Jumat, 24 September 2010

Kopi Terakhir




Matanya berair. Sesekali tersenyum sendiri, lalu berbicara pada seseorang padahal di sana tak ada siapa-siapa. Batang berikutnya mulai disulut. Di sekitarnya sudah berpuluh puntung rokok menemani obrolan sendirinya. Asap putih kembali mengepul. Tak ada kopi atau teh. Apalagi coklat panas.

Riak-riak awan mendung kembali menggayut. Tak peduli. Hujan atau hanya awan yang lewat, apapun. Angin dingin yang selalu menusuk hingga tulang kembali datang. Tak pernah ramah. Satu hembusan asap rokok, entah kapan bertemu batang terakhir. Dia tertawa.

“Jangan janji sama aku, ya!”
“Aku tak janji. Tapi aku mau besok kau datang lagi!” lalu satu ciuman mendarat di kening Siwi, “…karena aku selalu butuh kamu.”

“Ted, besok aku pergi. Jangan tunggu aku kembali!”

Siwi selalu menepati kata-katanya. Dia tak pernah bohong. Sekali dia bilang biru, tak akan pernah berubah putih. Seperti matahari yang tak pernah letih selalu datang menjemput pagi dan pulang mengantar senja setelah lelah beraktifitas. Beristirahat.

Ted memandang cangkir di depannya, itu cangkir kopi terakhir yang Siwi seduh untuknya, kemarin. Ampas kopi itu mengendap dan mengering. Tak pernah akan kucuci…pikir Ted. Kembali dia memandang koran di depannya, membaca halaman muka tentang pesawat jatuh yang merenggut nyawa Siwi. Dia pergi, tak pernah kembali. Mata Ted berair, dia menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar