Sabtu, 23 Oktober 2010

Menyengat



Selalu menyengat dan tak pernah ada yang tahu. Tidak juga kau. Hanya antara aku dan Tuhan. Manusia? Biarkan mereka mengira-ngira. Bukan karena aku tak percaya, bukan pula karena aku selalu bermain rahasia. Aku pikir tak ada gunanya juga kalau orang lain atau kau tahu semuanya dan membuat aku tersiksa.

Lalu kau bertanya, bukan aku pura-pura diam, pura-pura tak dengar, pura-pura tak pernah tahu jawabannya. Kau dan aku tahu. Aku kira kita sama-sama tahu, saling tahu. Lalu kita sama-sama saling sembunyikan apa yang kita tahu. Bukan berarti kita sama-sama tak jujur, tapi kita saling menghormati. Aku hargai.

Selalu menyengat. Aku merindukan masa-masa yang tak pernah ada. di sana aku bisa menghirup kekosongan dengan leluasa. Nikmati kehampaan dengan bebas. Di sana aku tahu siapa diriku sebenarnya.

Selalu menyengat, dan perihnya menjalar. racunnya bercampur dengan darah yang mengalir di seluruh tubuhku. Menghentak (mungkin) menumbuhkan semangat.

Selalu menyengat, tak pernah beranjak.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Untukmu



“Vin, dia kirim aku bunga!” dia memberitahuku dengan mata berbinar. Senyumnya begitu bahagia. Aku senang. Ini hari ulang tahunnya. Aku ingat betul dan sekarang pura-pura tak tahu saja.

“Oh, ya?” pertanyaan basa-basi ini aku hias dengan senyum.

“Bunganya bagus. Dia tahu betul bunga kesukaanku. Ayo kamu bisa tebak bunga apa yang dia kirim?”

Tulip merah, teriakku dalam hati, tapi yang aku ucapkan, “Mawar!” aku tahu kekecewaan akan terpancar dari wajahnya.

“Aaaah Alvin! Masa kamu nggak tahu bunga tulip merah itu kesukaanku? Sahabatku sendiri nggak tahu, tapi cowok ini tahu betul kesukaanku. Aneh!”

Tulip merah, Agatha Christie dan cerita detektif lainnya, jazz dengan segala genre, drama komedi, kamu sangat tergila-gila pada semua yang berwarna merah. Aku tahu semua kesukaanmu.

-#####-

Dear Mita, apapun akan aku lakukan demi kebahagiaanmu. Tak perlu meniup lilin untuk menyatakan harapan. Tak perlu menunggu bintang jatuh untuk mulai membuat mimpi, cinta yang tersembunyi akan selalu aku titipkan lewat aliran napasku, hirupan rinduku, cinta yang tak terhitung, dan irama detak jantungku. Walau hanya sebatas teman, semua akan kulakukan untukmu.

-#####-

Mita terdiam setelah membaca tulisan itu. Alvin terbujur kaku di depannya. Pertolongan dokter dua jam lalu tak banyak membantu. Terlalu banyak darah yang keluar dari kepalanya akibat tabrakan motor. Mengapa kau bikin aku menyesal, Vin? Kenapa tak bilang dari dulu, padahal aku juga menyimpan rasa yang sama untukmu, bisik Mita.

Jumat, 15 Oktober 2010

Turn Back Time



Demi cinta apapun akan dilakukan, termasuk melakukan hal-hal yang kita pikir bodoh dan jauh dari jangkauan. Tapi tidak berlaku untuk orang yang sedang jatuh cinta. Seperti cerita yang pernah saya baca yang akan saya tulis ulang menurut versi saya. Mungkin saja anda pun pernah membacanya. Saya lupa saya baca cerita ini dari mana, tapi mohon beri tahu saya bila anda tahu sumbernya. Terima kasih sebelumnya.

Suatu hari di sebuah taman hidup seekor burung yang jatuh cinta pada sekuntum mawar putih. Setiap hari burung itu datang untuk mengungkapkan perasaannya.

“Aku tak bisa mencintaimu!” mawar putih menolak, tapi si burung tak pernah menyerah. Dia kemabli datang dan datang lagi untuk sekedar menengok si mawar. Bercerita sesuatu yang dia anggap menarik, sambil menyelipkan perasaannya pada mawar putih itu.

“Berhentilah menggangguku, aku tak mencintaimu!” kembali mawar putih itu berkata.

“Apa karena aku seekor burung dan kau sekuntum bunga? Aku pikir tak penting pada siapa cinta ditujukan, yang penting tulus dan murni!”

Akhirnya mawar putih berkata, “Aku akan mencintaimu jika kamu dapat mengubahku menjadi mawar merah!”

Karena besar rasa cintanya, tanpa pikir panjang burung memotong sayap dan menebarkan darahnya ke kelopak mawar sehingga mawar itu berubah seluruhnya menjadi merah.

Akhirnya mawar itu sadar, betapa besar cinta si burung dengan pengorbanan yang telah ia berikan. Dia rela membuat tubuhnya terluka demi kebahagiaan yang dicintainya. Si mawar menerima cinta itu, namun sayang semua terlambat karena burung mati kehabisan darah.

Seandainya waktu bisa diputar ulang…


Konyol atau tulus, bergantung pada interpretasi anda. Terkadang ketulusan itu konyol dan kekonyolan itu tulus. Cinta yang tulus rela memberi tanpa mengharap diberi.

Kamis, 14 Oktober 2010

Terakhir




Ini bukan tulisan terakhir, dan jangan katakan ini yang terakhir buat kita. Aku tak sanggup mendengarnya. Walau sebenarnya akhir dari cerita ini adalah awal cerita yang baru.

Tadi pagi bos menyuruhku datang ke ruangannya dan dia menyuruhku menandatangani surat pengunduran diri. Oke, aku tandatangani. Aku tak mau memaksakan diri bekerja pada perusahaan yang tak menginginkanku.

Di depanku kini kau ucapkan kata itu. Kata-kata yang tak pernah ingin aku dengar. “Aku sudah merasa tak cocok lagi denganmu, mungkin aku bukan yang terbaik untukmu. Dan tentunya ada orang yang lebih tepat untuk mendampingimu. Aku rasa ini akhir dari hubungan kita.”

Hari terakhir aku menikmati kursi panas di perusahaan keparat itu, dan hari terakhir aku menatap indah senyumnya, hari terakhir aku memilikinya. Tapi ini bukan akhir dari hidupku, sebab dunia belum berakhir.

Tanpa judul



Hey…ada yang akan kau tanyakan? Bagus kalau memang tak ada. No…no…no…Justru tak bagus! Aku tak suka kalau kau tak bertanya. Aku jadi tak mendengar cerewetmu yang kadang mengganggu.

Di saat kau ada, aku muak dengan segala ocehanmu. Menyebalkan! Karena kini aku malah merasa hampa. Jadi ingat lirik lagu Rihanna sama Ne-Yo; Hate That I Love You.

And I hate how much I love you boy
I cant stand how much I need you
And I hate how much I love you boy
But I just can’t let you go
And I hate that I love you so…

Ah, biarkan yang lewat hanya jadi kenangan, karena dari sana awal cerita baru terjadi. Aku jadi tahu kalau selama inu aku sayang dan peduli padamu. Begitu juga dirimu, walau aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benakmu. Aku jadi tahu yang aku lakukan begitu menyakitimu sampai-sampai kau tak mau datang lagi.

Bahkan untuk sekedar menengokku. Saja. Bayangmu pun tak pernah aku lihat sekejap/ padahal dulu kau begitu telaten merawatku. Barusan aku dengar pembicaraan dokter kalau mereka butuh alat kejut jantung untuk membantu mengembalikan denyut jantungku yang terputus.

Aku meninggal?

Aku tak takut meninggal. Yang aku takutkan hanyalah kehilangan rasa kehilanganmu saat aku meninggal. Yang aku takutkan adalah kau tak pernah merindukan aku.

Apa kau merindukanku?

13 Oktober 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Bintang Jatuh




Kalau bintang berkelebat, mungkin dia jatuh. Entah terpeleset karena matanya tak lepas dari seorang makhluk paling menakjubkan di muka bumi, entah jatuh karena langit licin. Ada banyak kemungkinan yang timbul. Hanya yang pasti ada beberapa orang yang meyakini kalau melihat bintang jatuh akan mendapat keberuntungan, lalu mereka berharap saat melihat bintang jatuh (katanya) harapannya itu akan terwujud.

Malam itu ramai sekali orang yang datang. Mereka ingin menikmati malam, menikmati kemeriahan, menyaksikan gemerlap lampu yang mampu menghipnotis mata untuk terus melek sampai acara selesai. Bintang bersiap menampilkan sesuatu yang mereka tunggu.

Lampu-lampu tampak gemerlap dan mewah sekali malam ini. Suasana meriah mendominsai. Semua senang. Tak terkecuali Bintang. Penampilannya luarbiasa. Melenggok, berputar, split, terkulai, senyum, lalu tepukan tangan puas dan memuji terdengar riuh sampai sepatu Bintang yang tinggi haknya 5 cm patah.

Bintang jatuh di hadapan orang-orang yang memujanya. Semua terpana, tak percaya. Kemeriahan itu benar-benar jadi riuh, lalu cibiran dari bibir yang tak suka terlempar. Wajah Bintang memerah. Rasa malu tak bisa disembunyikan. Malam itu jadi tak lagi mewah, tetapi menjadi musibah.


picture by flickr.com

Senin, 11 Oktober 2010

Brondonxaurus



“SMA?”
“Sudah kuliah.” Jawabku
“Semester?”
“Lagi nyusun.”
“Nyusun? Skripsi?”
“Bukan, nyusun bata!”
“Kuli, dong?” lalu Ita terbahak. Ade juga ikut walau hanya senyum-senyum doang. Tapi mereka tampak sangat senang.
Dua temanku itu memang usil sekali. Nggak boleh aja aku senang. Punya pacar dikomentarin. Nggak punya pacar dicela-cela. Tapi ya…tak apalah. Setidaknya mereka selalu ada dan mau menemaniku saat aku punya pacar atau tidak. Cuma ya..itu, isengnya minta ampun.
“Gua lupa, umur lo sekarang berapa, sih?”
“Ita…!” bentakku, “Plis, deh! Yang pasti lo lebih tua dari gua.”
“Cuma lebih tua sehari doang. Lo sama cowok lo sekarang selisih berapa tahun ayooo? Gila, brondongnya mau lagi!”
“Cowok gua oedipus! Eh, nggak deng. Itu tandanya gua babyface lagi!” Ita mencibir mendengar perkataanku.
“Ade, dino yang makan daging apa?” tanya Ita kemudian, gayanya dimirip-miripin sama iklan di tivi.
“Tyrex!” jawab Ade yang gayanya juga dimirip-miripin.
“Kalau dino yang makan sayur?”
“Brontosaurus!”
“Kalau dino pemakan daun muda?”
“Brondoxaurus!”
lalu keduanya terbahak, senang.

Minggu, 10 Oktober 2010

Indra Keenam



Widi tiba-tiba menelponku pagi-pagi sekali, "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Rai?" tanyanya khawatir.

"Nggak! Aku baik-baik saja. Cuma tadi malam aku mimpi buruk. Mungkin karena pengaruh Gitta nggak ngapel kali hehehe..." Gitta itu cowok yang sudah aku pacari satu semester ini. Mungkin minggu depan UTS hahaha....Dia lagi sibuk dengan skripsinya, dan satu major lagi memaksa dia menyelesaikan TA. Aku tak berhak memaksanya untuk selalu menemaniku, harus selalu datang setiap malam minggu. Kalau dia mau datang, ya datang saja. Kalau pun dia tak ada waktu untuk mengunjungiku, tak apa. Nanti juga ada waktu hehehe...

"Mimpi buruk, Rai? Beneran?"

"Iya. Semalam aku mimpi gak nemu jalan keluar dari gurun pasir yang luas. Muter terus-terusan di situ-situ juga sampai aku hampir mati kelelahan. Untungnya aku keburu kebangun!"

"Rai...semalam aku juga mimpiin kamu. Pas bangun aku capek sendiri. Kamu terlihat kacau sampai mau meninggalkan dunia ini. Mudah-mudahan artinya sebaliknya, Rai."

"Itu tandanya aku harus selalu merapikan perbuatanku biar nggak terlihat kacau hehe...Aku sih baik-baik saja, Wid. Cuma seminggu ini aku ingat terus sama Rara dengan perasaan yang bener-bener nggak enak. Tadinya aku nggak mau tau sama urusan itu anak!"

"Rara pindah, Rai! Katanya ibunya sakit."

"Tante Ruby sakit, Wid?"

"Ya, kenapa? Rara nggak ngasi tahu, ya?"

"Nggak! Tapi kemarin Tante Ruby datang kemari kok. Malah aku sempet ngobrol bentar sama dia dan bilang nitip Rara. Katanya tolong jagain dia dan maapin dia. Ya, demi Tante Ruby aku mau baikan sama Rara. Asal dia datang ke sini dan minta maap sama aku."

"Hah? Gila?! Rara bilang kalau ibunya itu sakit parah sampai nggak bisa bangun!"

Ini aneh sekali, "Wid, feelingku nggak enak. Aku nggak mau berburuk sangka, tapi ada sesuatu yang memberi tahuku kalau Tante Ruby nggak akan bertahan lama."

"Meninggal?"

"Ya...begitulah."

Aku tak pernah bilang aku punya indra keenam. Aku juga tak ingin bisa menebak atau melihat apa yang akan terjadi besok, tapi feeling yang bermain di benak dan hatiku tak pernah meleset. Barusan aku baca status facebook Rara yang baru lewat dua menit, dia menulis kalau ibunya sudah berpulang dengan tenang menghadap Sang Pencipta semesta.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tulus

janji yang terucap tak pernah bisa aku bakar
tak menjadi jelaga
masih tersimpan
aku wujudkan suatu saat
nanti
tak usahlah terlalu memaksa
karena hidup
mengalir dengan sendirinya
tak juga perlu dibendung
karena yakin,
akan meluap tak tertahan
buang khawatir ke dasar palung kebebasan
yang aku beri
tak tersembunyi

Obrolan dengan Tuhan




Tuhan lelah. Dia beristirahat dari pekerjaan yang selalu menyita waktu: mengurus makhlukNya. Tuhan tampaknya geram. MakhlukNya yang dinamai manusia selalu dengan seenaknya merubah aturan, merusak semua yang sudah Dia rencanakan, menghancurkan semua yang sudah Dia ciptakan. Padahal Dia ciptakan itu semua buat manusia.

Dia tengah menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon sambil tetap memerhatikan makhluk bandelNya. Aku tahu, Tuhan tidak pernah menyesal dulu menciptakan makhluk ini. Bahkan ketika Malaikat bertanya padaNya tentang penciptaan makhluk perusak ini yang diturunkan ke bumi, Tuhan bilang ada sebagian yang akan menurut padaNya. Aku salah satunya? Rasanya tidak. Aku selalu merusak rencana Tuhan. Aku selalu ngamuk-ngamuk kalau yang aku rencanakan tidak sejalan dengan kenyataan. Apa Tuhan akan marah padaku?

Aku mendekati Tuhan. Kantung mataNya tampak hitam. Tuhan mengantuk atau Dia sedih? Aku tak berani menyapaNya. Dia menatapku.

“Kau akan merusak rencanaKu pula?” tanyaNya, “Kau akan menjawab tidak, bukan?”

Ya, Tuhan tahu apa yang belum aku katakan. “Jangan berpikir yang tidak baik. Ingat yang kau lakukan akan ada balasannya. Bukan aku yang membalas, tapi amalanmu!”

“Tuhan, sebenarnya aku hidup untuk apa?”

“Tentu saja untuk beribadah kepadaKu!”

“Mengapa aku Kau ciptakan?”

“Itu hanya aku yang tahu. Mengapa. Menyesal?”

“Ya. Kenyataan yang aku hadapi tak pernah sesuai dengan yang aku harapkan. Mengapa kau beri luka?”

“Aku beri luka supaya kau belajar cara menyembuhkannya. Aku beri sedih supaya kau tau tetap sadar dalam keadaan senang. Aku beri kecewa supaya kau tak semena-mena menjalani hidupmu. Aku yang mengatur, bukan kau sendiri! Kalau kau ingin mati, aku bisa saja mematikan kau saat ini, tapi sesudah mati apa yang kau lakukan, apa kematianmu bermanfaat untuk orang-orang yang kau tinggalkan? Apa yang aku perintahkan?”

“Bertakwa!”

“Kau tahu apa balasannya?”

“Surga.”

“Kau akan dapatkan itu semua bila kebaikan selalu ada dalam hatimu!”

Dan sinar menyilaukan membuatku tak bisa melihat dengan jelas. Pandanganku menjadi buram. Rasa gerah menyelimuti tubuhku. Seseorang menarik selimut yang sedari tadi aku rapatkan ke tubuh. Suara yang aku kenal terdengar. Ya, suara ibuku yang membentak.

“Bangun, pemalas! Sudah siang!”

Jumat, 08 Oktober 2010

Bulan




Senja semakin ranum. Gelap tinggal memetik hasil. Menyembunyikan berjuta gerak dan warna berkilauan menggoda, mengusik, menggelitik, dan mengungkit kenangan yang pernah terlampaui sendiri, bersamanya, berkawan duka, menghabiskan suka, menjemput air mata, menghapus jejak keindahan, lalu pura-pura tenang. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Terpisahkan detak jantung yang cemas. Mengira-ngira tanpa pernah punya jawaban yang pasti.

Angin berhembus perlahan. Menyentuh jiwa agar tetap terjaga. Membukakan mata, menunjukkan kau yang sebenarnya. Mereka sadar, atau tidak? Bulan terdiam. Tak hentikan langkah atau putarannya. Sesekali awan hitam sembunyikan raganya di saat dia sedang tersenyum menebar kedamaian, temani redup romantis. Seperti yang tengah kita lakukan.

Kita? Kau menghilang. Tak pernah ku temukan bayangmu. Bahkan di setiap sudut gelap yang selalu sombong kuasai malam. Bulan tersembul, tersenyum, mengajakku bermain petak umpet di sela hembusan angin dingin yang mengganggu nafasku.

Tak tahukah kau aku tengah terengah? Memimpi lega dan kelapangan. Sesak menghimpit duka. Itu yang kuharap. Menanti seseorang mengajakku ke terbang tinggi ke arahnya sekedar beristirahat. Atau tinggal di sana selamanya.

Aku dapat selalu memperhatikanmu di antara redupnya cahaya bulan. Bayangan buram tentangmu bisa aku lihat lewat sinar redup itu. Harusnya aku berterima kasih. Bulan sahabatku mau selalu temani langkahku. Walau kadang dia berubah. Purnama, sabit, paruh, menghilang, lalu datang lagi separuh, sabit lagi, dan purnama lagi. Dia tak menghilang. Dia selalu memberi aku kabar tentangmu dan semakin meyakinkan aku kalau Tuhan punya mata, telinga, yang tak pernah tertidur.

Kau tahu walau tak di sisiku, bulan tetap temani khayalku.

Friend



"Alangkah susah cari kawan", kata dia. Kujawab saja, "Mungkin kau mencari teman yang memberi. Kalau teman untuk diberi, aduh banyak sekali." (SAF)

Status facebook temanku itu menggelitikku. Hm…aku rugi kehilanganmu? Sebenarnya iya. Ketika aku bisa mendapatkan dan menjadikan seseorang sebagai teman, itu adalah anugerah, rizki buatku. Dan kembali kau teringat pertanyaan abangku suatu hari, “Emangnya kalian memperebutkan apa sih sampai nggak bertegur sapa selama itu? Sudah, lah Mi. gak baik ribut terus sama temen. Nyari temen itu susah lho!”

Kalau teman yang diberi banyak sekali. Betul. Atau betul? Buktinya temanku tak mau diberi masalah olehku. Yah, sampai-sampai hubunganku harus berakhir hanya karena masalah sepele.

“Mimi, tak ada hal yang sepele. Semua mengandung banyak arti.” Beruntungnya aku punya abang yang pengertian, “Jangan pernah menyepelekan hal yang sepele. Justru masalah besar akan datang dari hal yang sangat kecil.”

Aku mencari teman yang mampu memberiku dukungan. Tapi abangku bilang itu egois namanya. Yah, selama ini mungkin aku memang hanya mencari teman yang selalu bisa memberiku sesuatu, dan aku hanya bisa memberi mereka masalah. Mana ada yang mau diberi masalah.

”Mi, mempunyai satu orang musuh terasa begitu banyak, tapi memiliki seribu sahabat terasa sedikit. Belajar jadi teman yang baik, Mi! tidak tersinggung ketika temanmu mengingatkan kesalahan, dan mengingatkan mereka ketika mereka yang berbuat kesalahan, saling mendukung dalam kebaikan dan jangan terpancing untuk memutuskan hubungan silaturahmi.”

“Abang sayang…abang gak ngerti persoalannya sih. Ngomong emang gampang. Tapi aku yang menjalani gak bisa terima begitu saja apa yang abang bicarakan. Kelakuannya itu sama sekali gak bisa didukung dan ditolerir!”

“Ya itu terserah sama kalian yang menjalani. Yang pasti abang cuma mau bilang, nggak rugi jadi orang yang berjiwa besar karena Allah menilai semua yang kita perbuat!”


7 Oktober 2010
status facebook Efi Fitriyyah エフィ フィトリッヤホ Rabu 6 Oktober 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

Pindah




“Rokok?” Sal menawarkan padaku. Lalu aku ambil satu batang. Aku putar-putar tanpa menyulutnya. Memainkan sebentar di mulutku. Filternya terasa manis. Seperti anak kecil yang mendapat permen lolipop.

Sal tersenyum memperhatikan tingkahku, “Kenapa nggak disulut?”

“Jauh!” jawabku enteng.

“Lho?” tampang bodoh Sal kembali diperlihatkan.

“Hahahahahaha…di Sulut, kan?” tanyaku dan dia mengangguk, “Di Sulut itu Sulawesi Utara, ibukotanya Manado.”

“Ngomong sama lo gak pernah bisa serius, Fit!” aku tersenyum mendengar pujian Sal, “Kenapa rokoknya nggak lo nyalain?”

“Sedang hijrah. Belajar berhenti merokok!”

“Eis…laga lo tu ye! Udahlah, gak usah muna. Isep aja. Kemaren ganja masih lo sedot-sedot!”

“Nggak boleh gue tobat, Sal? Fitra Suntara siap jadi orang baik-baik.”

Sal tersenyum sangsi. Yah tak apalah. Itu resiko yang harus aku ambil. Berubah menjadi lebih baik susah ternyata. Pembuktiannya berat. Tapi tak apalah. Demi cinta. Hahaha…aku sedang mendekati seorang cewek yang baru saja pindah dari Yogya. Katanya bapaknya ulama. Bwuah! Siapa tau, lah.

Sal mendapat telpon. “Dari siapa, Sal?” tanyaku. Tak segera menjawab, dia malah nyengir.

“Mas Don. Barang baru. Bongnya pakai punya gue aja! Yuk!”

“Sal? Boleh aku hijrah?” yang ditanya kembali memamerkan wajah bodohnya, “Jangan rayu gue dengan barang favorit gue. Gue mau hijrah!”

Selasa, 05 Oktober 2010

It might be...




…looking back as lover go walking past
all of my life
wondering how they met and what makes it last
if I found the place would I recognize the face
something’s telling me it might be you
yeah it’s telling me it might be you…


Aku tersenyum mendengar potongan lirik lagu itu. Perih. Yang menyanyikannya di depanku juga berurai air mata meski dia juga tersenyum. Perih.

Aku pandangi Langit. Lama. Dia terdiam. Sama seperti 2 jam lalu. Hanya bergumam menyenandungkan lagu kesukaan kami yang entah kebetulan atau memang betulan, sama. It Might Be You. Stephen Bishop.

“Deal?” tanyanya, aku mengangguk. Ini keputusan. Aku tahu walaupun keputusan ini tidak mutlak, masih bisa berubah tapi keputusan ini adalah kesepakatan.

“Sayang, ya?” tambahnya, dan kembali aku mengangguk.

Kali ini aku lebih banyak diam. Dua jam yang membosankan. Biasanya. Tidak. Berapa pun lamanya kami bersama, aku tidak pernah merasa bosan. Begitu juga dengan saat ini. Aku dan Langit akan diam seperti ini lebih lama lagi. Aku tak rela kalau harus berpisah dengannya. Tapi ada yang menghalangi kami.

“Masih ingat pertama kita bertemu?” kembali dia yang bertanya dan aku kembali mengangguk.

“Bahkan pertama kali berkenalan.” Jawabku singkat.

Waktu itu dia menambahkan aku sebagai teman di Facebook-nya hasil suggest dari sahabatku. Aku suka menulis dan dia selalu mengomentari tulisan di notes facebookku. Cerita berlanjut dengan alasan dia ingin diajari menulis. Dan cerita akan berakhir karena aku tak mau mempengaruhinya, dia tak mau mempengaruhiku.

“Seandainya tak pernah ada syarat untuk melangsungkan pernikahan di antara kita, mungkin rencana kita akan terwujud bulan depan, ya?” matanya menerawang, “Laut, aku akan tetap mencintaimu!” aku tersenyum mendengar ucapannya.

Aku kecup bibirnya lama, tak ingin terpisah. Ibu membolehkan aku menikah dengan Langit dengan syarat dia berpindah pada keyakinan yang kami anut. Kalau tidak, tak pernah ada pernikahan. Aku, tetap pada pendirianku. Langit, dia tak pernah mau keluar dari relnya. Seandainya tak pernah ada mesjid atau gereja…

…something's telling me it might be you
I'm feeling it'll just be you
all of my life it's you,
it's you I've been waiting for all of my life
maybe it's you Maybe it's you I've been waiting for all of my life…

Kata Hati

aku akan terbentur saat balik
mundur
bergerak dalam diammu
meski tak menjauh
kita tak pernah akan
bertemu
peluh mengalir deras
banjiri peti waktu terhenti
tak sanggup hidupkan ingatan, walau
sejenak
dan hatiku berkata: aku diam
dalam gerakku


Senin, 04 Oktober 2010

C I N T A


Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.

Cinta adalah satu perkataan yang mengandungi makna perasaan yang rumit. Bisa di alami semua makhluk. Penggunaan perkataan cinta juga dipengaruhi perkembangan semasa. Perkataan senantiasa berubah arti menurut tanggapan, pemahaman dan penggunaan di dalam keadaan, kedudukan dan generasi masyarakat yang berbeda. Sifat cinta dalam pengertian abad ke 21 mungkin berbeda daripada abad-abad yang lalu.


Pusing gue baca pengertian cinta menurut wikipedia itu. Cinta buat gue adalah gue bisa sama-sama dengan orang yang gue suka kapan dan di mana pun itu. Dan orang itu harus suka gue juga. Kalau gue doang yang suka, mana gue bisa seneng, gue kagak bisa nyaman ada deket orang itu. Yang ada marahan mulu.

Sialannya, orang yang gue suka seminggu ini hilang entah kemana. Mungkin terkubur bumi. Mungkin pula hilang, terbang ke awang-awang. Gak apa-apa juga sih kalau dia mau pergi-pergi jauh seperti itu, tapi ngomong gue dulu kek. Apa nek. Jadinya gue kagak kangen kayak begini. Gue telpon kagak diangkat. Malah operatornya bilang: “maap, nomor yang anda hubungi sedang selingkuh, atau sedang malas berbicara dengan anda. Mohon tunggu beberapa minggu lagi, atau baiknya anda mencari pengganti saja!”

Busyet dah. Ada ya notification kayak begitu. Gue sendiri heran. Masa sih cowok gue selingkuh? Makanya gue grasak-grusuk nyari arti cinta. Eh, ketemunya gitu doang. Pengorbanan diri? Pengertian? Kasih sayang? Masa dari gue doang? Gak asik ah, la cowok gue? Aduuuh, Pehul…lo mo ngubungin gue kagak, sih?

Beneran, gue kagak mau kayak begini. Kalau mau pergi ya beri gue kabar. Gak bikin khawatir seperti ini. Beberapa kali gue sms gak pernah nyampe. Pending melulu. Apa dia ganti kartu? Hadoh! Bahaiya kalau dia pergi kayak begini. Ato gue minta bantuan Termehek-mehek aja buat cari dia kali?
Tiba-tiba temanku Joy ngasi pesan sms. Isinya mengejutkan: “Tina, gw liat Efraim lagi jln sm Zarra, spupu lo!”

Ini yang namanya pengorbanan dan empati? saat tak lama Joy mengirim pesan MMS yang berisi gambar Efraim dan Zarra. Duh cinta...apa gue bisa bertahan?

Minggu, 03 Oktober 2010

Melak Cabe




Darmaji hulang-huleng teu paruguh. Saprak dicaram nganggur ku mitoha manehna katingali siga jalma bingung. Heueuh da pagawean Darmaji mah ngan ukur dagang anggur. Saha nu teu kesel ningali jelema pangangguran. Kudu maraban saban wayah, tapi teu kaarah gawena. Sugan mah ngabantu-bantu seutik wae mah, da hanteu atuh. Mitoha na kamari talatah sangkan Darmaji melak cabe.

Nu nyieun Darmaji ngahuleng teh nyaeta mitohana teu mere nyaho kumaha carana, komo modal mah. Padahal jang dahar sapopoe oge harese, komo pake modal melak cabe. Pan kudu kaluar duit gede tah. Maenya wae melak cabe ngan ukur satangkal, moal piuntungeun. Lamun keur kabutuhan sapopoe mah bisa wae melak cabe satangkal, ge moal buahan unggal usik.

Mitoha teh bageur ku kitu na mah, nitah uing nagrah tong nganggur. Ceuk pikir Darmaji. Tapi uing bingung ngamimitianna. Gawe jaman kiwari hesena kacida. Heug ayeuna rek usaha sorangan, mentok dina modal. Cik atuh aya weh atuh nu daek nulungan nginjeuman uing modal.

Heug jeur ngahuleng kitu, torojol Mang Kosim datang tur nanya Darmaji nu keur ngahuleng, “Keur naon maneh teh, jang?”

“Nuju ngahuleng, Mang. Mitoha nitah melak cabe, tapi abdi bingung ngawitanna kumaha. Da carana teu dipasihan, kantenan modal mah. Matak abdi ngahuleng!”

Mang Kosim apal najan Darmaji teu gawe, tapi manehna tara poho nulung batur. Nulung na teh teu menta buruh deuih. Kalakuanna hade, codekana ngan teu gawe hungkul.

“Jang, ku mamang diinjeuman modal. Mayarna mah keun weh lamun Ujang geus bisa panen. Mamang mah percaya saratus persen ka Ujang, lantaran kalakuan Ujang mah tibaheula ge hade. Ku mamang didoakeun usaha Ujang sing lancar, mayeng, sangkan Ujang teu hariwang nganggur deui. Ceuk paribasa, melak cabe mah moal jadi bonteng, Jang!”

“Maksad mamang?”

“Melak hade mah moal jadi goreng! Salila iyeu mamang apal Jang Darmaji siga kumaha. Mamang percaya saratus persen, Jang!”

“Hatur nuhun, Mang! Insya Allah, abdi moal nguciwakeun mamang!!”

Masih




Malam minggu. Sepi, kayak malam minggu-malam minggu yang sudah terlewati sebelumnya. Masih juga belum bosan, sendiri. Bukan belum bosan, sebenarnya aku sudah terlalu bosan menikmati kesendirian ini. Mau bagaimana lagi, aku masih terlalu sibuk memilih gadis mana yang akan kukencani. Hahaha...memangnya ada gadis yang mau sama aku? Tapi masa iya tak ada satu pun cewek yang tertarik padaku. Cakep, udah. Terkenal, belum. Kaya, belum. Hahaha...tampaknya itu yang jadi alasan.

“Cewek gak akan liat lo terkenal ato tajir, Fi!” begitu yang Anwar bilang suatu hari, “Lo punya tampang yang bisa lo jadiin modal. Asal lo bilang suka, cewek mana pun bakalan nyangkut!”

“Lo kata cewek itu layangan putus, pake nyangkut segala? Ato ikan yang biasa dipancing-pancing?”

“Persis seperti itu. Layangan putus iya, ikan yang biasa dipancing bener!”

“Maksud lo?”

“Cewek kalau putus dari cowok lain tu biasanya melayang-layang tanpa arah, nyari tempat nyangkut yang nyaman. Ditiup angin dia bisa terbang kemana aja. Bisa nyangkut di mana aja. Bener, kan?” Anwar berusaha mencari pembenaran alasannya. Aku hanya bisa manggut-manggut gak ngerti.
“Terus cewek juga musti dipancing kayak ikan. Kalau umpannya tepat, lo bakalan dapet ikan yang lo inginkan. Itu juga liat-liat tempat mancingnya dulu. Lo mo mancing di mana?”

Perkataan-perkataan Anwar itu ada benarnya. Lo bisa dapet cewek yang lo mau dengan umpan dan tempat mancing yang tepat. Lo juga bisa berburu cewek di mana lo akan dapet secara tak terduga seperti mengejar layangan putus. Ah, tapi aku masih bingung mau mancing di mana. Biarin ajalah aku sendiri. Masih seperti ini. Mumpung belum sibuk datang ke rumah cewek untuk mengencaninya, aku bisa menikmati kesendirianku. Hey, malam, jangan takut. Aku masih ingin menemanimu.


2 Oktober 2010

Jumat, 01 Oktober 2010

Mendadak Rindu



Jam ngantukku sudah lewat. 20.00. Susah sekali mata ini terpejam. Bukan karena gajiku dipending, bukan pula karena kerja lemburku yang belum dibayar. Memang ini tanggal 1. Awal bulan. Waktu untuk kebanyakan pekerja menerima hak mereka; bayaran sepadan. Aha…aku bukan pekerja. Aku juga bukan pemilik perusahaan. Mana ada yang akan membayarku. Tapi bukan itu alasan kantuk sukar sekali mendekat padahal besok aku sudah janji pada diri sendiri untuk menyelesaikan satu tulisan yang selama ini aku tunda terus. Pemalas. Ih, itu kan satu kata yang sering kau tujukan padaku.

Sialan! Kau itu ada atau tidak? Apa aku teringat kau? Seekor cecak di langit-langit kamarku terkekeh. Tampaknya dia tahu betul apa yang sedang aku pikirkan. Sialan! Kini bayangmu berkelebat, meninggalkan satu kenangan pada suatu waktu , saat kita masih bersama. Dulu. Dulu sekali. Sekitar seribu tahun yang lalu. Kau sudah jadi fosil sekarang?

Seandainya kau adalah fosil, aku ingin jadi penemu fosilmu. Aku akan terkenal dengan menemukan fosil manusia gila. Mendadak semua kembali mengusik otak, memporak-porandakan ketenangan yang aku susun dengan sangat berat. Kau kembali menghancurkan harapan yang samar-samar mulai menampakkan keindahan. Aku bilang kan tak mau lagi kembali. Jangan mengganggu sepiku, plis!! Aku mohon.

Angin malam dingin menggigit, menusuk pori-pori dan tembus ke tulang. Kau suka itu. Aku benci setengah mati. Angin itu kini merayuku untuk beranjak ke luar sedang di sana tak ada apa-apa. Malam malah makin pekat, sudah lebih dari jam 21.00. Aku tak suka. Itu bukan kebiasaanku. Dan aku tak mau membiasakan diri untuk memulai tidur terlalu larut.

Sialan! Kenapa aku mendadak rindu padamu? Ayolah, pergi! Aku tak mau kau ganggu lagi. Sudah cukup masa lalu memberi keindahan dan kepedihan buatku, buatmu juga. Tapi rindu itu sama dengan cinta. Datangnya tak bisa dipaksakan, tak juga bisa ditolak. Sama seperti waktu aku mencintaimu…aku nikmati tiap momen yang kita lewati. Senyum. Tawa. Canda. Celaan-celaan. Pujian. Pengorbanan. Ketulusan. Jatuh. Luka. Tak tersembuhkan. Tapi aku masih menyimpan satu perasaan tak terhilangkan di sini. Untukmu.

Lalu mungkin cecak ini tak akan pernah mati, sampai rinduku yang mati sendiri untukmu. Atau untukku? Entah,lah. Malam ini di langit hanya tampak satu bintang yang entah siapa namanya. Aku tak memberi nama pada bintang-bintang yang berserakan. Biasanya aku selalu memberi nama pada apapun yang aku suka. Seperti kau yang memanggilku pemalas. Aku bukan pemalas! Aku hanya seseorang yang mendadak rindu pada manusia gila macam kau saat ini. Dan aku kini berharap kantuk mendadak menyerangku supaya aku tertidur dan tak lagi memimpikanmu menjadi fosil yang aku temukan suatu saat nanti.