Senin, 20 September 2010

Will you marry me


“Kenapa menolaknya, Mbak?”
“Siapa yang menolaknya? Dia selalu datang, ngabisin nasi dibakulku itu. Minta rokok. Ndak ada rokok, minta duitnya. Itu namanya menolak?”
“Mbak, nggak mau diajak kawin.”
“Ndak mau diajak kawin? Siapa yang ngajak aku kawin, Ma?”
“Mbak pernah pacaran sama Mas Marwan, kan?”
“Aku ndak tau. Waktu itu dia datang bawa roti mari. Katanya dia beli di Malioboro khusus buat aku. Padahal, dia tau aku ndak suka. Akhirnya dia habiskan sendiri. Lama dia ngobrol sama aku. Aku sendiri ndak tau apa yang dia bicarakan. Tapi selama ngobrol itu dia pandangi aku terus sampai aku salah tingkah. Sama sekali ndak ada pembicaraan yang mengarah untuk bilang aku suka sama kamu, Tis. Apalagi ngajak kawin. Ndak ada, Ma! Hanya…ketika dia hendak pulang, dia mencuri satu ciuman di pipiku. Lalu tergesa dia sambar sepedanya sampai terjatuh. Sama sekali ndak berusaha untuk menciumku dengan lembut.”
“Tapi Mas Marwan sepertinya ingin mencium mbak dengan lembut. Mbak Tisti suka?”
“Dia tidak punya keberanian!”
“Mungkin karena takut. Mbak punya pacar?”
“Dalam proses menanti. Lagian apa yang mesti ditakutkan?”
“Ya, tak ada yang perlu ditakutkan. Cuma dari cara Mas Marwan membicarakan Mbak, selalu antusias. Selalu ada sinar bahagia dari matanya kalau menyebut nama Mbak. Sepertinya Mas Marwan benar-benar menginginkan Mbak. Dia mau kawin sama Mbak.”
“Bilang dia, kalau memang mau ajak aku kawin, cari kerja aja dulu. Dia mau kasi aku makan apa?”
“Kalau Mas Marwan memang sudah bekerja, mbak benar ya mau nerima Mas Marwan!”
(Tisti tidak menjawab, pipinya memerah)
“Mas, ayo mau bilang apa sama Mbak Tisti!”

(Rupanya Marwan sudah lama berada di sana, dia mendengar semua yang Salma dan Tisti bicarakan. Menyeringai dia menemui kedua gadis itu)
“Tis, aku ndak nganggur lagi. Aku mau kamu kawin sama aku. Sabtu lalu aku diterima Pak Ngatiman kerja. Jadi penggali kubur!”
*$!@#'*~¢¥¿§£*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar