Kamis, 23 September 2010

23 September





Mendung masih menggayut, seolah tak mau lepas dari pelukan September. Perjalanan waktu yang bergeser sedikit demi sedikit di antara lelahnya rintik hujan selalu membuat perubahan. Ada yang pulang, ada yang pergi. Balans, di setiap pergeseran jarum sekon.

“Kau membuatnya menangis lagi.” kata malaikat itu.

Ya, aku selalu membuatnya menangis. Dalam harapku berjejal keinginan untuk membuatnya tertawa senang. Bangga memilikiku. Apa daya, hanya air mata yang mampu aku kuras dari dirinya. Ada banyak kerutan di wajahnya. Aku terus menatapnya.

“Aku selalu bisa menatapnya seperti ini, bukan?” tanyaku pada malaikat itu, dia hanya mengangakat bahu lalu beralih pandang mengawasi sekeliling. Aku tahu, tak akan ada yang menjemputku.

“Sudah berapa lama?” tanyaku.

“Kenapa? Sudah tidak betah? Baru satu menit!”

Apa? Satu menit? Aku rasakan keberadaanku dengannya sudah lebih dari 5 jam. Berdiri menyaksikan perihnya hati ikut mengendap. Derasnya hujan tak mampu mengalirkan perih itu. Aku tak kuasa memandang sorot matanya yang sudah semakin lelah. Tapi aku juga tak mau meninggalkan dirinya. sendirian.

Di belahan yang lain aku melihat keriaan. Seorang bayi temanku lahir. Lucu sekali. Aku ingin menggendongnya. Lalu tatapku berusaha merayu malaikat di sebelahku untuk mengijinkan menengok dan membelai bayi itu. Sang malaikat menggelengkan kepala, dia bilang kalau aku adalah masa lalunya. Gerak kepalanya menunjuk kembali pada ibu yang sedang menangis di depan pusaraku. entah sampai kapan air mata itu akan mengering...

Lupakan keriaan itu, aku ingin memeluk ibu, menciumnya, dan membisikkan selamat ulang tahun padanya. Selama ini aku belum pernah memberikan kebanggaan padanya, bahkan aku menanamkan kesedihan tak berujung padanya.

23 September akan selalu ibu ingat, bukan sebagai hari ulang tahunnya, tapi kepergianku ke alam keabadian.



Selamat ulang tahun mamaku sayang…semoga aku bisa membuatmu bangga. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar