Rabu, 29 September 2010

Sketsa




“Anginnya gak enak!”

“Kalau anginnya enak, aku gak usah cape-cape masak buat kamu. Kita makan angin aja!”

Suamiku mendelik, lalu tersenyum. Memaklumi? Hahaha…katanya aku tak pernah serius. Dan itu alasan kenapa dia menikahiku. Hidup ini memang harus dijalani dengan serius, tapi tidak terlalu serius. santai sajalah karena setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, tak ada yang tak terselesaikan. Itu hanya bagaimana aku pandai-pandai mencari jalan keluar untuk bernafas lega.

Sore ini kami berdua. Menikmati senja dengan ditemani kopi seduhan suamiku. Dia pandai sekali meracik kopi, bahkan sudah terlalu hafal mana kopi yang enak dan bagaimana cara penyajiannya. Kelebihan yang akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk mau dinikahinya.

“Senjanya cantik, ya? Tapi tentu saja lebih cantik kamu!”

“Hilmi tampan, kalo senja lebih cantik, aku yakin kamu bakalan menikahi senja, bukan menikahiku!” dia tertawa.

Ah, dia bukan pria yang pandai merayu. Dia payah dalam berkata-kata, tapi hebat kalau di atas ranjang. Dia tersenyum kembali dan menatapku lama, “Aku yang oon atau kau yang terlalu pintar, ya?”

“Kayaknya kita sama-sama oon deh, makanya saling tertarik dan mau menikah…”

“Res, kita belum bulan madu, kan?”

“Ya Allah…Hilmi, bulan madu menurutku adalah malam pertama kita bercinta. Ternyata kamu hiper juga sampai aku kewalahan heheh!”

“Tapi itu dilakukan di sini, di rumah orang tuamu. Aku ingin kita berdua pergi ke suatu tempat. Ke Paris misalnya. Atau kamu tahu kota terbaik untuk kita berbulan madu?”

Aku sangat menghargai keinginan suamiku. Dia ingin bahagia dan ingin pula membahagiakan aku dengan caranya. Aku pun ingin pergi ke Paris, apalagi hanya berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.

“Hilmi sayang, aku punya dua kota terbaik dan terburuk untuk kelangsungan pernikahan kita. Bukan sekedar untuk berbulan madu.”

“Great! Where’s that?”

“Kota terbaik adalah ko ta selingkuh. Dan kota terburuk adalah ko ta setia. Bagaimana?”

Hilmi terdiam, lalu,”Aku menikahi perempuan yang tepat. Luarbiasa dan bisa menjadi pasanganku seumur hidup. Ko ta akan kecewa mendapatkan aku. Ko ta pernah serius, tapi dibalik ketidakseriusanmu itu ada sesuatu yang bermakna. Seperti sebuah sketsa. Hanya goresan yang belum mempunyai bentuk yang jelas, orang sudah menangkap maksudnya…”

“Dan semoga pernikahan kita tak hanya sebuah sketsa…”


28 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar