Jumat, 11 September 2009

RUMPUT, ANGIN, DAN MATAHARI

Sudah lama sekali hujan tidak turun. Udara terasa panas saat siang dan begitu malam datang, dingin menusuk kulit sampai ingin menjerit. Angin yang membawa udara kering bergerak gemulai. Bercanda, berputar, menggelitik rumput liar yang terkulai lemas. Dan sang matahari tersenyum garang. Kesombongannya mulai diperlihatkan lagi.
"Bergumpal-gumpal awan boleh menghalangiku untuk menggodamu! Mereka boleh berlari terbawa angin, dan aku akan tetap membuatmu kesal"
Rumput liar yang mendengar itu makin tersudut. Tertekan dengan keadaannya. Dia butuh air untuk bisa terus bertahan. Satu-satunya yang menghibur adalah dengan kehadiran angin. Baru saja makhluk itu memberinya kabar bahwa di daerah utara dunia semua rumput merasa penat karena terlalu banyak air. Dia heran mengapa matahari tidak bergeser sejenak ke dunia belahan utara. Tetapi sang angin berkata kalau matahari tidak suka dengan posisinya bila berada di utara. Bukan posisi uenak untuk memantau sekeliling dunia. Dia lebih suka berada di tengah-tengah planet ini.
"Dia tidak akan mungkin bisa mengintip apa yang dilakukan bulan! Bila berada terlalu lama di utara mungkin akan membeku!" angin terkekeh, rumput tersenyum sendu.
"Lihat anak-anak yang hendak bermain bola itu!" katanya pada sang angin, "Mereka akan kesakitan bila terjatuh. Tubuhku terasa mulai lemah dan tak sanggup lagi menahan mereka terbentur tanah keras. Sebentar lagi aku akan mati karena kehausan!"
"Bagaimana pendapatmu?" angin melirik matahari yang semakin garang, "Bukankah dia terlalu baik? Walau dalam keadaan lemah seperti ini dia masih saja memikirkan manusia-manusia yang tak tahu diuntung itu!"
Sang angin pergi meninggalkan rumput dan matahari untuk bisa bicara dari hati ke hati. Atau karena dia memang selalu pergi? Saat sang rumput masih ingin bercerita banyak, masih ingin bertanya tentang apa yang terjadi di belahan lain dunia yang belum pernah ia kunjungi…angin sudah meninggalknnya. Selalu membiarkan matahari merusak segalanya. Merusak harapannya.
"Jangan begitu. Kau masih butuh dia!" kata angin suatu hari ketika rumput berkata tak menyukai matahari. Entah apa maksud angin, tapi rumput liar itu baru menyadarinya setelah dia merasa kelaparan.
Saat air cukup memberinya harapan untuk hidup, dia membutuhkan matahari untuk membantunya mengolah apa yang dia butuhkan. Rumput sangat membenci matahari karena dia betul-betul bergantung pada apa yang hanya dimiliki matahari. Padahal kalau boleh menawar dia akan dengan senang hati meninggalkan matahari dan pergi menghindarinya. Berteduh supaya dia tidak merasa kepanasan, tidak merasa kehausan, tidak merasa sekarat seperti ini. Apa boleh buat…walau sangat membencinya, dia butuh matahari.
"Mengapa kau tak memanggil kawan-kawanmu untuk bermain?" tanya rumput pada matahari sepeninggal angin.
Matahari tersenyum ramah. Tidak hanya terlihat sombong, ternyata dia juga bisa begitu menawan. Rasanya dia memang tampak sempurna dengan segala kekuatannya.
"Memanggil awan-awan itu?" rumput mengiyakan, "Bukan salahku bila mereka tidak mau datang! Kau tahu kalau aku sangat suka bermain dengan mereka?"
Rumput terdiam tak mengerti. Bukankah matahari tidak suka awan? Sungguh membingungkan karena yang dikatakan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Dia membutuhkan awan bukan hanya untuk membuatnya teduh, tapi juga memberinya sedikit air. Sedikit kebahagiaan untuk terus bisa bertahan, memanjangkan keturunan, memberi sesuatu pada ekosistem yang dia tempati. Tapi matahari terlalu berkuasa.
"Selama ini kau dibutakan angin!" matahari berkata lembut. Sungguh diluar kebiasaannya, "Dia bisa bergerak ke mana pun dia suka. Sedangkan kau tetap di sini. Menemaniku. Bahkan kau bisa aku permainkan."
"Kau tahu, aku bisa berada di mana saja. Tidak hanya terus menyengatmu. Aku bisa saja berada lebih lama di dunia belahan utara atau selatan. Atau bahkan berhenti menggodamu. Berhenti bersinar dan membiarkan awan-awan itu merusak kenikmatanku untuk terus merayumu! Tapi aku sudah diatur untuk lebih lama menemanimu."
"Menemani aku sekarat?" tanya rumput sinis.
"Jangan biarkan angin terus merusak pikiranmu! Ingat, aku masih kau butuhkan. Soal sekarat lalu mati…semua makhluk akan mati. Termasuk aku!"
Rumput terhenyak kaget mendengar penjelasan matahari. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Masa iya makhluk sehebat, dan seangkuh matahari bisa mati suatu saat nanti. Akankah keberadaannya tergantikan?
Tapi ke mana matahari saat senja tiba. Dia seolah merasa terusir. Apakah matahari takut kegelapan? Walau sejujurnya rumput liar lebih menyukai bulan yang temaram dan sedikit memberikan rasa lembab yang tidak ia dapat dari kompatriotnya itu, tapi bulan tidak bisa membantunya mengolah makanan yang ia butuhkan. Suka atau tidak suka ia butuh semuanya. Karena kebaikan dan keburukan memang harus ia rasakan agar hidupnya lebih sempurna. Agar hidupnya terus seimbang.
"Kau kan tidak pernah merasa sakit. Kau selalu terlihat gagah. Kau tidak mungkin akan mati!" teriak rumput.
Matahari tersenyum kembali. Sungguh naïf pikiran si rumput ini, pikirnya. Apa karena dia tidak pernah beranjak dari tempatnya. Tidak pernah mengetahui apa yang terjadi. Hanya mendengar cerita angin yang siapa tahu bohong belaka atau hanya karangan si angin saja. Malang benar nasib rumput liar ini.
"Aku bilang jangan biarkan angin terus merusak pikiranmu, rumput kecil! Tentu saja aku akan mati suatu saat nanti. Tidak sekarang karena aku makhluk yang sangat luar biasa. Sudah,lah…apa alasanmu membenci aku?"
"Aku tidak membencimu! Aku hanya mengharapkan kau mendatangkan awan dan memberiku air agar aku bisa mempertahankan hidup, bisa menyaksikan kau mati suatu saat nanti atau mendengar semua cerita-cerita yang angin bawa!"
"Ha…ha…ha…!" matahari tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa kau tertawa begitu keras dan seolah memperolokku?!"
"Kau tidak mungkin melihatku mati makhluk kecil…karena umurku lebih panjang darimu!"
"Lalu mengapa kita berada di sini?"
"Karena keadaan dan waktu yang menginginkan begitu. Mari kita sebut itu adalah takdir. Aku sudah banyak berkenalan dengan bermilyar-milyar angin, beratus juta rumput, dan entah berapa lagi makhluk lain yang silih berganti datang…sayangnya mereka tidak terus menemaniku. Satu-satu mereka pergi mendahuluiku. Dan entah untuk berapa lama lagi aku akan berganti kawan, berteman dengan siapa lagi…aku akan jalani sesuai dengan keadaan dan waktu yang mengatur."
"Pantas kau begitu bijak. Kau hidup lebih lama dan bahkan sangat lama. Menyengatku dan berjuta makhluk lain bukan tujuanmu juga, kan?" matahari menggeleng.
"Itu tugasku!"
Percakapan itu belum selesai saat angin kembali berhembus, menari gemulai, tersenyum dan menyapa manja.
"Hey…hey…hey…Apa yang sedang kalian bicarakan? Membicarakan aku, kah?"
"Kabar apa yang kau bawa kali ini?" tanya matahari.
"Ow…kau hanya berbincang-bincang dengan rumput kecil ini sedari tadi? Sungguh bukan kau yang sesungguhnya!" angin tampak heran dengan matahari yang bersikap tidak seperti biasanya, "Apa yang kalian dapat dari perbincangan tadi?"
"Kau tak dapat dipercaya!" tiba-tiba rumput menyatakan pendapatnya dengan sangat jujur. Sungguh rumput kecil yang naïf pikir matahari.
Tentu saja yang dikatakan rumput membuat angin heran, dan merasa menjadi makhluk yang sangat tidak berguna. Apa pula alasan rumput berkata demikian. Atau jangan-jangan matahari yang meracuni pikiran rumput kecil itu. Maka angin memandang matahari lama tanpa berkata-kata.
"Dia meracunimu?" tanyanya pada rumput seraya menunjuk matahari.
"Lalu apakah aku bisa membuktikan semua cerita yang kau bawa. Apakah kau bisa membawaku terbang ke tempat yang kau ceritakan. Atau aku bisa menemui keajaiban dan suasana yang seru yang selalu kau ceritakan, selain kau hanya bisa merusak pikiranku?" rumput berkata panjang.
Tampaknya suasana mulai terasa runyam. Ada ketegangan di antara ketiganya. Entah yang mana yang berkata jujur. Entah yang mana yang harus dipercaya. Entah siapa yang bisa dipegang kata-katanya. Keadaan yang jauh dari biasanya. Apakah waktu bersiap memisahkan mereka. Apakah keakraban, kenyamanan, bukan lagi milik mereka.
"Apa yang kau katakan padanya?" tanya angin pada matahari, "Bagaimana pun kita semua saling membutuhkan! Ow…aku lupa, kau tak membutuhkan siapa pun untuk terus bertahan. Iya, kan?" angin berkata seraya meliuk-liukkan badannya agak keras. Dan itu cukup membuat pepohonan yang ada di sekitar mereka ikut bergerak keras pula. Akar mereka makin erat menancap pada dasar tanah. Khawatir mereka akan terlempar ke tempat yang jauh.
"Dia tak bisa ke mana-mana. Karena memang dia ditakdirkan untuk menemani kita di sini! Dan kita bisa menemui rumput yang lain di belahan dunia lain. Ingat…bagaimana pun kita saling membutuhkan!" angin yang selalu bergerak ternyata lebih bijak dari sangkaan.
"Itu karena kalian selalu berprasangka bahwa aku terlalu angkuh, aku selalu membawa penderitaan buat kalian. Sejujurnya aku hanya menjalankan kewajiban yang harus aku emban dari tahun ke tahun!" matahari sepertinya tersinggung dan ingin mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi, "Aku tak bermaksud membuat kau kepanasan, hanya karena angin datang berhembus lalu semuanya lebih nyaman, lebih teduh, dan terasa lebih damai. Tapi kalau angin mulai marah…apa yang dia lakukan…merusak semuanya!"
Rumput kecil terdiam. Saat ini dia sudah tidak mempercayai keduanya. Matahari hanya mampu menyengatnya. Membuatnya mati lemas karena kekeringan. Tak ada usaha membantunya walau dengan jujur dia meminta matahari mendatangkan awan. Dan si riang angin yang tak bisa diam, selalu pergi, saat kembali membawa kabar yang selalu membuatnya iri setengah mati.
Rumput kecil yang naïf belum menemukan jawaban mengapa Tuhan menciptakannya seperti ini. Dia sama sekali tak pernah bisa berkeliling dunia seperti angin. Dia tak pernah bisa menatap apa yang dilakukan makhluk lain di seluruh dunia seperti matahari. Saat ia ingin menatap angin…ternyata tak tampak, seperti seorang pengecut angin akan pergi begitu ia sedih. Rumput tak pernah melihat matahari bersedih bahkan menangis. Matahari selalu terlihat garang. Dan yang ia rasakan…sangat jauh berbeda dengan kedua makhluk itu. Ia selalu bersedih, selalu mengeluh. Tuhan..apa memang dirinya diciptakan selemah ini. Belum juga ada jawabannya.
"Kenapa rumput?" tanya matahari tenang. Intonasinya selalu terkendali, "Belum menemukan jawaban mengapa waktu, dan keadaan tak pernah berpihak padamu?" rumput menatap tajam matahari yang seolah tahu apa yang tengah ia pikirkan.
"Mari kita cairkan suasana ini. Setuju angin?"
"Rumput kecil…Tuhan menciptakan kita dengan penuh perhitungan. Aku terlihat garang dan angkuh karena aku memang harus begitu. Aku tak boleh melemah karena dunia ini butuh energiku. Aku menghilang saat malam karena aku harus menyinari belahan dunia yang lain. Agar kau bisa beristirahat. Bercengkrama dengan bintang-bintang sahabatku. Berkenalan dengan bulan yang begitu memesona dan anggun. Aku harus selalu ada untuk semua makhluk. Kehadiranku bisa jadi petaka untuk makhluk yang lain. Tapi ternyata ada juga yang sangat membutuhkan aku. Sinar pagiku bisa merubah provitamin D menjadi vitamin D untuk kesehatan manusia. Ultravioletku dibutuhkan untuk membantu tumbuhan mengolah makanannya. Panasku jadi sumber energi yang sangat ramah lingkungan. Aku selalu ada untukmu!"
"Ya!" sambung angin, "Aku pergi disaat aku sedih karena aku tak mau kau ikut merasakan kesedihanku. Aku pergi untuk mengumpulkan cerita yang patut kau dengar. Boleh saja kau tak percaya dengan cerita-ceritaku, walau tak terlihat…tapi kehadiranku bisa kau rasakan. Karena kita semua teman. Karena kita saling membutuhkan."
Rumput kecil tertunduk, ya…dia tak pernah bisa ke mana-mana, tapi teman-temannya selalu ada. Memberinya warna yang berbeda setiap hari. Soal kekeringan atau dirinya sekarat karena belum juga bertemu air…setidaknya dia tidak akan mati sendiri. Angin dan matahari akan terus datang. Akan terus menemaninya. Tuhan memang tidak pernah salah menciptakan sesuatu.

uchie
Cipaganti, 24 Juli 2009
Untuk rumput, angin, dan matahari
Untuk The, Rein dan aku donkz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar