“Senja punya mata, jadi dia bisa menatapku lama-lama!”
Dayat mengangkat alis kirinya, menatap Jingga lama lalu tersenyum dan berkata, “Gila!”
“Barusan senja menatapku lama dan mengataiku gila! Senja juga ramah, dari tadi dia tersenyum padaku. Aku suka itu! Aku ingin menikmati senyum senja kapan saja aku mau.”
Kembali Dayat menatap Jingga kali ini tanpa senyum, tanpa raut heran, benar-benar dingin. Di benaknya terkumpul berjuta tanya. Dalam pikirannya bertumpuk rasa penasaran, apa yang dimakan Jingga tadi siang. Dia hanya mengajaknya makan di Pujasera dengan menu biasa yang selalu mereka pesan.
Dayat melingkarkan tangannya ke bahu Jingga lembut.
“Senja ternyata hangat juga. Dia bisa meluk!”
Dayat terbahak mendengar perkataan Jingga dan melepaskan tangannya dari bahu Jingga.
“Day?”
“Apa, Jing?”
“Kok nggak enak banget ya kedengarannya. Kamu kasar sama perempuan!” Jingga gantian menatap Dayat yang lagi-lagi mengangkat alis kirinya, “Apa sih jang-jing, jang-jing? Nggak sopan banget!” sungut Jingga.
Dayat terkikik, “Abisnya kamu juga manggil aku Day. Kesannya kamu menyuruhku mati!”
“Lho? Itu kan namamu, Hidayat Maulana!”
“Dan itu juga namamu, Lembayung Jingga!”
Keduanya tersenyum.
“Kenapa menyebutku senja?”
“Abis gigi kamu kuning kayak matahari senja itu!” jawab Jingga.
“Kurang ajar!” Dayat menoyor pelan lengan Jingga yang terbahak senang.
Menikmati senja setelah hujan turun rintik-rintik memang menyenangkan. Cuaca jadi tak terlalu panas. Enak buat jalan-jalan. Nongkrong di café tak akan semenyenangkan menghirup udara jalanan yang bebas. Masa bodoh sama asap knalpot yang mencemari paru-paru, toh selama ini paru-paru manusia modern gak ada yang benar-benar bersih walaupun dia bukan perokok. Asap knalpot dan buangan asap rokok yang dihisap orang lain mau tidak mau ikut terhirup. Ada banyak pohon-pohon besar di pinggir jalan yang membantu meminimalisir udara kotor yang beterbangan dengan leluasa. Jadi sore ini indah, polusi bukan masalah.
Menikmati udara sejuk Braga yang tak terlalu macet bukan hal baru buat Jingga dan Dayat. Matahari bersinar cerah, tidak menyengat. Mungkin sudah terlalu lelah mengeluarkan energi teriknya sejak siang tadi. Jadinya sore ini terasa adem. Baguslah.
Mungkin itu bentuk kompromi antara matahari dan hujan yang bertemu saat senja. Jadinya matahari tampak bulat dengan warna orensnya yang selalu bikin semangat. Apalagi kalau pelangi hadir di antara mereka tentu akan jadi keindahan alam yang Tuhan ciptakan yang bisa dinikmati tanpa perlu mengeluarkan rupiah.
“Kenapa menolak ajakan Jo?” tanya Dayat tiba-tiba yang bikin Jingga terperangah. Perempuan itu menggeleng.
“Artinya?” Dayat belum mengerti dengan respon yang Jingga berikan.
Ada banyak makna di balik gelengan Jingga. Tanpa kata-kata semuanya terasa samar. Kembali Dayat menatap Jingga. Lama.
“Masih cinta kan sama Jo?” Jingga hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Bahkan ia mengulangnya.
“Masih cinta kan sama Jo?” gantian Jingga yang menatap Dayat, “Kalau iya kenapa dan kalau sudah tidak pun kenapa? Terus kenapa kamu ajak aku ke sini?”
“Ih, ditanya malah balik nanya. Jingga yang aneh! Aku mengajakmu ke sini karena kamu menolak ajakan Jo. Kenapa menolaknya?”
Jingga kembali terdiam.
“Kita sahabatan dari kapan sih, Day?”
Dayat melenguh…temannya ini tampak aneh sekali. Pertanyaan yang ia ajukan bukannya dijawab tapi selalu dikembalikan dengan pertanyaan baru.
“Kamu kesal, ya?” Dayat menggeleng. “Lalu kenapa tidak menjawab pertanyaanku? Ayo ngaku, kesal ya….”
“Aku juga nggak ingat sejak kapan kita bersahabat, karena saat aku ingat aku bikin kamu nangis waktu tangan boneka beruangmu aku putuskan! Kenapa?”
“Kalau aku nanya sesuatu kamu bakalan marah, nggak?”
“Jingga…apa selama ini aku pernah marah sama kamu? Ayo jawab aku, apa permintaanmu yang belum aku turuti?”
Jingga malah terdiam, ia menghirup napas agak panjang, “Kamu mencintaiku?”
Gantian, Dayat yang diam.
“Sebetulnya sudah lama aku ingin jujur sama kamu!”
“Tak punya keberanian untuk itu?”
“Bukan! Aku tak mau memaksakan kehendakku. Aku pikir mungkin karena kedekatan kita selama ini. Mungkin karena kita sudah sering melewatkan waktu bersama. Mungkin karena aku sudah tau siapa kamu. Mungkin karena…”
“Karena?”
“Aku terlalu sayang sama kamu, jadinya takut untuk melukai hatimu. Karena kita bersahabat sudah sangat lama.”
“Apa salah mencintai sahabat?”
Dayat menggeleng. Dia menyibakkan rambutnya yang disentuh angin. Seolah ingin diperhatikan, semilirnya bolak-balik menyusup di antara ketiak Jingga dan Dayat. Sekali-sekali mengacak rambut panjang Jingga yang terurai.
Cinta datang sesuka hati. Mempermainkan emosi, dan kita tak pernah tau siapa orang yang dipilihnya. Jatuh cinta ya jatuh cinta aja. Kenapa harus membatasi perasaan yang kita miliki? Jatuh cinta sama siapa aja, karena hati yang memilih bukan diatur oleh pikiran dan otak kita. Jatuh cinta itu hal yang luar biasa. Biarkan hati kita bebas menyampaikan kasih sayang sama hati yang dipilihnya. Pada akhirnya nanti dia akan menemukan apa yang dicarinya. Menemukan pasangan yang tepat. Sekarang ini nikmati saja dan gak usah nanya alasannya.
“Ada Jo dalam hatiku, Day!”
“Ssstt…kalau aku sayang kamu biarkan saja. Toh aku pun melakukan hal yang sama. Membiarkan hatiku menyayangimu dan tak memaksamu untuk balas menyayangiku. Hatimu juga berhak memilih. Kalau pun ada Jo atau Nicolas Saputra sekalipun tak masalah buatku. Love will never fail!”
Cinta itu tak pernah salah. Dan tak ada salahnya pula mencintai seseorang. Tak penting pada siapa cinta harus ditujukan, yang penting tulus dan murni. Cinta akan membiarkan orang lain bahagia dengan pilihannya serta tak memaksakan orang lain harus balas mencintai. Tuhan menciptakan makhlukNya berpasangan, kalau saat ini hati yang kita miliki berkelana mencari pasangan yang tepat biarkan saja. Semua hanya masalah waktu. Everything is beautiful in its time.
“Seberapa besar cintamu sama aku, Day?”
“Jangan tanya berapa besar kadar cintaku sama kamu. Tak perlu juga menimbang berat dan besar cintaku sama kamu. Aku hanya bisa berucap sekarang ini semua cinta yang ada cuma buat kamu, lain waktu bisa saja berubah. Aku cuma mau belajar untuk menjaganya serta memelihara supaya cintaku tak berkurang atau menyusut walau waktu menghabiskan jatah umurku. Karena tujuanku adalah kamu.”
“Serius sekali, Mas! Kayak mau mati besok aja.” Jingga terkekeh.
“Hehehe…aku jadi malu!”
“Kenapa malu? Gak pake celana ya?” Jingga terbahak.
Mereka kembali terdiam.
“Aku tak merusak persahabatan kita, kan?”
“Nggak! Sama sekali nggak! Santailah, kamu kan tadi bilang tak akan memaksa.”
“Dan kamu tahu…waktu kamu memutuskan untuk jadian sama Jo itu bikin aku cemburu. Waktu itu aku nggak rido kamu jadian sama dia. Hatiku tak menerimanya.”
“Tapi hatiku menerimanya.” Jingga kembali tersenyum, “Kenapa? Dia tak layak untukku?”
“Bukan itu, tapi karena aku juga punya rasa yang sama. Kamu mencintai Jo?”
Jingga menghembuskan nafas keras. Dia tak segera menjawab. Ada keraguan dalam tatapannya. Dia juga tak tahu apa selama ini dia benar-benar mencintai Jo atau karena hanya Jo yang berani mengajaknya jadian. Tapi selama ini dia nyaman berada dekat Jo. Dia senang mendengar cerita Jo. Dia senang menatap Jo lama-lama, apalagi kalau pria itu tersenyum. Lesung pipitnya menari-nari di depan mata Jingga.
“Mau sampai kapan kamu mencintaiku?” lagi-lagi pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan.
“Jawab dulu pertanyaanku ah!”
“Ya! Kamu akan menunggu?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau aku tak pernah mencintaimu?”
“Kasian deh gua kalau begitu!” Dayat tertawa. Getir, “Aku tak bisa melihat isi hatimu, tapi cinta bisa melihat segalanya.”
“Kalau begitu bawa aku melihat isi hatimu! Atau bisakah kamu melihat isi hatiku?”
“Love will never fail, Jingga! Dan kamu tahu, jadi kebanggaan buatku saat aku bisa mencintai seseorang dengan tulus dan tanpa syarat.”
“Dan jadi kebangganku kalau orang seperti itu mencintaiku! Day, kamu tahu kenapa aku menolak ajakan Jo dan lebih memilih ikut kamu ke sini?”
“Because love never fail, Jingga!”
“Keukeuh ih!” keduanya tertawa.
“Karena kamu mencintaiku juga, kan?”
“Karena aku ingin memilikimu. Dan seperti yang kamu selalu ulang-ulang that love will never fail. Aku juga menunggu suatu saat kamu yang mengajakku jadian, bukan pria lain!”
“Jo?”
“Jangan tanya juga!” kembali Jingga tersenyum, “Nikmati saja apa yang kita rasakan, karena mungkin hal itu berlalu tiba-tiba. Jo itu urusanku. Dia akan mengerti dengan pilihanku. Kalau dia tak mengerti mungkin akan gebukin kamu hihihi…!”
“Apa hubungan kita nggak akan jadi aneh?” Jingga mengerutkan kening sambil menunggu jawaban Dayat.
“Nggak, karena aku yakin sama kamu!”
“Apa yang bikin kamu yakin sama aku?”
“Tak ada alasan khusus sih. Hanya klik saja!”
“Hatimu tak akan berubah kan, Day?”
“Insya Allah nggak, Jing!”
Jingga mendelik,”Gak sopan!”
“Itu kan namamu, Lembayung Jingga!”
“Sekarang aku bisa menikmati senyum senjaku kapan saja aku mau tanpa harus menunggu sore, tanpa terganggu hujan, dan tanpa tersamarkan malam!”
Keduanya tersenyum. Ada lega yang hadir di antara tarikan nafas yang mereka hirup.
Perlahan mereka melangkah meninggalkan Braga yang eksotis sambil berpegangan tangan. Angin yang bertiup semilir di bawah pepohonan cemburu. Dia berlari memburu dua anak manusia yang baru saja meluapkan perasaan satu sama lain.
Entah senja ini terlalu indah, entah semua sedang berpihak pada mereka. Satu hal yang mereka dapat adalah: untuk menikmati hidup, menikmati keindahan alam tak perlulah menghamburkan rupiah menuju Menara Eiffel, tak perlu pula pergi ke puncak gunung tertinggi, atau bersusah payah menuju pesisir Sanur atau pantai lain. Dengan dukungan waktu dan situasi hati yang saling mengerti di manapun akan terasa indah.
Dan senja kali ini benar-benar milik Jingga.
6 May 2010 [11.28]
Thanks buat Theoresia Rumthe untuk ngajak jalanjalan ke Braga.
Big thanks for my dearest Jo untuk membolehkan memakai namamu dan untuk pernah jadi senjaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar