Minggu, 26 September 2010

Potret


Kembali menatap langit, belum juga menandakan bias-bias jingga akan datang. Masih tetap kelabu. Malah warnanya menjadi ungu. Gambaran kesendirian hatiku. Rintik hujan mulai turun, temani sepiku yang kian menggigit. Hujan memang tak bisa dipinta. Tak juga bisa ditolak. Kalau mau turun ya turun…tak ada yang bisa menghalangi. Sesuka hatinya membasahi kulit bumi yang semakin keriput seiring perjalanannya mengitari matahari. Tanpa lelah. Entah kapan ia akan berhenti. Padahal ia semakin renta. Dalam usia tuanya sudah banyak cerita yang menemani, datang silih berganti. Tersimpan dalam catatan sejarah yang kian menumpuk dan mungkin saja terlupakan.

Mataku berkedip. Berair. Debu milenium tak mengotori mataku, asap yang terus termuntahkan dari rokok yang aku sulut, dari knalpot kendaraan, bahkan dari cerobong asap pun tak mempengaruhinya. Warna menyilaukan dari lampu-lampu yang berkelip lucu pun bukan alasan. Mataku berair karena emosi yang tak tertahan menatapmu. Aku rindu.

“Jay…telpon!”

Teriakan adikku membuyarkan kenikmatanku menatapnya. Menatap senja, menatap potret orang yang kurindukan. Siapa? Ah, hanya kekosongan orang yang aku tatap. Dia terlalu jauh untuk aku gapai. Bahkan membayangkan bisa berada di dekatnya pun itu sudah merupakan harapan terbesar yang aku punya.

“Papa?” tanyaku. Yang ditanya malah mencibir.

“Mabok, lo!” katanya. Aku diam saja, lalu kuangkat gagang telpon.

“Halo!” saat aku dengar suara orang yang menyahut di ujung sana, langsung kuletakkan gagang telpon. Adikku menatapku aneh, “Lho? Kok ditutup, sih?”

“Bukan papa!”

Aku berlalu dan membiarkan adikku menggerutu karena sama sekali aku tak peduli apa yang dia bicarakan, sama sekali tak peduli apa yang dia pertanyakan. Aku terlalu sibuk dengan harapan, impian dan angan-anganku sendiri. Tak peduli orang memanggilku gila, atau apapun. Seterah mereka. Terserah? Seterah apa yang mau aku katakan!

Kembali aku menatap langit yang menjadi rak buku sejarah untuk mengingat kebersamaanku dengannya. Persis seperti loteng dengan rak buku tempat biasanya papa menghabiskan waktu. Bayangan-bayangan yang berkelebat di depan mataku menjadi potret betapa aku sangat merindukannya.

Potret papa pun tersimpan apik di sana. Aku susun sesuai keinginanku. Aku tata bayangan papa dalam hati agar ia selalu dekat denganku. Aku tatap senja yang pamit pulang, diiringi rintik hujan. Mengijinkan gelap berkuasa untuk menghapus gambaran kepedihan yang semakin hari semakin tajam menusuk hati. Membuyarkan potret dirinya yang dulu selalu menghiasi dinding hariku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar