Rabu, 29 September 2010

Jalan Setapak ke Hatimu




Lampunya mati, meski bertahun-tahun melewati jalan ini, aku masih selalu meraba-raba untuk melaluinya. Takut terjerembab, takut ada ular, dan ketakutan-ketakutan lain yang menghantui pikiranku.

Yah, malam-malam melewati jalan ini masih sama. Lampu yang terpasang hanya bersinar beberapa saat. Terkadang sinar bulan mampu mengalahkan terangnya. Aku suka melewati jalan ini. Redup bulan selalu tampak romantis, walau aku sering tersandung dan terjatuh. Bintang yang bertebaran jadi teman kesendirian perjalananku.

Ketika perjalanan kulakukan siang hari, hamparan pesawahan, tanah lapang, dan beberapa pohon yang bila malam tampak seperti raksasa hitam terlihat rindang dan memesona pandanganku. Indahnya tak bisa kulukiskan dengan sapuan koas yang selalu aku mainkan di atas kanvas, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Selalu terpukau walau harus terjatuh beberapa kali, dan merasakan sakit beberapa kali pula sampai aku benar-benar tiba di tujuan.

“Apa yang bikin kamu kembali ke jalan ini?” tanya seekor burung yang sering melihatku suatu hari. Waktu itu aku hanya tersenyum. Entah apa yang bikin aku suka sekali kembali ke jalan ini. Hihihi…aku juga tak tahu alasannya, dan baru sadar setelah mendapat pertanyaan itu.

Apa ya? Padahal untuk sampai di tujuan perlu ditempuh dengan pengorbanan, penuh luka dan air mata. Aku hanya tersenyum sesaat. Sisanya kesedihan dan galau.

“Dia akan menyambutmu ketika kau tiba di sana? Atau dia sudah tau kau sedang berjalan ke arahnya?”

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Pertanyan-pertanyaan burung itu tak pernah terpikir olehku. Itu karena aku dibutakan cinta kepadanya. Selama ini aku tak peduli harus melewati jalan setapak yang berliku, terjal dan berbahaya. Walau harus dilewati dengan merasakan perih dan berkubang air mata, yang penting aku sampai tiba di tujuan. Kalau pun dia tak menerima, aku bisa balik lagi melewati jalan kecil ini.


27 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar