Cahaya mentari menyeruak tanpa permisi dari balik jendela. Pagi mulai menyapa dunia. Membangunkan seluruh jagat untuk segera beraktifitas, termasuk aku. Seekor kupu-kupu tiba-tiba mengepakkan sayapnya, di telingaku.
Aneh, masuk dari mana kupu-kupu ini. Kecil, berwarna coklat dengan motif batik yang anggun. Sungguh luarbiasa. Sepertinya kupu-kupu ini tidak terganggu oleh bau ilerku, oleh kibasan tanganku. Aku tersenyum.
Katanya kalau ada kupu-kupu masuk berarti akan ada tamu. Hmm.... siapa yang akan bertamu mengunjungiku? Kamu? Hey...sudah lama kita tidak saling mengunjungi, bukan? Aaah...aku kangen sekali sama kamu. Kabarnya kamu pindah, kemana?
Kupu-kupu itu seolah tak mau beranjak, seperti enggan untuk jauh dariku. Dia terdiam di atas bantal. Sayap mungilnya mengepak sebentar saat kusentuh, lalu sayap itu terbentang lagi dan diam. Dia tetap cuek waktu aku merapikan tempat tidur. Mbok ya bantuin beres-beres kek, atau setidaknya ajak aku ngobrol, lah.
Aku ingat kalau kamu sangat suka kupu-kupu. Kamu bilang kalau kupu-kupu iti adalah suatu proses perubahan yang sempurna. Tidak hanya metamorfosis paling sempurna yang dialami serangga tapi lebih pada kamuflase kehidupan yang berubah positif. Bahkan sangat positif. Telurnya yang menempel banyak di bawah daun sungguh menggelikan. Larvanya yang disebut ulat lebih dari menjijikkan, mengganggu, dan merusak. Candamu waktu itu menyadari keberadaannya tidak disukai, kupu-kupu bertapa merenungkan diri di dalam balutan kepompong. Berusaha introspeksi diri agar bisa memberi yang terbaik. Tak lama dia berubah menjadi sosok indah dan mengagumkan. Kamu bilang waktu itu intinya dari kesalahan kita bisa berbuat sesuatu yang indah dan mengagumkan.
Ingatanku itu membawaku pada satuhal, kamu pernah menulis sebuah puisi tentang kupu-kupu. waktu itu aku tak mengerti apa yang kamu tulis. puisimu tertulis seperti ini:
kupu-kupu kecil terbang
menembus langit
lalu menghilang
di tempat aku bersemayam
kepak sayapnya lembut
selembut pesonanya tatkala ia kembali
jangan pernah kau biarkan pergi
itu jiwa lembutku yang datang
menjagamu
Berulang aku membacanya, rasa tak percaya menyelinap dalam hatiku. Apa benar kupu-kupu itu kamu yang selalu ingin menjagaku? Kamu yang...Ya Tuhan...Apa benar kamu telah pergi meninggalkanku, selamanya?
Mataku terasa hangat. Bukan karena mentari yang semakin tinggi dan tetap memaksa masuk melalui celah-celah kecil jendela kamarku. Pandanganpun buram, air mata menetes. Aku menangis.
Mentari memang beranjak semakin tinggi, panasnya membakar kulit bumi yang kian keriput. Aku biarkan kupu-kupu coklat kecil itu tertidur di atas bantal. Walau itu mungkin hanya seekor kupu-kupu dan bukan arwahmu, tapi aku tahu kalau kamu akan selalu ada dalam hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar