Jadinya lo seenaknya begini!”
“Ibu jangan bawa-bawa bapak! Ini urusan gua. Untung cuma ayam yang gua tembak, bukan Ibu! Harusnya ibu yang malu. Ibu yang nggak tahu diri, punya ayam dibiarin ganggu tidur orang. Ibu yang harusnya mendidik ayam itu supaya menghormati hak manusia!”
“Eh, eh, eh…kurang ajar lo ya berani nasehatin orang tua! Pake bilang nggak bisa mendidik ayam segala. Heh! Denger ye..ayam itu binatang masa iya bisa gua didik. Lo tu yang nggak punya pikiran!”
“Diam!” bentak Yan, Bu Darti melotot.
“Atau gua tembak sama ibu-ibunya!”
Semua orang yang ada di situ menjadi tegang. Saskia berusaha menenangkan.
“Yan, sadar!”
“Bubar!” bentak Yan mengusir kerumunan orang di depan rumahnya, “Bubar atau kalian gua tembak!” orang-orang yang ada di situ serentak membubarkan diri termasuk Bu Darti.
Melihat itu Yan kembali menyeringai.
“Lihat Kak! Mereka lari hanya dengan satu gertakan. Padahal aku kan nggak sungguh-sungguh untuk kembali menembakkan benda ini! Pertanyaan kakak terjawab satu. Untuk apa pistol itu? Untuk membuat dirimu berkuasa, Kak!”
Saskia terdiam. Dia menatap adiknya tajam.
“Apa?” tanya Yan santai ditatap kakaknya seperti itu.
“Dapat darimana pistol itu?” kembali pertanyaan yang sama.
“Apa kakak tuli? Aku dapat dari Agus. Agus Kuncoro! Kenal dia, kan? kapten Agus Kuncoro!”
“Kakak tidak tuli, Yan. Yang kakak maksud adalah, dari mana kamu dapat uang untuk membeli pistol itu? Lagi pula buat apa kamu membelinya?”
“Kakakku yang cantik, tidak penting bagaimana aku mendapatkan benda ini. Yang penting benda ini sudah menunjukkan fungsinya untukku. Kakak lihat? Aku menggunakannya untuk menembak ayam Bu Darti sekaligus menakuti majikannya serta kerumunan orang-orang!” Yan kembali menyeringai.
“Kamu tahu apa hukumannya untuk orang yang memiliki senjata illegal?”
“Tahu! Tapi aku tak peduli.”
“Yan?”
Yan menoleh, “Kakak mau bicara sebentar!”
“Apa?”
“Waktu kamu mengganti motormu dengan BMW mewah itu kakak bertanya, bapak dan ibu pun bertanya kamu dapat darimana. Tapi kamu tak pernah mau menjawab. Kami tak mempermasalahkan walau kami masih penasaran, sedangkan kamu hanya seorang mahasiswa. Kamu bilang pinjam dari Deris, tapi Deris bilang dia tidak pernah punya uang sebanyak itu untuk meminjamimu atau membelikanmu BMW!”
“Yan, mengapa kamu berbohong? Apa yang kamu lakukan?”
Yan tak menjawab, dia pergi meninggalkan kakaknya. Mengunci pintu kamarnya, dan kembali pusing dengan uang 50 juta yang harus ada hari itu juga. Bahkan jarum sekon yang terus berjalan semakin mengurangi deadline Yan menyiapkan uang yang sudah dipakainya. Tabungannya di bank tidak akan mencukupi. Kemarin ia menarik uang dari ATMnya dan ketika mencek saldo tabungannya, hanya tersisa satu juta rupiah saja. Kurangnya sangat banyak. Tapi Yan tak menyesal.
Aha! Akal bulusnya bekerja saat dia melihat tangan kanannya. Ya, revolver itu bisa digunakan untuk mencari uang 50 juta. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan uang itu atau…ah, mati hanya pilihan. Lagi pula dia tidak takut mati makanya berani ambil resiko dengan menjalani apa yang ia lakukan selama 3 tahun ini.
Pintu kamar Yan diketuk.
“Yan…ada yang mencarimu!”
Mendengar suara Saskia itu jantung Yan berpacu cepat. Ada yang mencarimu…siapa? Polisi atau Abang Sunu, bosnya? Atau…ah, mengapa pula harus takut. Yan menyelipkan revolvernya di balik piyamanya. Lalu pintu kamar ia buka perlahan.
“Siapa?”
Saat pintu terbuka…betapa gembira Yan melihatnya. Deris. Gadis itu mendatanginya seolah tahu kalau dia seang bermasalah dan membutuhkan kehadirannya.
“Kok tampak sangat senang begitu Yan?” Saskia menggoda
Yan tampak tersipu, “Ah, kakak ada-ada saja! Masuk Ris!”
“Pintunya jangan di tutup ya, Yan!” goda Saskia lagi. Deris tersenyum.
“Nggak kok, Kak! Aku tak akan lama!”
“Masuk!” ajak Yan
Deris mengikuti Yan memasuki kamar pemuda itu yang masih berantakan.
“Ada apa?”
“Aku kembali mengajukan tawaran terakhir, Yan. Aku atau duniamu?”
Yan terdiam.
“Ris…kalau aku keluar, aku akan dikejar-kejar. Mereka tak akan mempercayaiku. Lagipula aku bisa memenuhi kebutuhanku tanpa harus mengeluarkan uang, bahkan aku bisa mendapatkan dua hal sekaligus. Cobalah mengerti!”
“Kamu yang nggak mengerti aku!”
“Ris…sekali ini saja! Aku janji akan memenuhi keinginanmu. Tapi saat ini aku butuh 50 juta. Kamu punya?”
“Apa? Gila kamu?”
“Ya, aku gila. Aku habiskan uang bos, sampai lupa menyetorkannya. Bahkan nilainya sampai 50 juta!”
“Kenapa tak kau jual saja BMWmu itu!”
Yan tersenyum mendengar ide Deris. Mengapa ia bodoh sekali. Mengapa tak dari tadi terpikir untuk menjual mobilnya.
“Aku pilih kamu Ris, dan ini yang terakhir!” Deris tersenyum senang mendengar apa yang Yan ucapkan.
Ada sesuatu yang menarik hatinya dan tetap memilih Yan. Berusaha menolongnya keluar dari dunia maksiat yang hanya menyesatkan. Dunia yang telah menjauhkan Yan dari Tuhan, bahkan keluarganya. Dunia yang hanya memberikan kesenangan semu, karena hidup Yan jadi tak pernah tenang. Selalu merasa dikejar-kejar, tak pernah merasakan kebebasan walau hidup di alam terbuka.
Tanpa narkoba sebenarnya Yan adalah sosok yang menyenangkan. Pria romantis yang selama ini Deris cari. Yan selalu berusaha melindunginya walau tak pernah ia tunjukkan secara terbuka.
“Cintamu mampu mengubahku, Ris!” Yan terkekeh, “Aku akan keluar, asal kamu mau bantu aku!”
“Tentu saja!”
“Tapi kamu akan tanggung resiko berpacaran dengan orang yang jadi urutan teratas DPO?”
“Tak masalah! Asal kamu mau tobat!”
“Hahaha…cintamu…”
Belum selesai Yan berkata, raungan sirine mobil polisi di depan rumahnya membuat wajah Yan pucat. Dia tidak mau dipenjara. Yan mencabut revolvernya dan menuju pintu samping untuk melarikan diri.
Rupanya setelah kejadian penembakan itu Bu Darti melaporkan Yan pada polisi atas kepemilikan senjata api. Bu Darti berpikir pastinya Yan mendapatkan senjata itu secara illegal. Lagi pula Yan telah membuat ayamnya mati. Selain itu kelakuan Yan membuat warga khawatir. Dan tentu saja informasi dari Bu Darti itu sangat bermanfaat untuk polisi. Mereka langsung mengejar Yan. Karena DPO akan langsung dikenali.
Polisi yang kesulitan mengejar Yan mencoba menghentikannya dengan tembakan peringatan. Tapi Yan terus berlari. Aksi tembak menembak pun terjadi. Hanya 6 letusan yang terdengar dari senjata yang Yan genggam itu pun dengan arah yang tak karuan karena baru kali ini Yan harus menembakkan senjata sambil berlari. Dan dia lupa membawa pelurunya. Sedangkan polisi-polisi itu sudah terlatih, mereka mengejar Yan dengan jumlah yang banyak. Satu tembakan agak keras merobohkan Yan.
Yan merasakan punggungnya panas, lututnya lemas dan menekuk dengan sendirinya. Rasa panas itu menjalar dan menghalangi udara yang masuk ke paru-parunya. Yan kesulitan bernapas. Sebelum dia sadar apa yang terjadi, wajahnya sudah menempel di aspal. Yan berusaha bangkit karena dia tak mau dipenjara. Dia harus terus berlari karena polisi mengejarnya. Dia tak boleh terus berbaring, Deris menunggunya untuk keluar dari dunia hitam. Deris akan menolongnya.
Yan tersenyum mengingat Deris. Ia berusaha bersuara dan membuka mulutnya, tetapi yang keluar ternyata cairan merah kental berbau amis. Yan tertegun melihat darahnya sendiri. Dia tertembak. Yan menyeringai, dia tak akan pernah dipenjara, dia menatap langit yang ikut memerah, dia bebas, sebebas langit yang tampak menyilaukan, semakin panas dan semakin tak terasa apa-apa.
Yan tewas dengan satu tembakan tepat bersarang di jantungnya. Dia benar-benar keluar dari dunia hitam yang selama ini membuatnya tak bebas bergerak. Sekarang Yan sudah bebas, menikmati hasil perbuatannya. Yan tak pernah takut mati. Yang ia takutkan adalah tertangkap polisi, hidup di penjara, terkekang, dan dikucilkan. Yan menang. polisi tak pernah bisa menangkapnya, tak pernah bisa memenjarakannya. Yan menang karena dia telah memilih Deris, dan Deris mau menunggunya. Sekarang Yan yang menunggu Deris untuk menemuinya suatu saat nanti.
Cipaganti, April 1, 2010 [22.56]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar