Hujan turun sore ini
tidak membuatku membatalkan janji dengan sahabat yang lama tak bertemu. Cuaca sore
yang dingin sebenarnya enak untuk berada di balik selimut, menikmati secangkir
kopi sambil membaca buku mungkin lebih mengasyikan daripada harus
berbasah-basah menerjang hujan. Tapi ya…janji adalah utang. Lagipula sahabatku
itu sibuknya minta ampun. Seolah separuh dunia ini miliknya.
Memerhatikan kaki-kaki
hujan menarik sekali. Seperti tirai tipis yang bergerak turun lalu kembali lagi
ke atas, lalu turun lagi. Dan begitu seterusnya. Indah. Terkadang meliuk menari
ditiup angin jahil yang tak mau melihat kaki hujan bergerak lurus turun ke
tanah. Tetiba pandanganku tertuju ke sebuah
rumah makan seberang café tempat aku menunggu.
Aku lihat seorang gadis kumal menatap
pengunjung rumah makan di “pengkolan”. Membawa karung putih berisi botol-botol.
Entah dia sekedar berteduh atau ada maksud lain. Mudah-mudahan dia bukan
peminta-minta modus. Tapi dengan kehadirannya di ujung mataku membuatku
bersyukur, Tuhan memberiku banyak kesenangan yang sering aku lupakan. Tuhan menyentil
egoku yang selalu terus meminta hakku berlebihan.
Entah siapa yang menarikku, aku berjalan
menembus hujan, berniat menghampiri gadis kumal itu. Sekedar membelikannya
makanan atau minuman penghangat, lalu sok-sok peduli dengan memberinya sedikit
uang. Langkahku tak bisa cepat karena cipratan hujan begitu mengganggu pandang.
Sampai di tempat yang aku tuju, aku tak melihat siapapun. Entah ke mana
perginya si gadis kumal itu. Sedangkan di seberang sana, sahabatku yang baru
tiba berteriak memanggil.
Ah hujan…kau beri aku satu lagi
pelajaran.
15.02.2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar