Sabtu, 09 Oktober 2010

Obrolan dengan Tuhan




Tuhan lelah. Dia beristirahat dari pekerjaan yang selalu menyita waktu: mengurus makhlukNya. Tuhan tampaknya geram. MakhlukNya yang dinamai manusia selalu dengan seenaknya merubah aturan, merusak semua yang sudah Dia rencanakan, menghancurkan semua yang sudah Dia ciptakan. Padahal Dia ciptakan itu semua buat manusia.

Dia tengah menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon sambil tetap memerhatikan makhluk bandelNya. Aku tahu, Tuhan tidak pernah menyesal dulu menciptakan makhluk ini. Bahkan ketika Malaikat bertanya padaNya tentang penciptaan makhluk perusak ini yang diturunkan ke bumi, Tuhan bilang ada sebagian yang akan menurut padaNya. Aku salah satunya? Rasanya tidak. Aku selalu merusak rencana Tuhan. Aku selalu ngamuk-ngamuk kalau yang aku rencanakan tidak sejalan dengan kenyataan. Apa Tuhan akan marah padaku?

Aku mendekati Tuhan. Kantung mataNya tampak hitam. Tuhan mengantuk atau Dia sedih? Aku tak berani menyapaNya. Dia menatapku.

“Kau akan merusak rencanaKu pula?” tanyaNya, “Kau akan menjawab tidak, bukan?”

Ya, Tuhan tahu apa yang belum aku katakan. “Jangan berpikir yang tidak baik. Ingat yang kau lakukan akan ada balasannya. Bukan aku yang membalas, tapi amalanmu!”

“Tuhan, sebenarnya aku hidup untuk apa?”

“Tentu saja untuk beribadah kepadaKu!”

“Mengapa aku Kau ciptakan?”

“Itu hanya aku yang tahu. Mengapa. Menyesal?”

“Ya. Kenyataan yang aku hadapi tak pernah sesuai dengan yang aku harapkan. Mengapa kau beri luka?”

“Aku beri luka supaya kau belajar cara menyembuhkannya. Aku beri sedih supaya kau tau tetap sadar dalam keadaan senang. Aku beri kecewa supaya kau tak semena-mena menjalani hidupmu. Aku yang mengatur, bukan kau sendiri! Kalau kau ingin mati, aku bisa saja mematikan kau saat ini, tapi sesudah mati apa yang kau lakukan, apa kematianmu bermanfaat untuk orang-orang yang kau tinggalkan? Apa yang aku perintahkan?”

“Bertakwa!”

“Kau tahu apa balasannya?”

“Surga.”

“Kau akan dapatkan itu semua bila kebaikan selalu ada dalam hatimu!”

Dan sinar menyilaukan membuatku tak bisa melihat dengan jelas. Pandanganku menjadi buram. Rasa gerah menyelimuti tubuhku. Seseorang menarik selimut yang sedari tadi aku rapatkan ke tubuh. Suara yang aku kenal terdengar. Ya, suara ibuku yang membentak.

“Bangun, pemalas! Sudah siang!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar