Rabu, 09 Februari 2011

Bertengkar dengan Hujan

Malam sudah semakin larut, angin dingin membuatku merapatkan selimut.
Sebentar lagi kau akan pergi, meniti harapan, mencapai tempat yang lebih tinggi. Bahkan sampai di puncak. Tapi hati-hati, semakin tinggi tempat yang kau pijak semakin sempit. Jangan sedih ya, karena aku suka membayangkanmu. Walaupun kau pergi, bayangmu tak pernah beranjak dari kelopak mataku.

Sayup-sayup aku dengar rintihan hujan. Semakin lama suaranya semakin nyaring. Aaaah...mau apalagi dia. Ini waktunya beristirahat. Aku sudah capek dan sudah sangat mengantuk. Please, lah hujan...jangan ganggu waktu tidurku :((

Sepertinya hujan cemburu karena sedari tadi aku hanya mengingatmu, membayangkanmu, dan tak pernah melepas senyummu dari pikiranku. Hujan mulai mencari perhatian tampaknya. Kaki-kakinya yang panjang mengetuk atap rumahku perlahan. Tak aku hiraukan.
Lama-lama langkah kakinya mulai tergesa, terdengar berderap seperti ratusan ekor kuda berlari. Tetesannya mulai meronta di jendela kamarku. Hujan memaksa masuk. Dia mengiba minta dipeluk. Hujan tahu kalau malam-malam begini kau tak akan pernah datang. Mana bisa kau menolongku, terjaga sampai malam pun kau tak pernah bisa. Sebelum adzan maghrib berkumandang kau harus segera pulang. Aaah, kau hanya bisa memamerkan cahayamu yang terang benderang hanya pada waktu siang. Tapi aku terima keterbatasanmu itu karena aku pun tak sempurna. Karena aku mencintaimu.

Hujan mulai iseng. Tak hanya tetesannya yang meronta lewat jendela. Langkahnya mulai tergesa. Aku tidak takut hujan, tidak pula membencinya. Selama ini memang aku tak menyukainya karena dia selalu mendinginkan hangatku. Dia selalu membuatku terbaring, tak berdaya.

Ya, saat ini aku merasakan hal itu. Hujan mungkin mencintaiku. Dia mulai merembes masuk melalui celah antara lantai dan pintu. Makin lama semakin banyak. Hujan berhasil masuk dan memamerkan seringai kemenangan. Dia menghampiriku, meski aku tolak dia terus mendekat. Dia mulai memelukku. Semakin lama semakin erat. Aku takut tak bisa melihat senyummu esok pagi, tatkala kokok ayam membangunkanmu.

Peluk hujan makin rapat, hingga tubuh kakuku terangkat dan mengalir bersama arusnya. Entah ke mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar