Jumat, 11 September 2009

HADIAH UNTUK AYAH

Puisi? Lukisan? Buku? Entah mana yang akan aku berikan untuk ayah. Dan aku selalu bingung memberikan hadiah yang pantas untuk ayah. Aku ingin selalu memberikan yang terbaik yang aku punya untuk ayah, tapi entah apa itu. Puisi? Aku sama sekali tak bisa menyusun kata-kata indah dalam bentuk puisi untuk ayah. Lukisan? Memegang koas pun tak betul apalagi menggoreskannya di atas kanvas. Yang ada lukisanku mungkin hanya coretan-coretan tanpa makna. Buku? Jangankan membuat sebuah buku, buku raport pun tak bisa aku banggakan karena nilai yang aku dapat selalu pas-pasan.

Ayah suka sekali puisi. Itu kata ibu. Ayah juga sangat jago melukis. Itu juga kata ibu. Dan kembali kata ibu…ayah sangat gemar membaca buku, kebiasaan yang tidak beliau tularkan padaku. Sayang sekali aku begitu malas membaca. Itu barangkali sebabnya aku tidak begitu pintar. Tapi ayah tidak pernah marah. Pun ketika aku pulang malam. Hanya ibu yang sibuk khawatir. Dan kekhawatirannya itu dituangkan dalam bentuk kemarahan yang membuat aku tak betah tinggal di rumah. Ayah tidak marah.

Ayah tak pernah meracuniku dengan kata-kata atau ambisinya. Tak pernah mendoktrinku dengan idealismenya seperti ayah teman-temanku. Mereka merasa tersiksa dengan tuntutan ayah mereka. Dan karena merasa tertekan mereka sering membohongi ayah mereka untuk memberi uang saku lebih bagaimana pun caranya. Seperti yang sering sahabatku lakukan, dia menipu ayahnya dengan melebihkan harga buku yang harus dia beli. Mmhh…jiwa koruptor yang dipupuk dari keluarga. Sungguh tak patut ditiru. Aku senang karena tak pernah melakukan semua itu pada ayahku.

Kata ibu keberadaan ayah bagaikan matahari yang bersinar. Dia garang saat keluarganya dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan kekuatan dan kehadirannya sebagai kepala keluarga. Tapi bisa juga lembut seperti sinar matahari saat pagi dan sore hari. Dipoles jingga yang begitu menawan, sinar matahari yang tak begitu menyengat membuat orang merasa tenang dan damai, tapi selalu ada manfaat yang bisa diambil. Seperti matahari walaupun garang, ayah tak pernah anarkis.

Bagaikan sebuah lukisan yang rumit tapi indah, ayah tak pernah merusak imajinasiku. Aku tak perlu berpikir keras menentukan pilihanku pada lukisan surealisme, realisme, atau naturalisme sekali pun. Kalau suka akan lukisan itu nikmati saja dan pelajari apa yang bisa diambil dari tiap goresan, garis, dan warna yang berpadu harmoni. Ayah tak pernah menentang keinginanku untuk menjadi seseorang yang aku inginkan. Atau menghapus mimpi menjadi apa yang aku harapkan, semua bergantung pada keinginanku. Pada harapan untuk apa aku hidup dan dilahirkan.

Menurut ibu, ayah adalah pribadi yang sederhana namun penuh kharisma. Pesonanya yang membuat ibu cinta mati pada ayah. Seorang pria yang membuat wanita lain iri pada ibu. Mereka bilang ibu begitu beruntung mendapatkan ayah. Dan aku juga beruntung menjadi anak ayah. Walau kenyataannya mungkin saja ayah menyesal mempunyai anak seperti aku. Tapi aku bangga memiliki beliau sebagai ayah.

Ayah tak pernah membuatku menangis karena emosinya atau penilaiannya. Satu-satunya alasan yang membuat aku menangis adalah rasa rindu yang tak tertahan bila harus mengingatnya. Ayah sungguh pria yang selalu membuatku kangen, selalu ingin berada di dekatnya. Ayah tak pernah membentakku.

Pernah suatu ketika, saat aku berada di bangku sekolah dan mendapat tugas yang membuat aku rasa sangat sulit dan tak mampu aku lakukan…ayah menjadi inspirasi kalau aku bisa melakukannya walau dengan otak yang pas-pasan. Dan ternyata aku mampu melakukannya.

Pengaruh ayah membuatku tak kalah dengan murid laki-laki di sekolah, karena memang aku tak mau kalah oleh mereka atau oleh siapapun. Mungkin kemalasanku saja yang mengaburkan semuanya. Aku harus menunjukkan pada ayah kalau aku juga bisa berolah raga. Aku juga bisa menendang bola. Walau hanya menendangnya saja. Tak penting tendanganku mengarah pada kawan atau lawan yang penting aku bisa bermain bola dan menikmati permainan itu. Seperti ayah, selalu menikmati permainan sepakbola. Tak penting tim apa yang beliau tonton. Ayah tak pernah membela salah satunya. Menurut ayah, tim yang mempunyai mental juara dan yang siap menjadi juaralah yang akan menang.

Ayah adalah seorang juara buatku karena berhasil meruntuhkan hati ibu dan meyakinkan ibu untuk mau bersatu dengannya. Ayah seorang juara karena beliau mampu menghadirkanku ke dunia ini. Ayah seorang juara walau tanpa medali atau selembar piagam penghargaan yang ditandatangani oleh seorang presiden pun untuk meyakinkan dan membuktikan pada dunia tentang kehebatannya. Bagiku ayah adalah juara sejati tak penting apa yang ayah lakukan dan penghasilan yang ayah peroleh untuk membiayai keluarganya.

Tapi sekarang aku malah dibikin pusing oleh ayah. Sebenarnya ayah tidak meminta aku memberinya hadiah. Ayah tak pernah menuntut kembali apa yang telah diberikannya. Hanya aku saja yang ribet memikirkan hal paling istimewa yang akan aku persembahkan untuk ayah tercinta.

Ini bukan hari ulang tahun ayah, tapi aku ngotot ingin memberi hadiah terbaik untuk ayah, walau kehadiranku ke dunia ini adalah hadiah terbaik yang ayah terima. Dan lagi-lagi begitu menurut ibu. Tapi itu dari Tuhan. Aku sama sekali belum mampu menunjukkan pada ayah kalau aku juga bisa dibanggakan seperti orang lain. Aku akan tunjukkan kalau kebanggaan ayah padaku berbeda dengan yang lain karena aku tak pernah mau sama atau disamakan dengan orang lain. Aku mau ayah melihatku berprestasi dengan caraku.

Ayah tak pernah membuatku marah, tak pernah membuatku sedih, walau aku sering menangis. Tapi tangisku bukan tangis penyesalan atau kesedihan. Aku menangis karena rasa cintaku pada ayah tak bisa aku tunjukkan secara nyata. Aku tak pandai membuat puisi, aku tak pandai melukis, aku tak pandai membuat ayah bangga kalau aku sebenarnya pandai. Tapi demi ayah aku coba merangkai kata-kata yang selanjutnya aku tempel di dinding kamarku. Aku tak tahu apakah itu sebuah puisi atau hanya rasa yang ada dalam hatiku yang aku tulis dalam selembar kertas ketika aku mengatakan bahwa aku bangga. Walau kebanggaan itu baru aku saja yang mengetahui. Ibu pun belum melihat bentuk atau cara apa yang bisa membuatnya bangga padaku, hanya aku saja yang merasakan. Aku mencoba merangkainya seperti ini:

AKU BANGGA
Aku bangga
karena kau tak pernah meracuniku
Aku bangga
karena kau tak pernah merusak imajinasiku
Aku bangga
karena kau tak pernah menghardikku
Aku bangga
karena kau tak pernah anarkis
padaku
pada ibu
pada adikku
Aku bangga
karena tak pernah menentangmu
Aku bangga
karena tak pernah membuatmu marah
Aku bangga
karena tak pernah membuatmu sedih
Aku bangga
karena kau tak membuatku menangis
karena kau tak pernah ada
walau tak bisa memanggilmu
Ayah
Aku tetap bangga


Aku bangga karena aku berhasil merangkai kata-kata yang mungkin jauh dari indah. Aku bangga karena berhasil merekam imajinasiku tentang ayah yang tak pernah aku rasakan kasih sayangnya secara nyata. Tapi aku tahu ayah sayang padaku.

Ini bukan hari ulang tahun ayah, tapi ulang tahunku. Aku ingin selalu mendapat perhatian dari ayah, menunggunya kembali untuk menguntai berbagai cerita menarik yang akan membuat orang lain iri setengah mati. Ini adalah hari ulang tahunku, yang kata ibu dulu ayah selalu membawakan boneka cantik untuk anak tercantiknya. Ayah tak pernah melewatkan hari ulang tahunku. Beliau selalu menyempatkan hadir sesibuk dan sejauh apapun bekerja. Sayangnya aku belum ingat semua itu. Di saat Tuhan mulai membuat otakku bisa bekerja dan mengingat kejadian dan pengalaman hidup yang aku alami, ayah tak pernah lagi datang di hari ulang tahunku.

Aku bukan anak yang tak diinginkan ayah. Aku adalah kebanggaan dan hadiah terbaik yang ayah terima, karena ayah menginginkanku. Ayah selalu menanti kehadiranku saat aku belum lahir. Cerita yang sangat indah yang aku dengar cuma dari ibu. Dan sampai kapan pun aku akan selalu menjadi hadiah terbaik untuk ayah.


UCHiE
Cipaganti, 27 Agustus 2009
Karena aku ingin selalu jadi kado buat ayah di ulang tahunku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar