Kamis, 03 Februari 2011
Di Antara Kepak Camar
Debur ombak kembali bangunkan lamunanku. Kupandangi paras lelaki tampan yang tertunduk sedih di sampingku. Tiba-tiba aku tersenyum melihatnya.
"Kok bisa ya..." gumamku
"Heh? Emhh.. Apa?" lelaki di sampingku kaget dan memandangku lama, "Kamu bilang apa barusan?"
"Kok bisa!" aku mengulang.
"Bisa apa?"
"Apa aja boleh..." candaku, dia tersenyum.
Ini yang aku suka dari lelaki tampan yang duduk di sampingku. Aku tahu dia penasaran, tapi tak pernah memaksa aku untuk memberitahunya.
"Masih sangat mencintainya?" tanyaku yang diiringi anggukannya, "Apa sih yang bikin kamu begitu mencintainya?"
Sesaat dia tidak menjawab. Ditatapnya camar yang liar menyambar ikan demi memuaskan perutnya. Angin semilir menyejukkan kami, lalu dia menatapku kembali, "Standar seorang lelaki mencintai perempuan adalah karena parasnya. Cantik! Standarku mencintainya karena aku mencintainya. Tak ada alasan khusus, tak ada sesuatu yang istimewa!"
Wow! jawabannya keren sekali, "Iya, tapi apa yang bikin lo begitu cinta sama Lavie sampai begitu putus asa begini."
"Dia lain!"
"Lain karena dia bisa selingkuh dengan beberapa pria sekaligus?"
"kok sinis gitu, sih?" mendelik.
Aku terkekeh melihatnya mendelik. Aku pikir Lavie bodoh telah menyia-nyiakan Ega, lelaki tampan yang sekarang duduk di sampingku, menemaniku nikmati debur ombak yang begitu...romantis. Lelaki tampan yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda dariku.
"Suamimu tahu kalau kau bersamaku sekarang?"
Aku lemparkan ponselku padanya, "Telpon dia biar lo yakin!"
Tak lama Ega mengembalikan ponselku seraya tersenyum. Gila, anak muda ini punya senyum begitu manis. Lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menyeruak, menghentak hatiku. Lupakan! Debur ombak dan desir angin lebih indah dengan sesekali ditimpali siul camar yang ramai.
"Suamimu sedang selingkuh," candanya, "...dengan Lavie!"
"Sedang apa dia?" tanyaku penasaran.
"Menurutmu apa yang dilakukan seorang laki-laki pekerja pada jam seperti ini? Menggoda cewek-cewek yang lewat!" Ega, apa yang aku lakukan saat ini bersamamu, "Kalau suamimu selingkuh bagaimana?"
"Aku bisa bercinta sepuasnya denganmu!" candaku, dia kembali tersenyum.
Sayangnya pertanyaan itu mulai menggangguku. Ya, bagaimana kalau suamiku selingkuh. Entah apa yang akan terjadi padaku. Entah apa yang akan aku lakukan. Sama seperti Ega yang begitu mencintai Lavie, aku pun sangat mencintai suamiku walau 5 tahun perkawinan kami belum juga dikaruniai anak. Dia berhasil melengkapi kekuranganku, berhasil memeriahkan sepiku, menerangi gelapku, selimuti dinginku. Meski tak ada kesempurnaan, dia tak pernah membuatku menyesal.
"Menyesal tidak kalau kesempurnaan ini tak dilewati dengan orang yang kamu cintai?" tanya Ega pelan sambil mengecup keningku, aku menggeleng.
Kepak camar yang begitu dekat mengagetkan kami. Pantai ini sepi, sangat sempurna untuk menguntai sesuatu yang romantis. Seperti yang telah kami lakukan. Ega terkulai lemas meski dia tersenyum puas.
Dia membantu merapikan rambut dan pakaianku. satu ciuman terakhir mendarat lembut di bibirku, "Terima kasih." bisiknya
Kepak camar seolah mengamuk, siutannya berlomba dengan debur ombak. Aku terdiam di antara menyesal, bersalah, atau malah senang. Entahlah.
Rabu, 02 Februari 2011
Emak Kehilanganmu
"Teh, kok udah lama Theo nggak ke sini lagi?"
Emh...akhirnya pertanyaan itu Emak ucapkan juga, padahal sudah lama aku merancang alasan apa yang tepat untuk menjawabnya. Aku nggak pernah bisa bohong sama Emak. Pernah sekali aku lakukan itu, dan hasilnya Emak tahu apa yang aku lakukan.
Waktu itu aku tidak bekerja dan malah main-main sama Theo walau hanya nongkrong di Braga. Entah Emak punya indera keenam, atau hanya kebetulan saja, yang pasti aku nggak pernah bisa bohongin Emak.
"Mungkin sibuk siaran, Mak." jawabku berusaha tenang. Aku tidak berbohong, tapi aku belum jujur sama situasi yang sebenarnya.
"Ah masa sesibuk itu?" Emak tidak percaya. Six sense? Nggak tau ah, "Kemarin-kemarin dia masih suka minta dijemput. Siaran kan tidak menghabiskan waktu seharian." Iya Emakku sayang, tapi masalahnya Emak nggak tau apa yang terjadi, "Emak khawatir!"
Aku diam sama sekali tak tahu apa yang harus aku katakan. Apa bilang aja sama Emak sekarang? Atau...
"Emak sayang sama Theo?" tanyaku pelan.
Bukannya menjawab Emak malah menatapku tajam. Tampak raut kesal di matanya.
"Loh, kok malah nanya seperti itu. kalau khawatir itu artinya sayang. Kamu juga sayang sama dia, kan? Emak merasakan gimana rasanya jauh sama orang tua."
Aku sayang sama dia? Nggak tau juga. Apa sayang namanya kalau aku sudah melukai hatinya? Jelas-jelas dia marah sama aku dan langsung menolakku. Itu artinya kesalahanku fatal, dosaku mungkin tak termaapkan. Buat aku nggak masalah kalau memang harus berakhir seperti ini. Tapi Emak?
Aku heran, masa sih Emak sesayang itu sama Theo, padahal mereka baru bertemu beberapa kali saja? Waktu pertama kali mereka bertemu Emak bilang kalau beliau merasa cocok sama Theo. Dan Theo juga bilang begitu. Dia merasa klik sama Emak.
############################
Waktu berlalu tak berasa, aku pikir Emak lupa sama rasa kangennya. sayangnya itu hanya dugaanku saja karena ternyata Emak perhatian juga.
"Katanya Theo sibuk siaran, tapi kenapa belakangan ini malah gak pernah denger Theo siaran?" tanya Emak kembali. Nah loh, kena lagi.
Untungnya belakangan ini aku yang sibuk dengan pekerjaanku yang hampir menghabiskan 2/3 waktu. istirahat 8 jam benar-benar aku kejar supaya tidak tepar.
"Cape, Mak! Mana sempat denger, yang ada pengennya langsung tidur." jawabku
Aku nggak pernah insomnia, apalagi dalam keadaan sibuk seperti ini. walau pekerjaan banyak, tak pernah aku pikirkan. Terima kasih "situasi" yang kembali menyelamatkan aku untuk tidak berbohong sama Emak.
"Nggak sms atau telpon dia?"
Apa??? Bagaimana bisa sms atau telpon kalau nomornya saja sudah aku hapus dari kedua ponselku. Apa Emak benar-benar kangen sama orang ini? Huh! Mbok ya kangen saja sama yang lain lah kalau boleh nawar, jangan sama orang ini.
"Coba telpon dia, bilang Emak ingin ketemu!"
Haduh....mampus deh. Ah Emak. aku kan inget banget sms terakhirnya yang bahkan aku salin dan aku tempel dengan tulisan besar-besar supaya aku tetap ingat kalau:
...JANGAN PAKSA AKU UNTUK TERIMA KAMU KEMBALI...
Aku menghormati keputusannya Mak. Aku nggak akan maksa dia, bahkan aku berusaha untuk menghindarinya.
"Ayo telpon!"
"Sms aja ya, Mak. Kalau telpon takutnya ganggu. Siapa tau dia lagi siaran." bujukku dan untungnya Emak setuju.
Demi Emak apapun akan aku lakukan, termasuk mengingkari janjiku sama Theo untuk tidak lagi mengganggunya. Meminta nomor telponnya pada seorang teman yang tanpa curiga dia bertanya, "Hilang kereset, ya?" kali ini aku bohong. bukan ke reset teman, tapi aku hapus.
Beberapa kali sms tak pernah ada balasan. Apa nomornya salah, tapi aku konfirmasi pada teman yang lain nomornya benar, kok. Ya, dia sudah tak mau lagi berhubungan denganku.
"Sudah?" tanya Emak
"Nggak bales. Sibuk mungkin!"
"Masa sih?"
Aduh Emaaaaak. Aku tu sudah sangat malu. Untuk apa aku menghubunginya, toh diapun sudah tidak mau dihubungi. Apa yang bisa dia ambil kalau terus berteman denganku? Hanya luka dan perih yang akan terus terasa. Selain itu, tak akan ada manfaat, bahkan sudah terbukti kalau aku bukan teman yang baik untuknya.
"Mak kangen?" tanyaku, Emak mengangguk sambil tersenyum.
Apa aku juga kangen? Kalau iya aku kangen, tapi untuk apa rasa kangen itu? Tak pernah ada gunanya walau jujur ada sesuatu yang hilang dalam hatiku. Hanya... ya sudahlah. toh aku pun tak menyesal. Aku harus berpikir positif dan tidak kekanak-kanakan. Tak perlu memaksa.
"Ada masalah, ya?" Emak seolah tau apa yang ada dalam hatiku.
Aku pikir daripada terus berkelit, lebih baik aku ceritakan kalau aku sudah tidak ada hubungan apapun sama Theo. Hanya karena merasa bosan dan masalah sepele aku malah mengasarinya. Marah sama Theo dan melukai hatinya. Tak ada ampun. Maap yang dia beri bersyarat. Itu artinya...KREK! Tamat! Tak ada lagi simpati dan empati.
Emak menatapku dengan sangat kecewa. Katanya dia gagal mendidikku. Padahal Emak tidak pernah mengajariku begitu. Yang Emak ajarkan adalah bagaimana menyayangi dengan tulus dan berteman dengan baik.
Maapkan aku Mak. Emak tidak gagal. Emak tetap ibu yang hebat. Ketulusan Emak memang tidak bisa aku tiru, walau tau aku sudah tidak punya hubungan apa-apa dengan Theo tapi Emak bilang tetap sayang sama dia dan merasa kehilangan setelah lama Theo tak pernah lagi menemuinya.
Emh...akhirnya pertanyaan itu Emak ucapkan juga, padahal sudah lama aku merancang alasan apa yang tepat untuk menjawabnya. Aku nggak pernah bisa bohong sama Emak. Pernah sekali aku lakukan itu, dan hasilnya Emak tahu apa yang aku lakukan.
Waktu itu aku tidak bekerja dan malah main-main sama Theo walau hanya nongkrong di Braga. Entah Emak punya indera keenam, atau hanya kebetulan saja, yang pasti aku nggak pernah bisa bohongin Emak.
"Mungkin sibuk siaran, Mak." jawabku berusaha tenang. Aku tidak berbohong, tapi aku belum jujur sama situasi yang sebenarnya.
"Ah masa sesibuk itu?" Emak tidak percaya. Six sense? Nggak tau ah, "Kemarin-kemarin dia masih suka minta dijemput. Siaran kan tidak menghabiskan waktu seharian." Iya Emakku sayang, tapi masalahnya Emak nggak tau apa yang terjadi, "Emak khawatir!"
Aku diam sama sekali tak tahu apa yang harus aku katakan. Apa bilang aja sama Emak sekarang? Atau...
"Emak sayang sama Theo?" tanyaku pelan.
Bukannya menjawab Emak malah menatapku tajam. Tampak raut kesal di matanya.
"Loh, kok malah nanya seperti itu. kalau khawatir itu artinya sayang. Kamu juga sayang sama dia, kan? Emak merasakan gimana rasanya jauh sama orang tua."
Aku sayang sama dia? Nggak tau juga. Apa sayang namanya kalau aku sudah melukai hatinya? Jelas-jelas dia marah sama aku dan langsung menolakku. Itu artinya kesalahanku fatal, dosaku mungkin tak termaapkan. Buat aku nggak masalah kalau memang harus berakhir seperti ini. Tapi Emak?
Aku heran, masa sih Emak sesayang itu sama Theo, padahal mereka baru bertemu beberapa kali saja? Waktu pertama kali mereka bertemu Emak bilang kalau beliau merasa cocok sama Theo. Dan Theo juga bilang begitu. Dia merasa klik sama Emak.
############################
Waktu berlalu tak berasa, aku pikir Emak lupa sama rasa kangennya. sayangnya itu hanya dugaanku saja karena ternyata Emak perhatian juga.
"Katanya Theo sibuk siaran, tapi kenapa belakangan ini malah gak pernah denger Theo siaran?" tanya Emak kembali. Nah loh, kena lagi.
Untungnya belakangan ini aku yang sibuk dengan pekerjaanku yang hampir menghabiskan 2/3 waktu. istirahat 8 jam benar-benar aku kejar supaya tidak tepar.
"Cape, Mak! Mana sempat denger, yang ada pengennya langsung tidur." jawabku
Aku nggak pernah insomnia, apalagi dalam keadaan sibuk seperti ini. walau pekerjaan banyak, tak pernah aku pikirkan. Terima kasih "situasi" yang kembali menyelamatkan aku untuk tidak berbohong sama Emak.
"Nggak sms atau telpon dia?"
Apa??? Bagaimana bisa sms atau telpon kalau nomornya saja sudah aku hapus dari kedua ponselku. Apa Emak benar-benar kangen sama orang ini? Huh! Mbok ya kangen saja sama yang lain lah kalau boleh nawar, jangan sama orang ini.
"Coba telpon dia, bilang Emak ingin ketemu!"
Haduh....mampus deh. Ah Emak. aku kan inget banget sms terakhirnya yang bahkan aku salin dan aku tempel dengan tulisan besar-besar supaya aku tetap ingat kalau:
...JANGAN PAKSA AKU UNTUK TERIMA KAMU KEMBALI...
Aku menghormati keputusannya Mak. Aku nggak akan maksa dia, bahkan aku berusaha untuk menghindarinya.
"Ayo telpon!"
"Sms aja ya, Mak. Kalau telpon takutnya ganggu. Siapa tau dia lagi siaran." bujukku dan untungnya Emak setuju.
Demi Emak apapun akan aku lakukan, termasuk mengingkari janjiku sama Theo untuk tidak lagi mengganggunya. Meminta nomor telponnya pada seorang teman yang tanpa curiga dia bertanya, "Hilang kereset, ya?" kali ini aku bohong. bukan ke reset teman, tapi aku hapus.
Beberapa kali sms tak pernah ada balasan. Apa nomornya salah, tapi aku konfirmasi pada teman yang lain nomornya benar, kok. Ya, dia sudah tak mau lagi berhubungan denganku.
"Sudah?" tanya Emak
"Nggak bales. Sibuk mungkin!"
"Masa sih?"
Aduh Emaaaaak. Aku tu sudah sangat malu. Untuk apa aku menghubunginya, toh diapun sudah tidak mau dihubungi. Apa yang bisa dia ambil kalau terus berteman denganku? Hanya luka dan perih yang akan terus terasa. Selain itu, tak akan ada manfaat, bahkan sudah terbukti kalau aku bukan teman yang baik untuknya.
"Mak kangen?" tanyaku, Emak mengangguk sambil tersenyum.
Apa aku juga kangen? Kalau iya aku kangen, tapi untuk apa rasa kangen itu? Tak pernah ada gunanya walau jujur ada sesuatu yang hilang dalam hatiku. Hanya... ya sudahlah. toh aku pun tak menyesal. Aku harus berpikir positif dan tidak kekanak-kanakan. Tak perlu memaksa.
"Ada masalah, ya?" Emak seolah tau apa yang ada dalam hatiku.
Aku pikir daripada terus berkelit, lebih baik aku ceritakan kalau aku sudah tidak ada hubungan apapun sama Theo. Hanya karena merasa bosan dan masalah sepele aku malah mengasarinya. Marah sama Theo dan melukai hatinya. Tak ada ampun. Maap yang dia beri bersyarat. Itu artinya...KREK! Tamat! Tak ada lagi simpati dan empati.
Emak menatapku dengan sangat kecewa. Katanya dia gagal mendidikku. Padahal Emak tidak pernah mengajariku begitu. Yang Emak ajarkan adalah bagaimana menyayangi dengan tulus dan berteman dengan baik.
Maapkan aku Mak. Emak tidak gagal. Emak tetap ibu yang hebat. Ketulusan Emak memang tidak bisa aku tiru, walau tau aku sudah tidak punya hubungan apa-apa dengan Theo tapi Emak bilang tetap sayang sama dia dan merasa kehilangan setelah lama Theo tak pernah lagi menemuinya.
Langganan:
Postingan (Atom)