Jumat, 08 Oktober 2010

Bulan




Senja semakin ranum. Gelap tinggal memetik hasil. Menyembunyikan berjuta gerak dan warna berkilauan menggoda, mengusik, menggelitik, dan mengungkit kenangan yang pernah terlampaui sendiri, bersamanya, berkawan duka, menghabiskan suka, menjemput air mata, menghapus jejak keindahan, lalu pura-pura tenang. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Terpisahkan detak jantung yang cemas. Mengira-ngira tanpa pernah punya jawaban yang pasti.

Angin berhembus perlahan. Menyentuh jiwa agar tetap terjaga. Membukakan mata, menunjukkan kau yang sebenarnya. Mereka sadar, atau tidak? Bulan terdiam. Tak hentikan langkah atau putarannya. Sesekali awan hitam sembunyikan raganya di saat dia sedang tersenyum menebar kedamaian, temani redup romantis. Seperti yang tengah kita lakukan.

Kita? Kau menghilang. Tak pernah ku temukan bayangmu. Bahkan di setiap sudut gelap yang selalu sombong kuasai malam. Bulan tersembul, tersenyum, mengajakku bermain petak umpet di sela hembusan angin dingin yang mengganggu nafasku.

Tak tahukah kau aku tengah terengah? Memimpi lega dan kelapangan. Sesak menghimpit duka. Itu yang kuharap. Menanti seseorang mengajakku ke terbang tinggi ke arahnya sekedar beristirahat. Atau tinggal di sana selamanya.

Aku dapat selalu memperhatikanmu di antara redupnya cahaya bulan. Bayangan buram tentangmu bisa aku lihat lewat sinar redup itu. Harusnya aku berterima kasih. Bulan sahabatku mau selalu temani langkahku. Walau kadang dia berubah. Purnama, sabit, paruh, menghilang, lalu datang lagi separuh, sabit lagi, dan purnama lagi. Dia tak menghilang. Dia selalu memberi aku kabar tentangmu dan semakin meyakinkan aku kalau Tuhan punya mata, telinga, yang tak pernah tertidur.

Kau tahu walau tak di sisiku, bulan tetap temani khayalku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar