Minggu, 06 Desember 2009

PERGI MENONTON SIRKUS

Tersenyum…pagi ini.
Ah, sesuatu yang lama sekali tidak aku lakukan akan aku lakukan lagi.
Pergi menonton sirkus.
Ada banyak hiburan aneh yang tersaji di sana.
Terakhir aku menonton sirkus umurku 5 tahun.
Waktu itu bapak yang mengajakku.
Senang sekali melihat binatang-binatang pintar beratraksi,
berakrobat, melakukan aksi menantang yang aku saja belum tentu bisa melakukannya,
bahkan tak mau melakukannya. Dan manusia beratraksi…mengerikan!
Waktu nonton sirkus sama bapak aku bisa ngumpet di balik ketiaknya saat melihat atraksi menakutkan.
Bapak tertawa dan berkata: itukan hanya akal-akalan saja!
Pura-pura? tanyaku heran, kalau pura-pura mengapa begitu nyata di depan mata.
Aku bergidik takut melihat seorang lelaki mencoba memotong lidahnya dengan golok tajam. Hebat! Lidahnya kebal, tak terpotong.
Kembali aku terkesiap melihat seorang gadis kecil seumurku [saat itu] digantung di atas api. Gila! Dia tidak apa-apa.
Lalu [saat itu] aku berpikir, mereka tidak akan masuk neraka.
Alasannya adalah mereka akan kebal disiksa, lelaki itu lidahnya tak akan mempan dipotong walau ia banyak berbohong. Gadis kecil itu tak mempan dibakar walau kelak dia menyebarkan kemaksiatan.
Aku ingin belajar sirkus! Supaya kalau masuk neraka aku aman karena sudah berlatih!
Bapak tertawa. Beliau tidak menertawakan aku.
Aku tahu karena aku tanyakan alasan kenapa bapak tertawa.
Beliau bilang karena hidup itu memang lucu! Itu hanya akal-akalan saja.
Manusia banyak akal? Termasuk kalau dia masuk neraka? Apa akalnya akan dipakai?
Membodohi Tuhan supaya memasukannya ke dalam sorga. Menyenangkan!
Jadi yang bodoh siapa?
Apa Tuhan mau dibodohi ciptaannya?
Aku mau membodohi Tuhan, tapi bapak bilang itu sama saja dengan membodohi diri sendiri! Tuhan kan tidak bodoh!
Aku jadi ingat pepatah yang mengatakan Allah bisa karena biasa, tentu saja bapak yang mengulangnya untuk mengingatkan aku.
Aku bisa melakukan apapun kalau aku biasa melakukannya.
Bapak…aku hanya bisa menyusahkanmu dan ibu!
Aku biasa melakukan itu dan hanya itu yang aku bisa!
Beratraksi seperti binatang-binatang sirkus itu? Berakrobat seperti pemain sirkus yang tak akan masuk neraka atau disayang Tuhan?
Terlalu jauh! Aku mau disayang bapak dan ibu saja walau bisaku hanya menyusahkan kalian. Aku tersenyum, karena tak perlu berlatih keras untuk mempunyai keahlian ini.

Tersenyum pagi ini…
Ah…sirkus yang menyenangkan, menghibur sekali.
Seperti menghibur hidup yang harus aku lewati. Bermain sirkus!
Dan bukan hanya menonton sirkus.
Aku bisa beratraksi dengan kemampuanku.
Aku tak mempan dibakar karena aku tak pernah mau melakukan hal itu.
Aku tak pernah mau dekat-dekat dengan api karena mencium asapnya saja sudah sangat muak.
Hey…api itu melahap tubuh saudaraku!
Memisahkan aku darinya, padahal dia tidak sedang beratraksi menantang maut!
Dia bekerja untuk keluarganya. Dia memanggil temannya, tak ada yang menyahut, tak ada yang peduli. Temannya berlari hanya menyelamatkan diri sendiri.
Bapak…aku harus bertanya pada siapa karena kini kau tak ada lagi?
Kemana aku harus mencari jawab saat aku kehilangan saudaraku?
Sedih? Tidak! Itu sudah lewat beberapa tahun yang lalu.
Dulu aku sedih karena tak akan bisa bertemu saudaraku lagi. [saat itu] Dia seperti barbekyu!
Dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur!
Barbekyu yang tak laku lagi karena terlalu gosong!
Sebuah atraksi sirkus yang gagal! Tuhan tidak sayang dia.
Lupakan!

Tersenyum…pagi ini.
Aku akan menonton atraksi sirkus yang lain.
Aku bertumbuh lebih besar lagi, otak dan tubuhku berkembang.
Aku tampak seksi dan ehemm…menggairahkan!
tapi masih tetap takut melihat atraksi sirkus ini.
Bapak mengingatkan aku [saat masih ada] kalau hidup adalah atraksi yang lebih rumit dari sekedar berakrobat! Bukan hanya akal-akalan saja!
Bapak, atraksiku gagal…
Untuk beratraksi sempurna tanpa kesalahan dan membuat orang yang menonton takjub perlu berlatih.
Aku melihat atraksi kehidupan yang lebih rumit. Mereka kurang berlatih sehingga hasilnya tidak sempurna. Dan aku tahu mereka akan memberi alasan: tak ada yang sempurna di dunia ini! Bapak aku mau melewatkannya saja.
Huh! Itu kan hanya alasan mereka. Seperti bapak bilang, hanya akal-akalan saja!
Mau dibodohi!
Kalau aku tak mau dibodohi, kata bapak jangan membodohi diri sendiri!
Cari saja kesempuranaan dengan berlatih, aku bertumbuh sangat tak sempurna.
Bapak…andai kau mau temani aku lebih lama menonton sirkus berulang-ulang, melakukan atraksi sirkus berulang-ulang, menertawakan kesalahan atraksi sirkus yang gagal berulang-ulang…merenungkan apa yang kita hadapi berulang-ulang.
Ah…bapak, engkau membodohi aku dengan pergi begitu saja. Aku berulang-ulang memanggilmu. Aku harus senang karena tahu bapak yang gagal melakukan atraksi ini atau harus sedih karena bapak gagal mencapai kesempurnaan?

Tersenyum pagi ini…
Aku tahu aku tak pernah gagal melakukan atraksi apapun. Apalagi atraksi kebodohan.
Aku tak pernah mau membodohi diriku sendiri, karena hidup itu seluruhnya atraksi sirkus yang harus terus dilatih untuk mencapai kesempurnaan.
Tersenyum walau kenyataannya aku gagal melakukan atraksi hidup, tapi aku tak akan mengakhiri hidup! Terus beratraksi bukan untuk membodohi siapapun.
Tersenyum, tak butuh latihan keras dan bukan hanya akal-akalan saja.
Aku tersenyum bapak, walau tidak pernah tampak sempurna, dan bukan untuk menghindari neraka.
Aku tersenyum untuk pagi ini, untuk hidup ini…
Tak perlu lagi pergi,
untuk menonton sirkus!

Cipaganti, 6 December 2009
Kupersembahkan untuk hidup ini, untuk teman-teman yang menyayangiku
Kita sedang beratraksi teman, walau kita bukan pemain sirkus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar