Jumat, 25 Desember 2009

Menunggu Salju Turun di Gurun

Menunggu salju turun di gurun itu hal yang mustahil. Tapi kalau Tuhan sudah berkehendak, semuanya bisa saja terjadi. Sama seperti menunggu salju turun di negara tropis. Tapi lagi-lagi, kalau Tuhan berkehendak bisa saja salju turun menghiasi negeri ini. Kenyataannya memang demikian. Aku temukan salju ada di dalam dirinya. Ada dalam diri kekasihku. Salju yang lembut dan putih.

Dia dingin, tak pernah memberi respon mode on smile. Tak pernah memberikan respon ceria seperti matahari pagi yang aku suka. Dia seperti malam yang memberi kesunyian dan ketenangan. Berada dalam peluknya adalah ketenangan. Selalu ingin beristirahat dan damai yang aku rasakan. Aku bisa begitu santai dan tenang bercerita padanya. Dia seperti malam, diam dan tak pernah memberi komentar. Tidak seperti kalau aku tulis apa yang aku rasakan di status facebook langsung dikomentari yang aneh-aneh. Dia itu seperti kertas yang tak pernah habis. Tempat aku menumpahkan tinta warna-warni.

Mencintai dia seperti mencintai gunung es. Mencintai dia perlu perjuangan, karena sulit untuk mencapainya. Gunung es sangat jauh dari sini. Kalaupun ada di negara ini, letaknya sangat tinggi. Dan itu bukan gunung es. Di sini hanya ada gunung yang berselimut es. Ada di puncak Gunung Dieng, atau harus pergi ke Puncak Jaya Wijaya di Papua. Gunung es bisa mematikanku. Saat aku meraih puncaknya, aku bisa saja mengalami hypothermia dan terkulai lemas kekurangan oksigen.

Mencintai dia perlu perjuangan karena sulit untuk mencairkannya. Saat aku peluk esnya meleleh, lalu menyeretku dengan alirannya yang semakin deras, karena semakin panas semakin mencair. Atau saat memeluknya dia bekukan setiap gerakku. Aku tahu dia punya sisi kelembutan yang susah untuk dimengerti. Di luar tampak garang, tapi dia punya hati yang lembut, persis seperti salju. Aku bisa berguling-guling nyaman di atasnya. Membuat bola atau melemparinya dengan salju lembut itu, lalu tertawa senang melepas rasa yang ada.

Saat dia tersenyum aku akan bersorak dan girang setengah mati, karena senyumnya sangat indah seperti matahari pagi yang sukar dijumpai bersinar di negara subtropis. Terlihat bulat dan jelas, memberi kehangatan, dan waktu yang tepat untuk beraktifitas. Senyumnya aku bekal sepanjang hari, lalu aku simpan agar ketika malam menjelang kehangatan senyum itu tetap kurasakan.

Saat dia berbicara aku hanya bisa mendengarkan. Tak kuasa untuk memotong pembicaraannya. Yang aku dengar adalah kalimat-kalimat manis menentramkan jiwa, tak pernah menghardik atau mengecewakanku dengan kata-kata kasar. Sayang aku tak pernah mendengarnya bernyanyi. Dia tak pernah mau bernyanyi untukku. Aku tak tahu alasannya mengapa dia tak pernah mau bernyanyi untukku. Mungkin aku akan terbuai mendengar suaranya yang merdu, atau telingku akan rusak karena ternyata dia punya suara yang lebih jelek dari bunyi kentutku.. Atau mungkin saja dia tak hafal satu pun lagu yang ada. Sebodoh itukah? Tapi aku tak peduli dia mau bernyanyi untukku atau tidak, yang aku tahu dengan pasti dia ada untukku. Aku menerima kekurangan dan kelebihannya dalam situasi dan kondisi apapun.

Dia seperti malam yang menyelimutiku di kegelapan sehingga aku tak pernah merasakan takut akan dia tinggalkan. Dia seperti malam yang menemani sepiku dengan suara jangkrik dan semua binatang nokturno lainnya sehingga malamku tetap ramai dan ceria. Dia seperti malam yang membungkus kebisuan dengan irama degup jantungnya. Ya, nyanyian hatinya lebih indah dari melodi apapun yang kudengar. Walau dia tak ada di hadapanku, kehadirannya selalu bisa kurasakan. Dia seperti malam yang membalut mimpiku dengan berbagai kisah. Aku tak takut menghadapi setiap mimpi yang harus aku jalani karena saat terjaga dia memelukku erat.

Menunggu salju turun di gurun bukan hal yang mustahil. Tentu saljunya akan terasa hangat. Lembut dan hangat. Putih dan bersinar. Tak akan kubiarkan salju itu mencair dan mengalir. Tak akan kubiarkan salju itu menghanyutkan asa yang aku semai di dalamnya. Tak akan kubiarkan salju itu menghilang karena sinar matahari memanaskannya. Tak akan kubiarkan salju itu hanya meninggalkan jejak keindahan. Tak akan kubiarkan salju itu menjadi uap lalu huf...melebur dan meluruh dengan angin, dan terbang, pergi entah ke mana. Tak akan kubiarkan aku menunggu sia-sia salju yang aku harapkan selama ini. Justru aku akan menjaganya agar dia tetap ada selama bumi masih beredar pada porosnya.

Mencintainya membuatku lebih lengkap. Membiarkannya pergi akan jadi bencana terbesar dalam hidupku. Aku mencintainya sepenuh hati, tak peduli panas atau hujan. Tak terpengaruh siang atau malam. Tak terhalang jarak dan waktu. Tak tergantikan perubahan musim.

On the spring, summer, winter, even it fall, the snow is always be there in my heart and in my live. There’s no reason to move out, looking for the place where full of snow. When you left, I lost apart of me. When you are gone I’m gonna fade away. Coz this is our faith, coz we belong together. I’ve been waiting all my live for the moon comes in the day. I’ve been waiting all my live for the sun will shining my darkest sky. I’ve been waiting all my live for the snow falls right in front of me. I’ve been waiting all my live only just for you.

We’ll be fine across the line. I know you have your own way to love me. I enjoy everything you do. Because I know you love me like I do, and I wish this could be forever. It’s not impossible to wait for the snow fall on the desert coz the snow will always fall down everywhere all the years.

25 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar