Senin, 14 Maret 2011

Sisa sore











Sore masih menyisakan tetes-tetes air hujan yang sebelumnya turun lebat sekali. Matahari kembali menyeruak di sisa-sisa jam kerjanya hari ini. Setengah cangkir machiatto caramelo masih menggoda selera. Aku meneguknya. Nikmat!

"Nikah sirih, ya?" tanyaku mengulang. Dia hanya mengangguk. "Kenapa kamu egois sekali?"

"Ayolah, ini satu-satunya jalan agar kita tetap bersama. Aku akan bersikap adil!"

Sumpah mati Ted, aku cinta sama kamu. Perasaan ini tak bisa ditutupi. Setelah 11 tahun tak bertemu, perasaan itu masih sama.

"Kamu cinta istrimu? Sayang anak-anakmu?" aku kembali bertanya.

"Sayang anak-anak, ya. Mereka darah dagingku! Ayolah...aku menikahi istriku tanpa cinta, Mey!"

"Ted, perempuan mana sih yang mau dimadu? Nggak ada! Termasuk aku! Kalau kamu bilang dulu menikah tanpa cinta, lalu kenapa bisa hadir Safitri dan Nala?"

"Mey...kamu tahu bukan kalau laki-laki tak perlu cinta untuk melakukan hubungan sex?"

"Berarti kamu tak menghormati istrimu!"

Ted tersenyum mendengar perkataanku. Ya Tuhan... 11 tahun lalu senyum itu pernah memikatku. Cerita yang teramat rumit dan kini senyum itu masih sama. Satu tahun ini kami dipertemukan kembali. Lewat mantan suamiku.

"Aku kan sudah cerita kenapa aku menikahi Debby." bela Ted, "Kalau kamu akan bercerai dengan Bob, dari awal aku pacarin kamu!"

"Hey, Bandung-Yogya bukan jarak yang dekat. Lagipula saat itu hanya kepincut senyummu saja kok, Bob masih lebih keren dari kamu!" aku mencibir.

"Iya, waktu itu. Sekarang?" kembali Ted memamerkan senyumnya, "Mau ya, Mey!" kwmbali Ted memohon.

"Ted sayang, aku cinta sama kamu beneran. Tapi aku juga butuh pengakuan. Nikah sirih bukan jalan keluar yang baik buatku. Jadi kamu harus putuskan, aku atau Debby?" Ted terdiam. Mungkin aku terlalu memaksa.

Benar aku mencintainya, dan tak ingin berpisah lagi dengannya. Tapi untuk nikah sirih? AAAhhh.... Ted, mengertilah. Aku tak mau jadi perempuan simpanan. Aku juga tak mau jadi perusak rumah tangga kalian walau sebenarnya dalam hatiku berteriak agar kau segera bercerai dengan istrimu.

Sisa-sisa hujan sudah tak tercium. Machiatto carameloku juga sudah habis. Cappuccino Ted masih bersisa, seperti peluknya yang makin erat. Peluk Ted masih bersisa untukku walau sebentar lagi dia harus kembali ke Yogya, kembali ke pelukkan Debby, istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar